Monday, June 28, 2010

Kembang-kembang di mana-mana

Ada kebiasaan baru yang kumiliki saat melihat kembang-kembang. Kalau dulu tanganku gatal ingin memegang dan memilikinya, hehe, sekarang ternyata aku cukup gembira jika dapat memiliki foto-fotonya. Mungkin, sejak seorang teman yang jengah dengan kebiasaanku itu bilang, "picking wild-flowers is crazy". Juga diperkuat oleh seorang manajer akomodasi di Perth yang mengatakan dengan lebih halus lagi, yaitu, "picking wild-flowers is not an acceptable behavior". Itulah sebabnya, aku berpikir-pikir lagi mengotori kedua tanganku dengan memetik kembang atau daun yang kuminati. Selain itu, kembang-kembang yang sudah layu dalam tas atau kantong celana, memang tidak indah dan menyakitkan. So now, kalo ketemu kembang, aku hanya just get relax, keluarkan kamera hape, dan memotret dari berbagai sudut pandang. Ok, mari kita nikmati foto-foto kembang berbagai musim koleksiku, dan jangan lagi memetik kembang liar apalagi kembang di halaman orang, ya?


Musim gugur:




Musim panas:





Musim semi:



Perth,
kembang berbagai musim yang dicapture my camera.





































Thursday, June 24, 2010

Pidato perpisahan Kevin Rudd


Hari ini bisa jadi hari paling menyedihkan dalam hidup Kevin Rudd dan para simpatisannya, perdana menteri berkuasa Australia yang didepak dari jabatan oleh partai politiknya sendiri. Berwajah simpatik, cerdas, bertutur kata santun dengan bahasa Inggris yang jelas, tegas, serta compassionate pada orang lain. Ia adalah korban dari drama politik yang keras, kata Collin Barnet, primer Western Australia.

Berita ia akan diganti, santer sejak kemarin sore. Padahal aku sedang menulis artikel tentang pentingnya arti polling bagi pemerintah Australia. Aku berharap, ia dapat keluar dari kemelut politik dan pemerintahnya dalam beberapa hari. Kevin Rudd, selalu dapat membuktikan kalau ia memang jago dalam menyelesaikan masalahnya. Akan tetapi, pagi ini, saat bangun pagi dan tak kudapati kartun favoritku disiarkan, barulah aku tau ada disaster. Yang jelas, bukan karena kartun favorit tidak ada, tetapi, Julia Gillard menjadi pemimpin Australia yang baru menggantikan Kevin Rudd.

Aku tidak akan merujuk otobiografi Kevin Rudd yang bisa kita baca sendiri langsung di Wikipedia. Fantastis, Wikipedia dalam hitungan jam-jam-an telah memperbarui isi website mereka.

Pukul 9.30 pagi, pidato perpisahan oleh Kevin Rudd dari Canberra disiarkan oleh semua channel. It is hard, also, for us, the viewers. Sosok simpatik itu diantar oleh istri dan ketiga anaknya untuk mengucapkan kata perpisahan. Awalnya beliau masih mampu menyebutkan beberapa hal yang telah diselesaikan oleh pemerintahnya. Tetapi saat menyebutkan prestasi kerja mereka di bidang perawatan kanker dan organ donor, ia mulai sering terdiam, menghela nafas, menahan tangis. Kemudian dengan tersendat-sendat ia memulai kembali mengumumkan hasil kerja keras berikutnya. Beliau terlihat sangat emosional di saat menyebutkan hasil kerja mereka di bidang-bidang kemanusiaan yang berkaitan dengan masyarakat luas. Istri dan anak-anaknya turut berkaca-kaca di belakang beliau. Menurutku, ia yang tadinya menegakkan posisi punggung, lama-kelamaan mengirimkan pesan visual betapa berat beban ditanggungnya, karena tiap berkata ia semakin menunduk dan menunjukkan emosi campur aduk. Istrinya sering harus berulang-ulang mengingatkan apa yang harus dikatakan, sehingga ia masih bisa meneruskan pidato perpisahannya. Aku terharu, melihat ia mulai menyatakan bahwa 'istrinya adalah orang terbaik' yang pernah ia kenal, dan 'doesn't deserve somebody like him'. Theresa langsung mengucapkan beberapa kata untuk menyadarkan Kevin Rudd, yang segera mencoba menutup pidato beliau.

