Monday, May 31, 2010

Kantor Postgrad

Postgrad riset dapat kantor sendiri? Keren amat, kata teman-teman OZ-ku yang mengambil master by coursework setengah iri. Terbayang olehku kantor kecil penuh buku dan hasil cetak artikel, lusinan sampel berserakan, dan tumpukan kertas tak menentu di atasnya. But yeah, it's a great facility ever!

Kantor ini kantor keduaku. Tadinya aku ditempatkan di gedung 207 lantai tiga. Sebenarnya aku bersyukur digusur ke gedung 001 sekarang. Selain tempatnya lebih mungil, suasananya lebih aman dan bersahabat jika harus lembur semalaman di sini. Tidak heran kalau hari libur dan malam hari, masih ada juga yang bekerja di mejanya masing-masing. Tidak jarang juga ada yang sampe menginap. Nginep? Rajin amat yah... hehe, siapa tau beberapa bulan lagi gantian aku yang menginap di kantor untuk membereskan tesis.

Kantor yang memiliki bangunan lama ini cukup asri. Selain bunga-bunga berbagai musim menghiasi tiap pojokannya, yang paling menarik di depan kantor ada beberapa batang pohon anggur. Pohon anggur sempat panen dua kali sebelum ditebang karena berbahaya. Ntar aku ceritain tersendiri dengan detil saat-saat bahagia panen anggur itu.



Di pintu masuk kantor dipasang kunci CARDAX, yang hanya dapat diakses postgrad penghuni kantor ybs. Cukup scan kartu pelajarmu, dan we're in! Kunci ini juga hanya dapat diakses Security Curtin dan dikontrol dari jarak-jauh oleh mereka. Jika lupa kunci masuk? Beres, tinggal telpun pak Security, beberapa menit kemudian mereka akan datang membukakan pintu.



Selain kantor, kami juga kebagian loker di ruangan depan. Aku ambil dua loker yang isinya macem-macem, atau benda-benda yang tidak ingin kulihat di kantor.



Di ofis yang bersahabat dengan semua postgrad ini ada kitchen kecil tempat kulkas, microwave, ketel air, ransum seperti susu, gula, kopi untuk semua orang. Sebelumnya ada stove untuk memasak, tapi daripada tiap postgrad main masak-masakan ga belajar untuk ngilangin sutris, mereka angkat deh stovenya.








Di pojokan ada seperangkat kursi dan meja buat yang suka ngumpul makan siang, nerima tamu, pacaran atau sekedar nelpon dari dapur.



Juga benda terpenting dalam hidup tiap orang di kantor, yaitu printer gede! Bisa ngeprint thesis orang berlusin-lusin dan ratusan paper dalam sekejap.



Oh well, di kantor ini ada enam ruangan yang dihuni maksimal lima postgrad. Kebetulan kantor mungilku ini hanya diisi dua orang sehingga kami bebas mau ngapain aja seperti shalat di kantor atau tidur siang.

Di pojokanku ada meja belajar dan berbagai buku, file, catatan untuk dikerjakan atau alas tidur. Kantor ini lebih sering jadi gudang bagiku, tempat transit untuk menaruh barang-barang riset hingga sampel-sampel. Tak jarang aku juga menjalankan eksperimen di kantor ini. Soalnya selain cepet, gampang diatur kapan aja dan bisa dikerjain sambil nulis blog.



Pengalaman paling horor mungkin belum ada, kecuali saat aku super kaget ternyata ada yang matiin semua lampu ofis sehingga aku harus keluar kantor dalam kegelapan total. Paling deg-degan kalau harus jalan di lorong ini ngambil print-an gelap-gelapan. Ga jelas memang horrornya di mana, mungkin perasaanku aja!



Pengalaman menyebalkan yang sering dialami paling soal ac sentral di kantor yang sering bikin penghuninya misuh-misuh. Ada yang tidak tahan dingin, jadi begitu masuk langsung main matiin aja. Ga tau apa, orang udah keringetan di musim panas. Kalo musim dingin, malah ac-nya distel 18deg. Ini orang apa yeti, kok tahan dingin banget sih setelah berjam-jam diterpa ac.

Kalo ga, ada yang suka ribut nelpon dan ngerumpi, sehingga kantor senyap berubah langsung meriah dan sukses membuatku tidak konsentrasi kerja.

Biar begitu, saat ini kantorlah yang harus kucintai daripada rumah, huk huk, biar tugas dan riset segera beres...

Perth,
sambil break:)

Friday, May 28, 2010

Selamat jalan dan selamat tinggal, kawan...

Duh, beberapa bulan ini aku sempat mellow ditinggal teman-teman sesama PhD student yang sudah pada selesai dan submit thesis mereka. Rata-rata kembali pulang ke kampung halaman dan entah kapan aku akan bertemu mereka kembali. Hiks... Pada tanggal 24 Mei lalu aku malah mengucapkan selamat jalan dan selamat tinggal dalam sehari! It's hard...

Hari itu, Masnita, temanku pulang for good, ke Kedah, Malaysia. It was very nice to have her here, in Perth. Bersama Rahman dan my hubby, kami cukup sering juga berkumpul di tahun-tahun awal studi, misalnya jalan-jalan ke Fremantle seperti dalam foto di bawah ini.


Pembawaan Masnita yang selalu cerah-ceria membuat suasana berkumpul selalu seru dan menyenangkan. Yang membuatku terkagum-kagum, adalah sikap easy goingnya dan suka membantu teman kapan saja. She's really inspiring... karena sering mengingatkan untuk bertawakal kepada Allah dan terus positif dalam memandang segala-sesuatu, terutama dalam menempuh perjalanan studi ini. Dia selalu punya waktu untuk rileks, hunting foto, olah raga, sampai jalan-jalan walau sendirian. Mas sering membantuku dalam berbagai hal, meminjamkan mobil atau membuka pintu apartmentnya untuk kukunjungi. Masakannya selalu enak-enak dan kami sering saling mengantarkan atau berbagi makanan. Hobi menonton dan membacanya begitu serius, sampai-sampai selama PhD, begitu banyak koleksi DVD dan buku-bukunya. Iapun pengunjung setia Blockbuster atau Hyots. Apa saja selalu diapresiasinya secara menarik. Duh, Mas, saya sedih karena banyak sekali yang ingin kita lakukan bersama tapi tidak dapat saya tepati. Apalagi saat-saat terakhir ini kita semua berpacu dengan waktu sehingga jarang berjumpa.

Selamat jalan, Masnita, it's really nice to know you... Good luck for the future, sister.



Satu goodbye lagi di sore harinya. Hari itu aku mengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanku dari Grup Algae R&D Murdoch Uni karena riset temporerku sudah selesai dan aku harus kembali ke Curtin Uni.

(Sofi, Andreas, Ron, Dr Navid, Prof Michael, Dan, Bruno)

Setahun sudah sejak aku datang pertama kali ke Murdoch membawa pernik-pernikku naik bis, dan bulan yang sama satu tahun kemudian aku kembali ke Curtin, mengakhiri perjalanan risetku bersama grup riset tersebut. 

Aku akan merindukan saat-saat menyetir ke Murdoch pulang-balik, pemandangan million dollar di samping gedung research centre yang dikelilingi taman luas tempat kuda, domba, sapi merumput, udara segar berbau laut dari tank air laut mereka, guyonan Dr Navid dengan semuanya, saat-saat berbagi potongan kue dari kue kecil yang tampaknya cukup untuk semua orang, serta berbagai canda-tawa dengan teman-teman mengenai hal-hal seputar riset. Sungguh berbeda suasananya, di pusat riset dengan berbagai proyek menarik, tetapi tidak ada yang under-pressure. Semuanya menikmati riset, bekerja kapan saja, memasak lunch atau dinner di kitchen sebelah study bench mereka. 

Hmm, mudah-mudahan Allah memperkenankan aku mendirikan pusat riset sebagus yang didirikan Prof Michael. 

Aku ingin student punya attitude researcher biarpun berskala kecil-kecilan. Tidak ribet dengan biaya, ide, semuanya fun mengerjakan proyeknya dan terus bisa diskusi kapan saja dengan pembimbing mereka. Insya Allah... ijinkanlah, ya Allah.

(Eric dan minus Bruno_)

So, dengan dua kali farewell hari ini, sepanjang persiapan packing barang-barangku hingga sampai di Curtin, tiba-tiba pikiranku tak henti-hentinya dipenuhi suara Susan Boyle yang menyanyikan 'I dreamed a dream'...

I dreamed a dream in time gone by
When hope was high and life worth living


Goodbye Masnita, goodbye Prof, Dr, and friends at Algae R&D...
Satu lagi perjalanan waktu bersama semua orang dalam perjuanganku yang menarik ini. Tiap sampai di akhirnya, semua terasa begitu berat untuk dilepaskan. Padahal waktu menjalaninya, mungkin banyak keluh-kesah dan keribetan terjadi...

Perth,
Thank's Allah, Alhamdulillah, telah Allah perkenankan hamba berkenalan dengan mereka semua and learn so many things.

Sunday, May 23, 2010

es-bi-wai


Siapa yang mulai memanggil pak Bambang dengan sebutan SBY?

Aku ingat seorang teman kuliah asli Malaysia, mas S, si penggemar lagu-lagu Samson, soundtrack film Heart dan apa saja yang berbau Jawa Barat.

"Mon, mon, presiden kamu itu, namanya siapa, ya?" tanyanya padaku suatu hari.

"Pak Susilo Bambang Yudhoyono" jawabku singkat.

"Iya, tapi panjang sangat, kamu call dia es-bi-wai, kan?" tanyanya lagi.

Es-bi-wai? Keningku berkerut, berpikir keras, nama siapa itu?

"Pak es-be-ye? Iya, oh iya, in your term, es-bi-wai, ya" aku tertawa geli.

"Presiden kamu is very practical, namanya cukup pakai singkatan saja" dia ikut tertawa.

Bener ya, entah di mana asal muasalnya jadi pak SBY, akupun tidak mengikuti.

Apa mungkin karena namanya terlalu panjang untuk disebutkan dengan cepat? Jadi muncullah ide menyingkat nama tersebut.

Yang jelas, penyebutan nama tengah beliau bisa jadi hal menarik bagi orang Australia.