Aku langsung menyadari, saat kita mulai merasa tidak cocok untuk seseorang yang tulus seperti pasangan kita, itu adalah mimpi buruk tiap orang yang mengalami kejatuhan. Ia merasa tidak pantas untuk pasangannya. Ah, sedihnya, jika my hubby tidak ikutan menonton bareng, mungkin akupun sudah mulai ikutan menitikkan air mata.

Benar kata Collin Barnett, ia adalah korban politik yang kejam.

Kevin Rudd pada dua bulan terakhir ini berusaha menjalankan kebijakan super tax 40% untuk mining industry, tetapi ia dihadang oleh oposan, tanpa pernah dapat selesai memperjuangkan aspirasinya. Para senator di partainya bergeser memihak di belakang Julia Gillard, dan memberikan dukungan agar partai Labour tidak kehilangan pemilih karena popularitas Kevin Rudd yang terus menurun sebelum pemilu dilaksanakan. Karena Kevin Rudd terus bersikeras tidak mau mundur dari kebijakan super tax-nya, maka konspirasi politik meminta ia mundur, sebelum G20 di Toronto Canada. Apa sebenarnya yang diinginkan Kevin Rudd dari super tax tersebut? Ia menginginkan pemerataan bagi hasil dari industri mining untuk membangun sekolah-sekolah, rumah sakit, perpustakaan, pendeknya fasilitas bagi masyarakat. Tapi kebijakan ini pisau bermata dua, karena akan menghancurkan sistem investasi di mining industry serta menurunkan taraf hidup orang di sekelilingnya karena kenaikan harga-harga akibat tingginya pajak. Sayangnya, pisau itu menusuk ia kembali, karena ia harus mundur karena memperjuangkan kebijakannya. Yang paling kejam menurutku, adalah orang yang berjanji akan terus mendukung kita, tetapi ternyata mengambil alih posisi atasan kita. It's a worst political lesson ever for me. Julia Gillard berjanji akan terus mendukung Kevin Rudd, tetapi malah berbalik menyatakan bahwa pemerintahan Kevin Rudd telah kehilangan arah dan siap menjadi Perdana Menteri menggantikan Rudd. Hal ini untuk mengantisipasi kekalahan partai Labour dalam Pemilu mendatang. Wah, kok terasa kurang elok ya, jika keinginan untuk membantu malah berujung pada 'pengkhianatan' pada teman satu tim yang telah membesarkan kita. Kan kita yang sama-sama berjuang, lalu kita pula yang menyingkirkan teman kita hingga ia terjerembab di jalan.
Bagiku, semua ini adalah pelajaran moral. Pemimpin yang terbaik memang mendahulukan kepentingan rakyat ketimbang sebagian kalangan saja. Kedua, tiap pemimpin yang mengarah pada memperbaiki hal-hal kepentingan rakyat, seringkali dihadang oleh kepentingan orang-orang yang lebih 'kuat' dalam kepentingan ekonomi. Ketiga, kita perlu mengaplikasikan etika dalam bekerja. Jika teman melenceng, mari mengingatkannya. Jika ia lupa, ingatkan lagi, hingga ia mengetahui bahwa ia tidak melakukan hal yang benar. At least, jaga perasaannya dengan tidak menikam dari belakang demi kepentingan yang lain. Apapun yang telah buat untuk kepentingan rakyat, pastilah akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan. Jadi, jika Kevin Rudd seorang muslim, maka ia sebenarnya harus berbesar hati, banyak kebaikan yang sudah dijalankannya untuk rakyat. Hanya sayangnya itulah, ia bukan muslim, jadi kita kembalikan pada Allah untuk menilainya. Dalam tayangan tadi, aku melihat bahwa keluarga adalah support terbesar dalam hidup Kevin Rudd. Hari-hari terakhir masa jabatan ini pastilah dapat dibayangkan betapa tingginya dukungan sang istri pada suami yang kelelahan mendukung semua beban. Ia ringankan bebannya dengan rasa empati dan mencoba memberikan arahan-arahan masuk akal, saat Kevin Rudd mulai melantur dalam berpidato. Hmm.