Soalnya kalau baca berita, para penyiar radio dan pembaca berita tivi Australia harus menyebutkan nama lengkap beliau.

"Indonesian President, Susilo (tepat!) Bembeng (ahhh) Yudhoyono (hebat!)..."

Ga pas banget... awalnya bagus, tengahnya ga asik walaupun nama belakangnya Alhamdulillah pada bisa.

Hingga suatu hari, terkejut juga saat mendengarkan radio, ada penyiar yang bisa bilang, "Bambang"

Bukan main, teman sesama penyiar yang saat itu siaran bersamanya ikut kagum.

"How did you do that? I've been trying so hard to say it, but always end up with "Bembeng" all the time"

Aku geli mendengarnya.

"I probably get used to say it" jawab temannya yang lancar bilang "Bambang". Soalnya dia kan tugasnya memang membaca berita tiap hari.

"Give a try" dia menyuruh temannya mencoba bilang "Bambang".

"Bembeng... Baembeng..." si penyiar kedua mencoba berulang-ulang.

"Almost there" penyiar pertama menyemangati.

"I had a funny feeling saying that name again and again..." akhirnya begitu jawab penyiar kedua, ga enak hati.

Hehehe, ribet amat sih.

SBY aja, kan lebih praktis:)

Perth,

Wednesday, May 19, 2010

Dr Hatta

Betapa inginnya aku berubah seperti tokoh-tokoh besar bangsa kita, yang rendah hati, selalu bekerja keras penuh semangat demi bangsa, menjalankan perintah Allah dengan taat, ringan tangan, etc. Sejak aku menemukan buku-buku tua mengenai Indonesia di perpustakaan kampus, aku berlomba dengan waktu membaca buku-buku biografi para tokoh bangsa. Buku pertama yang kuselesaikan dengan penuh semangat, mengenai kisah Dr Mohammad Hatta, si proklamator kedua bangsa Indonesia.


Salah seorang idola yang menurutku sangat low profile, adalah Dr Mohammad Hatta. Setelah sekian lama mencari-cari panutan dalam bangsa kita, maka jatuhlah simpatiku pada bapak Hatta, seorang pemikir, idealis dan bapak kebanggaan bangsa kita. Beliau memang memenuhi kriteria seseorang yang menganut 'ilmu padi', yaitu 'semakin berisi semakin merunduk'. Beliau tidak perlu membanggakan betapa kayanya atuk beliau di Bukittinggi, betapa tingginya pendidikan beliau yang seorang doktor lulusan Belanda, atau bagaimana beliau menderita karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa sejak dari Belanda, menetap di Jakarta hingga di pembuangan beliau di Digul dan Banda Neira. Apalagi saat negeri ini di bawah jajahan Jepang, maka kepemimpinan Indonesia diletakkan di pundak beliau. Dengan segala daya upaya beliau tekun membantu bangsa keluar dari penjajahan sampai beliau berkata, tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Hal paling mengharukan semua orang ternyata hingga akhir hayatnya, beliau tidak dapat membeli sepatu Bally yang sudah lama diidam-idamkan. Uang yang dikumpulkan sedikit demi sedikit selalu habis terpakai untuk keperluan sanak keluarga. Beliau juga kukuh memegang teguh rahasia Negara, sampai-sampai ketika terjadi sanering, beliau tidak memberitahukan bu Rahmi, istri beliau, karena kuatir tidak merasa adil pada rakyat. Di hari tuanya beliau pernah berpesan pada Meutia, putri sulung beliau untuk menjual buku-buku kesayangan beliau jika mengalami kekurangan uang saat bersekolah. Satu lagi yang sangat kukagumi, yaitu kecintaan beliau pada ilmu dan buku-buku. Buku-buku yang dibawa dari negeri Belanda sekitar sepuluh belas peti berukuran 1x1x1 m3 tersebut telah berkembang menjadi sebuah perpustakaan yang dibuka dekat jam gadang Bukittinggi. Buku-buku adalah teman beliau sebagai penyemangat dan sumber ilmu di kala senang maupun susah.


Subhanallah...


Perth,

Saat mengerjakan riset di Murdoch Uni.

Thursday, May 13, 2010

Wave Rock and Mulga Cave, Hyden, WA

5 Juni 2007,

Aku dan hubby mengikuti Wave Rock and Mulga Aboriginal Cave tour bersama CISWA untuk mengeksplorasi satu lagi bukti keindahan Western Australia. Dua temanku, Masnita dan Rahman, dari Malaysia juga ikut bersama dalam tour tersebut. Karena perjalanan memakan waktu sekitar 10 jam pulang-pergi, pukul 6 pagi kami semua sudah berangkat dari rumah dengan tas berisi perlengkapan dan bekal makanan untuk perjalanan panjang tersebut.


Udara pagi begitu dingin. Cuaca terlihat mendung. Barangkali karena masih pertengahan musim dingin, maka hujan turun tidak kenal waktu. Baru berangkat dari Curtin menuju Murdoch Uni, hujan rintik-rintik sudah turun. Aku bertekad akan mampir ke toilet di Murdoch, karena udara begitu dingin dan penyakit ‘toilet freak’ ku suka kumat tak kenal waktu. Begitu sampai di Murdoch Uni, kami menunggu sekitar setengah jam. Saat itulah, beberapa orang sempat meminta izin ke toilet. Karena capek mengatakan iya, akhirnya supir menyuruh semua yang ingin ke toilet untuk turun sekarang juga. Awalnya semua ogah-ogahan, begitu mendengar bu supir bilang, “Semua yang ingin ke toilet, harus turun sekarang, karena kita baru akan ketemu toilet dua jam lagi”. Barulah semua penumpang bergegas menuju toilet tanpa cing-cong. Tinggal bu supir dan pak supir tersenyum nakal di belakang punggung kami.