Oh well,
It's a kind of emotional feeling for me, too. Saat pertama kali datang ke Australia, dan tak lama akan meninggalkan Australia, ada pemimpin meyakinkan dan sungguh ngemong pada rakyat, seperti Kevin Rudd yang pernah mewarnai hari-hariku. Aku belajar banyak dari cara beliau berpolitik, berpikir dan menghadapi media massa serta kritikan. What a wonderful personality!

Perth,
Goodbye, PM Kevin Rudd. Thank you.

Monday, June 21, 2010

Chittering Valley

13 June 2010
Pada ultahku tahun ini, aku minta hubby mengantarku piknik ke Chittering, di daerah Bindoon, Chittering Shire. Menurut buku panduan Traveller’s Atlas, Chittering Valley hanya sekitar 50km dari Perth. Aku ingin melihat Chittering Lake, peternakan, kalau bisa bunga liar serta kebun jeruk di sana.

Walaupun katanya winter, tapi langit begitu cerah dan udara terasa hangat. Hari yang benar-benar cocok untuk berpiknik. Seperti biasa, saat mobil sudah mulai jalan, si navigator selalu diomelin karena malas baca peta. Sebagai catatan, navigator itu aku, sedangkan driver, ya hubby. Navigator yang satu ini memang malas baca peta, karena kan judulnya mau nyantai menikmati pemandangan plus kembang-kembang di jalan. Tapi kalau nyasar di luar kota, ga seru, soalnya cukup jauh juga muternya. Benar kan, akhirnya kami sempet muter juga di bunderan sebelum CBD, setelah sebelumnya tidak belok kanan menuju Great Eastern Highway dari Shepperton Road. Dari Great Eastern Road, kita terus menuju Roe Highway terus ke Midland. Jalanan cukup ramai, apalagi GEH, barangkali karena hari Minggu. Mobil-mobil bercc-besar yang lebih cocok untuk jalan keluar kota memenuhi GEH. Mungkin termasuk grup mobil granny yang jarang terlihat di jalanan seperti itu. Anyway, setelah setahun masuk grup granny’s car, kami mencoba mengambil hikmahnya, yaitu lebih mudah memenuhi aturan kecepatan di jalan raya karena ga perlu terlalu ngebut sehingga rentan kena speeding ticket! Yay!

Memasuki Midland, mulai kepanikan terjadi, karena navigator lupa melihat peta. Setelah sempet berhenti di Midland CBD, untuk mengecek arah yang tepat, akhirnya kita baru tau kalau di perempatan Midland, Roe Hwy, kita cuman perlu belok kanan, menuju Great Nothern Highway ke arah Geraldton/Mekatheera. Ok, kita muter lagi dan ketemu GNH, no worries! Ternyata kita sampai di daerah Margaret River Valley yang penuh dengan kebun-kebun anggur di sepanjang jalan. Sayangnya karena sudah winter, daun-daun di pohon anggur tersebut mulai menguning dan ga ada sebiji anggurpun yang tersisa. Kalau mau motret yang keren, mungkin perlu datang di akhir summer, saat anggur siap dipanen.


Badan jalan mulai mengecil, sesekali mobil kami dibalap di daerah ’Overtake’ oleh mobil-mobil yang ingin kencang. Kamipun tetap nyantai dengan kecepatan sekitar 70-80km/jam, karena no pressure. Pemandangan cukup unik, banyak daerah pertanian penuh sapi-sapi merumput, kadang-kadang hutan yang tak seberapa lebat, dan padang-padang rumput liar.




Saat kami melihat kebun-kebun jeruk mandarin, orange dan lemon berjajar rapi di pinggir jalan, barulah merasa sedikit lega.



Soalnya, sudah dekat Chittering Valley, yang terkenal dengan orange orchardsnya.




Aku ingin melihat ’kotanya’, jadi kami terus ke Bindoon. Banyak juga orang berjualan jeruk mandarin dan orange, di pinggir jalan dengan harga 50% dari harga sekilo jeruk di Perth. Pusat kota Bindoon ternyata kecil sekali. Ada beberapa toko kecil dan kuno, community centre, klinik, pom bensin, IGA, kantor pos dan town hall. Aku sempet lega juga melihat gambar ladies and gentlemen yang berada di kantor pos. Maklum, daku kan ’toilet freak’... hiks!