Setelah menunggu beberapa saat, beberapa orang mulai mengeluarkan bekal makanan yang dibawa. Bu supir mulai iseng mengomentari, “We haven’t started our journey yet, but you’ve already eaten your lunch!” Kedua orang yang dikomentari, tersenyum kikuk di bawah tatapan bu supir dan teman di belakang mereka. Mungkin belum sarapan pagi. Kamipun merasa lapar menunggu begitu lama, tapi karena kuatir malu diisengin bu supir, maka kami makan roti lapis pisang coklat saat bis mulai berjalan.


Rute yang diambil bis menuju perbukitan Armadale di Selatan Perth melalu M40, Westdale, Brookton, langsung ke Corrigin, George Rock, Karlgarin dan akhirnya Hyden. Awalnya kita melewati bukit-bukit kecil dengan hutan cukup lebat, pohon-pohon ‘grass tree’ atau pohon rumput, tanaman asli Australia banyak sekali terlihat di hutan. Di sana-sini aku melihat kebun lemon, peach dan plum yang masih gundul dan akan berbunga saat musim semi, peternakan domba, kembang-kembang liar musim dingin dan warna hijau hutan liar Australia.


Seingatku, kami sempat berhenti di pom bensin di jalan. Nyaris hampir semua orang turun dari bis untuk antri di toilet. Beberapa orang membeli kopi, teh, cemilan atau sekedar turun melemaskan kaki yang kaku. Setelah rampung semua kegiatan singkat, bis melaju kembali ke arah Wave Rock.



Setelah perbukitan, kita dibawa melewati padang-padang rumput dengan tanah merah di sana-sini. Beberapa pohon hijau tumbuh di tengah padang-padang membentuk pagar penahan angin ataupun peneduh hewan ternak. Beberapa kolam penampung air terlihat di pinggiran padang rumput tersebut. Kota-kota yang kami lalui, sepertinya cenderung tandus, tidak sehijau perkotaan di perbukitan. Sisa-sisa alat transportasi seperti gerobak para ‘first settlers’ dipajang di tengah-tengah kota, seperti jaman cowboy saja.


Bis pun berhenti untuk memberi kesempatan bagi yang ingin lunch atau ke toilet di daerah Corrigin. Kami lunch di bis saja, karena hujan turun cukup deras. Setelah lega semua, bis berangkat kembali menuju Wave Rock yang tidak jelas di mana letaknya.


Bis kembali melewati padang-padang rumput liar yang luas sepanjang perjalanan. Di sana-sini sesekali aku melihat mobil-mobil yang ditinggalkan dengan posisi unik-unik. Tidak hanya tergeletak di tanah, ada yang moncong depannya atau bagian belakangnya masuk ke tanah merah di padang tersebut. Kukira itu semacam ‘contemporary art’ dengan mobil-mobil ute tersebut. Ternyata, dari pembicaraan supir dengan ‘CISWA volunteer’, barulah aku mengetahui jika mobil-mobil tersebut terseret banjir bandang yang melalui padang rumput. Supir kamipun terlihat cukup kuatir, karena badan jalan terletak sama tinggi bahkan kadang di bawah level padang rumput. Agaknya jika banjir bandang terjadi, maka apapun yang berjalan di sana tanpa kecuali dapat terseret air. Kekhawatiran supir yang awalnya sempat kuragukan, akhirnya kuyakini dari rekaman dokumenter di Channel 7 dibawakan oleh Ernie Dingo tahun 2010. Memang setelah berbulan-bulan kemarau, umumnya di beberapa daerah di Australia jika hujan turun dengan sangat deras, semua air akan membanjiri padang rumput, badan jalan, area gersang layaknya air bah untuk me-recharge kembali pori-pori tanah yang kosong tersebut.



Sepanjang perjalanan, kami mengobrol panjang lebar, makan sandwich yang disiapkan Masnita, makan bihun goreng Rahman, tidur, mengobrol kembali, mendengarkan musik lewat mp3, melihat-lihat pemandangan atau sekedar merenung apa-apa saja. Jadi, kalau ada yang seperti Rahman, sempet-sempetnya membaca paper segala dalam perjalanan, aku acungkan jempol empat-empatnya. Betul-betul produktif dan efisien. Good work, Rahman.


Setelah sedikit putus asa, mengapa Wave Rock begitu jauh, akhirnya supir mengumumkan kita telah masuk wilayah Hyden dan sebentar lagi akan sampai di Wave Rock. Di sana-sini terlihat daerah tandus dengan berbagai tanaman jenis semak-semak dan berpohon rendah. Aku melihat ke sana kemari berharap di depan mata akan keluar Wave Rock. Tetapi lagi-lagi supir belok sana, berjalan lurus, belok sini, tiada henti, dan papan penunjuk Wave Rock terus terlihat.



Akhirnya, supir bilang ini benar-benar sudah di Wave Rock. Di mana Wave Rocknya, tunggu dulu, ternyata ada di belakang bukit batu yang kami lihat. Begitu siap-siap turun dengan excited, hualah… hujan turun dengan derasnya… setelah begitu jauh, mengapa baru sekarang?



Beberapa orang yang siap dengan paying besar, jaket parasut, sepatu boots, mulai menerobos keluar bis. Kamipun tanpa pikir panjang lagi, ya sudahlah, ikutan keluar. Berhubung jaketku cuman parasut tipis, dari rumah aku sudah memakai kaos thermal dan rompi wol di dalamnya. Aku dan hubby berjalan menuju perbukitan tersebut. Awalnya kita tidak paham, kenapa orang-orang sibuk berfoto di depan sebuah batu besar seperti mulut gua. Begitu mundur sedikit, barulah aku ingat, mungkin ini yang disebut ‘Hippo Yawn’, atau mulut ‘Kuda Nil menguap’. Memang batu setinggi 12 meter itu persis mulut kuda nil sedang menguap. Pastilah para orang asli yang memberi nama seperti itu sesuai dengan ‘fantasi’ mereka.



Jika berjalan ke belakang, sedikit lagi, maka kita bertemu Wave Rock legendaris tersebut. Sayangnya, hujan turun sangat lebat, hingga yang lain berlari-lari kembali menuju bis untuk berteduh. Aku dan hubby pun akhirnya balik ke bis karena hujan begitu lebat dan kita pasti basah kuyup jika nekat. Beberapa orang terus melanjutkan perjalanan ke Wave Rock walaupun hujan sepertinya tidak mau berhenti. Begitu reda sedikit, kami dikomando untuk turun berjalan ke Wave Rock sebelum hujan lebih deras terjadi.



Semua orang yang berada di bis, dengan enggan berjalan cepat-cepat melewati Hippo Yawn dan pohon-pohon cemara.



Setelah kedinginan, kehujanan, perjalanan panjang, Subhanallah, terlihatlah batu setinggi 15 meter dengan panjang 110 meter seperti ombak tinggi yang siap turun meluncur dan pecah.



Dinding itu seperti memiliki gradasi warna. Indah sekali. Bentuk ombak (Wave Rock) terjadi sejak 60 juta tahun lalu, akibat pelapukan kimiawi yang diikuti dengan erosi bagian lunak batuan granit. Pelapukan terjadi bagian bawah batuan selama berabad-abad meninggalkan bagian atas yang menjulang tinggi. Kemudian, warna-warni abu-abu kuning strip vertikal tersebut terjadi karena hujan menggerus deposit mineral seperti kapur dan FeOH di permukaan batuan. Sayang sekali setelah diubek-ubek, penjelasan ilmiah mengenai terjadinya Wave Rock ini tidak ketemu, hiks.



Walaupun hujan, peserta tour sangat antusias berfoto bareng di depan Wave Rock. Ada yang bergaya sedang selancar, tapi memang payung, hihi, atau sekedar gaya model berlatar belakang orang-orang dan batu. Beberapa teman sempat naik ke punggung batuan, untuk, yah, aku pun tidak mengerti. Soalnya cukup berbahaya naik batuan setinggi itu saat hujan. Siapa tau batunya lumutan atau licin.



Setelah mengamati beberapa orang yang bisa naik tapi tak berani turun, aku putuskan untuk bergaya sepuasnya saja di depan Wave Rock. Hujan yang tadinya lebat sempat berangsur reda. Tetapi, lama kelamaan hujan mulai turun kembali, sehingga payung-payung yang sudah dilipat harus dibuka kembali. Maka sebagian dari kami mulai meninggalkan lokasi Wave Rock.



Begitu bis bersiap berangkat, tiba-tiba matahari muncul dengan cerah seolah-olah tidak ada apa-apa. Meski mengecewakan, kami harus segera menuju Perth, begitu kata bu supir. Beliau terlihat kuatir, karena hujan terus-menerus dan malam semakin cepat datang saat itu. Kita harus sampai di Perth sebelum pukul 8, beliau menegaskan. Kurasa, mungkin karena kalau sempat terjadi banjir dalam perjalanan pulang, maka kita semua dalam bahaya. Tiba-tiba bis di depan berhenti, menurunkan dua orang peserta tour wanita yang ingin naik ke bis kami.


Ada apa gerangan? Ternyata mereka berdua mewakili penumpang bis di depan yang ingin mengunjungi Mulga Cave, sesuai itinerary dan janji CISWA. Bu supir tak dapat berkata apa-apa, karena mereka janji akan tertib, secepat-cepatnya meninggalkan lokasi supaya bisa pulang ke Perth tepat waktu. Akhirnya setelah berkoordinasi dengan CISWA Volunteer maka kami segera berangkat ke Mulga Cave.