Alright, mari kita mencari Lake Chittering yang berasal dari bahasa Aborigin, berarti ’danau bercicit-cuit’ karena merupakan tempat burung-burung berkumpul di sana. Di buku panduan terbitan tahun 1994 itu, gambarnya bagus. Kupikir aku bisa piknik di tepi danau, mungkin ada jettynya, tempat duduk seperti di tepi Swan River.
Kami kembali ke persimpangan yang menunjukkan arah menuju Chittering Valley.



Oh, itu lake-nya! Aku bisa melihat air biru di balik pepohonan. Kami berhenti sebentar di pinggir jalan untuk memotret pemandangan million-dollar yang tidak ada di Perth. Sapi-sapi merumput berlatarkan pepohonan dan air danau yang biru, serta bukit menghijau, sooo cool!



Aku juga excited melihat pohon-pohon mallee yang super langsing berjajar di tepi jalan menuju Chittering Valley.




Kamipun terus menelusuri jalan mencoba mencari persimpangan untuk masuk ke danau. Sepanjang jalan aku melihat perbukitan yang indah, berbatu-batu, kadang ada kebun jeruk, kebun buah zaitun, sapi, kuda, domba merumput, pertanian, dan iklan ’land sale’, tanah dijual. Bukit hijau dan penuh farm ini seperti di Perth Hills saja.



Setelah cukup lama, kok tidak ada tanda-tanda jalan masuk ke lake ya? Kami tidak memutar, tetapi terus mencoba mencari persimpangan menuju ke danau. Cukup jauh juga, akhirnya ada persimpangan ke Toodyay, bukan ke danau. Karena melihat kincir angin khas Australia di tepi jalan, aku dan hubby turun sebentar mo motret-motret di depannya. Ternyata kami tak sengaja berhenti di area piknik. Kebetulan ada sungai kecil dekat pepohonan di bawah sana. Aku dan hubby akhirnya piknik dan shalat di sana.


Jadi, inilah ultah gaya Australian outback. Tanah memerah lengkap dengan kincir angin khas Australia. Indah, bukan?



Kamipun kembali mencoba mencari jalan masuk ke Chittering lake. Ternyata ada jalannya, tetapi sungguh sayang, kami harus memiliki kendaraan 4WD kalau ingin melihat danau tersebut. Soalnya dengan menelusuri jalan tanah merah berbelok-belok dan mendaki ke atas bukit, barulah kita bisa melihat pemandangan indah danau tersebut.

Karena aku dan hubby pesimis mobil granny kami mampu memenuhi tantangan itu, kami berbalik arah ke Perth. Setelah melewati jalan yang kasar dan mobil terlontar batu-batu kerikil, kita sempat berhenti di pinggir jalan. Subhanallah, aku melihat kumpulan bunga-bunga pink! Begitu mobil berhenti, aku berlari-lari ke arah beberapa flower beds, langsung mau motret dengan kamera hpku. Inilah beberapa hasilnya... so sweet dan beautiful!





Oh well, tidak lupa balik ke Bindoon dahulu untuk melihat toilet terakhir kalinya. Saat kembali dari Bindoon, kami sempat berhenti di jalan, karena ada kendaraan oversize mau melintas. Saat kameraku ready mau memotret mobil apakah gerangan yang akan lewat, ternyata aku kaget bukan kepalang. Soalnya yang lewat, mobil yang gedeeeeeee sekali, seperti dump truck untuk daerah pertambangan. Aku sampai salah pencet tombol, bukannya click, tapi off! Abis rodanya aja tiga kali tinggi mobil gran-ku! Gimana ga panik, man!

Oh well, itulah hari ultah penuh kenangan di Australian outback yang berkesan. Not bad walaupun air danau Chittering ga tersentuh olehku, hiks!

Perth,
Ten years ago, I celebrated my 25th birthday in London, dengan makan rawon di KBRI! (inget ga, mbak Sari?)

Friday, June 18, 2010

Menyebut-nyebut pemberian


Kali ini aku dihadapkan pada seseorang yang tak henti-hentinya menyebut-nyebut pemberiannya kepadaku. Hal itu diucapkannya dalam email, lisan maupun lewat perkataan orang lain. Sungguh, aku terluka mendengarnya, seolah-olah aku orang yang tak tau berterima kasih.