Mulga Cave terletak beberapa kilometer dari Wave Rock. Tempat ini penuh batu-batu besar dari jaman pre-historic di sana-sini berwarna hijau. Tak lupa menambah keseraman tempat itu, batang-batang Mallee yang sudah lapuk menghitam menghiasi tanah sepi tersebut. Yang akan kami kunjungi, menurut perkiraan awalku jelas sebuah gua, dari namanya. Untuk mempercepat kunjungan, kami disuruh antri masuk gua dan hanya sepuluh orang tiap batch yang dapat masuk selama 10 menit untuk melihat-lihat.



Sembari antri, kami foto-foto berlatarkan batu-batu ‘massive’ atau ‘humungus’ tersebut. Kelihatannya kami memasuki batu besar lewat lubang di bawahnya. Apa yang dilihat juga tak pasti, mungkin suasananya saja.



Begitu giliran kami tiba, barulah aku tau bahwa di dalam gua itu mungkin salah satu kediaman suku Aborigin. Gua itu tidak seberapa besar dengan batu-batu besar tersusun seperti ada panggung. Di bagian belakang ada lubang tempat air masuk, sehingga ada genangan air di atas batuan yang tinggi tadi. Beberapa orang menunjuk langit-langit gua. Coretan-coretan berwarna oranye, merah, kuning, putih terlihat di langit-langit tersebut. Ternyata ada lukisan ‘daydreaming’ orang Aborigin. Mengenai lukisan-lukisan ini, akan aku ceritakan khusus suatu hari, karena tiap lukisan dibuat saat mereka sedang merenung di siang hari atau ‘daydreaming’. Lukisan tidak bisa dibuat tanpa pesan moral yang jelas, karena inspirasinya berasal dari perenungan para pelukis kala siang hari.



Setelah waktu yang diberikan habis, kami keluar gua dengan perasaan tak menentu. Speechless aja. Yang jelas, aku takkan berani ever tinggal sendirian di tempat sesunyi ini, dikelilingi batu-batu hijau dengan suasana sekitar seperti dalam film Lords of the Rings bagian Aragon ketemu hantu. Hiii!



Kamipun berfoto-foto di sekitar lokasi dengan batu-batu besar seperti kue muffin.



Termasuk pohon-pohon mallee, pohon tanaman asli Australia yang mengeluarkan aroma kayu putih saat kena air hujan. Pemandangan saat itu sangat menggugah imajinasiku, sampai aku tidak ikutan berfoto di sana. Langit biru cerah seolah tidak ada apa-apa, batang pohon-pohon mallee terlihat mengkilat terkena siraman air hujan, sedang daun-daun menghijau cemerlang seolah-olah baru dibersihkan.



Perjalanan pulang lebih tenang, karena semua orang kelelahan. Kami berhenti kembali di Corrigin untuk antri ke toilet. Setelah itu, semua kembali tidur karena hari sudah gelap. Sesekali terdengar gelak-tawa beberapa orang tetapi sudahlah, sudah lelah. Kira-kira satu jam menjelang sampai di Perth, pukul 9 malam, bis kami berhenti pinggir jalan gelap.


Ternyata bis kedua yang berjalan di depan mogok kehabisan bahan bakar. Disinilah kepanikan terjadi. Semua orang yang berada di bis kedua disuruh naik ke bis kami, dan sedapat mungkin duduk maupun berdiri di tenagah bis. Kami bergeser untuk seorang teman wanita Chinese yang cukup kurus. Beberapa orang terpaksa berdiri di tengah karena tidak cukup tempat duduk untuk menampung mereka. Bu supir terlihat cukup putus asa dengan keadaan tersebut, lalu tiba-tiba mengumumkan bahwa ia keberatan untuk membawa semua orang dalam posisi tidak selamat itu. Mereka kembali diminta turun ke bis kedua. Bu supir berjanji akan membelikan bahan bakar lalu kembali menjemput semua orang.


Bis kami melaju menuju Perth tanpa henti. Begitu melewati sebuah pom bensin kecil, sepertinya tak ada tanda-tanda akan berhenti. Rupanya bu supir telah menelpon markas mereka minta dikirimkan bis pengganti yang mogok. Mungkin akan sampai sekitar 1 jam lagi.


Petualangan kami berakhir dengan tidak begitu melegakan. Hmm, aku terus terbayang hutan musim dingin yang gelap, tanpa toilet, cahaya, bahan bakar dan hujan pula, saat tiba di Perth malam itu. Sampai kapan mereka akan menunggu, ya?


Perth,

Happy ending: akhirnya mereka tiba di Perth pukul 12 malam setelah bis lain datang menjemput.


Sumber: google maps, WikiAnswer, Wikipedia, Australiangoldenoutback

Sunday, May 9, 2010

Belajar dari Fric


Sudah berbulan-bulan aku mengenal Fric, teman riset di Murdoch lab. Orangnya santai, ramah, dan ga pernah lupa nanyain apa yang kulakukan tiap weekend, walopun aku cuma kerja atau nge-lab!

Fric berasal dari Belgia. Negeri dengan coklat terenak, kataku padanya, yang disambut tertawa lebar. Ia berada di Australia, karena melaksanakan riset di lab yang sama denganku di Murdoch. Risetnya murni sains, sedangkan risetku menggabungkan sains dan teknologi. Di Perth, Fric menumpang pada orangtua girl friend-nya di Scarborough. Busyet, setahuku, Scarborough kejauhan amat kalo pergi risetnya di Murdoch Uni.

Sama seperti my hubby, orangnya sederhana banget. Kayaknya kalo punya barang, ya itu aja yang dipake sampai wafat. Buktinya, kalolah orang-orang di sekitarnya pake laptop keren dan termutakhir, laptop Fric cukup IBM lama gede dengan stikernya yang famous. Laptop itu setahuku dipakai untuk ngetik, baca paper, masukin data sehari-hari serta membuat grafik riset. Kalau kuingat laptop netbook terbaruku yang sempet nganggur setahun sebelum aktif dipakai riset, aku jadi tidak enak hati.

Waktu tak sengaja melihat hpku di meja, Fric bilang, 'wow, a fancy mobile phone'. Kupandang hapeku. Iya, emang fancy, ini gara-gara sakit hati ma teknisi waktu aku lagi liat hapenya dikirain mo ngapain gitu. Akhirnya aku beli hp fancy juga, walo sedikit nyesel karena touch screen yang ga user friendly!

Dia juga bilang kalau aku sangat cool, karena punya mobil sendiri yang ada AC-nya. Aku baru mengerti alasannya saat aku melihatnya mengejar bis dari lab ke Scarborough. Aku saja dengan ribuan alasan tidak mau dari Curtin Uni ngebis ke Murdoch, membeli mobil kecil tahun 1999. Tapi, dia tanpa dapat berkata apa-apa karena mungkin memang tidak punya dana lebih, terus sabar berjalan, naik bis, naik kereta dan jalan lagi sampai Scarborough.

Hari ini aku kembali turut prihatin, karena Fric berlari-lari ke dalam lab meminjam hape siapa saja yang berkamera untuk memotret risetnya. Dia ingat hapeku berkamera. Kutawari ia memakai kamera digital tuaku saja, karena aku bawa kamera di tas. Sepertinya Fric senang sekali, selain kerjaan risetnya, Dr N, R serta A yang sedang mengerjakan eksperimen juga difoto olehnya. Mungkin untuk kenang-kenangan.

Ah, Fric. Aku jadi malu pada produktivitas dan kesederhanaanmu.

Sudah nyaman, pakai barang-barang baru, canggih, tersedia di tas, laci, komputer, tapi kerjaan risetnya tetep acakadut, ga rajin malah sering mengeluh ini-itu.

Hmm, aku berjanji untuk jauh lebih rajin serta tidak mengeluh lagi.

Perth,
Thanks Allah for teaching me through lots of low profile friend in life

Saturday, May 8, 2010

Begitu seriusnya pengaruh Facebook


Aku sedang menonaktifkan account Facebook-ku. Bosan dengan Facebook?

Aku mulai ketagihan main di Facebook sejak tahun 2009. Kelihatannya tiada waktu tanpa mengecek account, nyapa teman-teman, melacak profile mereka atau menikmati foto-foto di account teman-temanku. Dengan rajin aku memasang foto, gonta-ganti album, ngetik kabar di emailnya, komen foto-foto orang, walopun aku berprinsip tak mau sering-sering update status karena status itu masalah pribadiku.

Memang seneng juga ketemu orang-orang lama, terutama yang dulu musuh bebuyutan. Kan bisa 'riya', membandingkan kesuksesan, hehe. Buktinya, bukan cuma aku, semua orang rata-rata memasang foto keluarga, anak, rumah, tongkrongan, sedang liburan, semuanya sejadi-jadinya.

Setelah beberapa lama, aku mulai sering klik 'hide' untuk beberapa orang mulai terasa 'mengganggu' dengan status-status ga jelas maupun yang sedang pamer. Kadang perasaan gerah tak tersampaikan, karena yah, ntar dibilang sirik, walau sudah tak jelas mana riya mana memang berbagi lagi. Lama-lama aku sering jadi mempertanyakan diriku sendiri, apakah aku jengkel karena mereka tidak terlihat tulus dalam menulis status atau sedang iri? Kesannya, kok kalo ada sebuah status yang jelas-jelas riya, yang ngasi komen sepertinya harus 'iri' dengan nasib mereka saat itu. Aku kira, memang akunya yang tidak sehat, suka jeles ga jelas, atau lagi sensitif. Tetapi lama-kelamaan teman setia pengkomen kurasa memang sudah berkurang pula kekaguman mereka. Iyalah, kalau hari-hari hanya memamerkan kesuksesan, yah, lama-lama jadi terasa biasa saja kan. Halah, maksudnya apa ini...

Sebenarnya, jujur saja, aku suka gerah dengan status dan profile yang mengurangi rasa bersyukurku karena rasa jeles tadi. Kupikir-pikir, ini mungkin akibat 'tidak menjaga pandangan mata'. Maksudku, lebih banyak melihat hal-hal (melalui foto dan status) orang yang 'lebih' dariku, sehingga aku kerap merasa pesimis dan kurang beruntung. Padahal aku sedang berjuang keras juga lho, tapi sejak lihat orang-orang lain terlalu sering mengumumkan kesuksesannya, aku jadi kurang menghargai diriku sendiri. Aku mulai overreacted, nih, kawan...

Suatu hari, mataku tertumbuk pada sebuah artikel bagus di www.rumaysho.com. Linknya berikut: http://www.rumaysho.com/faedah-ilmu/15-faedah-ilmu/2959-benci-dengan-popularitas.html

Saat itulah aku memahami mengapa ada hubungannya menahan pandangan mata dengan kegelisahanku membaca dan melihat profile/foto teman-temanku di Facebook. Facebook yang dipuja jutaan orang, ternyata merupakan ladang-ladang baru tempat mencari popularitas semu. Semua orang ingin terlihat sukses, mantap, berada di langit teratas, dan tak bercacat, menutupi berbagai kekurangan dalam hidup mereka. Apalagi kesuksesan hanya diukur sebatas materi, lokasi liburan sampai lokasi pekerjaan. Tidak ada suasana kerendahan hati, saling menyemangati, menutup diri supaya orang tidak mengetahui kesuksesan maupun aib kita lewat mampu merahasiakan perkembangan diri kita dari menit ke menit.

Astaghfirullah, aku merasa jenuh dengan pameran semua itu. Aku tidak mau tau terus-menerus tentang teman-temanku. Aku kan juga punya kehidupan sendiri, tidak selalu mau diketahui dan mengetahui semua orang. Aku ingin bebas dan get real, tanpa beban menikmati hal-hal nyata seperti sesekali mengetahui kabar orang dan kesuksesannya. Tapi tidak berlebihan seperti ini, pikirku putus asa.

Akhirnya, kunon-aktifkan accountku untuk sementara, hingga suatu hari aku berani memutuskan lepas total dari hiruk-pikuk Facebook dan ajang popularitasnya.

Perth,
jangan ditanya kemana aku pergi... pindah ke Friendster?:)
Reference: http://au.lifestyle.yahoo.com/womens-health/health/article/-/7291504/too-much-information/2/

Monday, May 3, 2010

Kuping sensitif


Tak tahu, mengapa kupingku sensitif. Sensitif ma petir, keributan, suara mesin, suara orang membentak sampe suara orang menggosip...

Mendengar suara orang berbicara saat lagi menulis saja, hati sudah geram. Sulitnya berkonsentrasi. Apalagi kalau brother Wong mulai cas-cis-cus dengan bahasa China, sudahlah, mana yang mau dikonsentrasiin nih. Paper yang sedang ditulis, atau mikirin kira-kira dia ngerumpiin aku?

Malam haripun aku suka terganggu saat tidur kalau dengar tetangga masih ribut nelpon sampe tengah malam pakai bahasa India. Sudah cepet, ga jelas apa yang lucu, bikin geram deh. Besoknya aku pasti ngantuk, karena kurang tidur.

Dalam perjalanan di pesawat pun tidak mudah sekali menemukan kedamaian. Perjalanan Perth-Singapore return atau ke luar negeri, kan bisa berjam-jam. Selain menonton tivi atau membaca, aku berusaha untuk tidur nyenyak supaya tidak terlalu lelah begitu sampai di negara tujuan. Kalau sudah begitu, kadang deru pesawat yang kurang halus, obrolan panjang tetangga sebelah, atau bunyi bising lain misalnya pasangan kekasih yang berargumen sepanjang perjalanan, pasti bikin aku lebih sensitif.

Ribet ya?
kata my hubby, pasti karena kurang olahraga. Apa hubungannya? Wong, sudah ngerjain lab segitu beratnya sampe ga perlu ke fitness centre lagi, masih kurang mampu ngatasi kuping sensitif yang gampang bikin aku terjaga.

Ternyata, setelah beberapa bulan di lab, aku menemukan solusi yang paling menyenangkan dan membantuku untuk tidak cepat geram dan sulit tidur.

Suatu hari aku melihat kotak besar bergambar berisi beratus-ratus pak sepasang karet berwarna kecil di lab. Hari itu mahasiswa undergrad sedang membuat beton. Kulihat, tiap orang memasukkan sepasang karet ke dalam telingat dengan memuntirnya, lalu membiarkan benda itu mengembang dalam kuping. Benda itu ternyata digunakan untuk mengurangi masuknya polusi suara sehingga mereka bisa menjalankan mesin penggetar dengan keras.

Hari itu aku tau, aku menemukan apa yang kucari seumur hidupku.
Tapi yang jelas bukan penemu earplug!

Earplug, adalah benda yang selalu kutemukan di meja kecil samping tempat tidur klien kami saat bekerja sebagai pembersih rumah mereka. Aku selalu memungut benda-benda karet di karpet, yang sudah separo dekil, tetapi harus ada di sana. Ternyata, benda itu dimasukkan ke telinga, lalu si pemilik tertidur pulas tanpa pusing dengerin bayinya menangis sepanjang malam.

Akhirnya, aku mengambil berlusin-lusin earplug dan menyimpannya di dalam kantong celana, laci kantor, lemari rumah, meja kecil di samping tempat tidur, dalam kotak pensil, tas travellingku... pendeknya di mana saja.

Sekarang aku dah ga mudah darah tinggi lagi berkat earplug yang menyelamatkanku dari kuping sensitif.

Termasuk kalau hari itu aku ga ingin dengar gosipan orang-orang di lab, aku cukup menyumpalkan earplug dan terus mengerjakan tesku sambil pura-pura budeg:) Lumayan, kerjaan beres, hati tenang...

Perth,
love those colorful rubber!