Beginilah rasanya menjadi orang yang 'menerima' budi orang lain. Ditambah pula orangnya tidak ikhlas membantuku, sehingga berat terasa punggungnya karena telah membantuku. Tiap kali aku bertemu, ia tak lupa mengingatkan bahwa bla-bla-bla, ia telah menolongku, teman-temannya telah membantuku dengan gratis (ingat, semua dibayar di negeri Barat ini dengan uang!), sampai-sampai ia seperti tak rela berbagi ilmunya maupun isi kepalanya padahal ia kaya-raya dengan ilmu.

Allah SWT berfirman, "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah maha kaya lagi Maha penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)," (Al-Baqarah: 262-264).

Padahal sudah jelas, bahwa mengungkit-ungkit pemberian, yang menurutku tidak hanya berupa harta-benda tetapi juga ilmu dan menyakiti si penerima haram hukumnya. Kedua sifat buruk tersebut ternyata dapat membatalkan rasa syukur dan menghapus pahala amal yang dikerjakan.

Apalagi jika terus diulang-ulangi ya, seperti kita tidak bisa mendengar saja?

Nah, bagaimana sikap kita jika dizalimi seperti itu?

Menurut buku Wisdom 2.0, jika seseorang menyakiti hati kita dalam hal apa saja, maka ada beberapa cara untuk mengatasinya:
a) pikirkan hikmah apa yang dapat kita petik dengan perlakuan menjengkelkan orang tersebut ke kita;
b) coba amati kira-kira hal apa yang membuat kita jengkel, apakah sikap bossynya atau sombongnya. Perhatikan, apakah kita juga memiliki sifat demikian. Daripada kita ingin merubah orang tadi, ada baiknya kita yang mencoba lebih kuat dengan menambah kemampuan untuk bersikap lebih sabar atau menganggap hal tersebut bukan hal yang perlu dibesar-besarkan.

Setelah menghirup nafas dalam-dalam, aku baru mengerti makna dua langkah di atas.

Pertama, aku belajar bahwa tidak baik menyebut-nyebut pemberian baik berupa jasa, pikiran maupun harta kepada seseorang dalam keadaan apapun. Selain itu menyakiti hati si penerima, aku juga merasa bersalah karena pahala perbuatan baikku telah lenyap.

Kedua, aku mungkin sering bersikap bossy dan sombong. Jadi inilah rasanya diperlakukan oleh orang yang memiliki sifat demikian. Tetapi, saat ini aku tidak akan melawan dengan sama keras dan sombongnya. Aku hanya menganggap kalau orang tersebut terlalu berlebihan dan sedang membuat drama. Aku merasa tidak perlu mengeluarkan respon apapun hingga dia siap diajak diskusi dengan pikiran jernih tanpa emosi.

Mudah-mudahan ini membantuku untuk lebih tenang jika ia kembali menyebut-nyebut pemberiannya.
Ohhh, banyaknya pelajaran hidup:)

Perth,
mudah-mudahan Allah menjauhkan aku dari kezaliman orang itu lagi.

Tuesday, June 15, 2010

Tergelincir ghibah


Hari itu aku bertemu mbak J dalam kegiatan praktikum. Kegiatannya tidak sulit, cuma mengawasi mahasiswa mengadakan eksperimen, menjawab pertanyaan mereka dan memberikan nilai. Pekerjaan ini menarik, karena sambil bekerja, kita juga bisa membaca bahan-bahan riset atau sekedar ngobrol dengan sesama pembimbing.

Biasanya omong-omong dimulai dengan saling berkabar soal riset, supervisor ataupun keluarga. Tapi saat itu mbak J kok sepertinya jadi menggelar 'dagangan' beliau, maksudku, 'gossipan' terhot dari seputar kehidupan teman-teman Indo di Perth.

Mataku terbelalak, feeling a bit excited, soalnya aku memang tak pernah gaul dengan banyak orang di sini. Satu-satunya temanku ya, si hubby, sesekali Mareese dan beberapa orang untuk say hello serta memberi semangat.

Jiwaku bergetar, cieee... soalnya dah lama tak omong-omong tentang orang lain, apalagi kok yang dibicarakan sungguh mesakne kisahnya. Me-sak-ne, mungkin diartikan 'menyedihkan' saja. Mbak J mulai mengupas selapis demi lapis isu-isu mengenai orang tersebut dengan penuh semangat. Aku terpukau mendengarnya. Sesekali aku menyelingi dengan berbagai komentar, yang menurutku cocok dengan ulasan mbak J.

Mbak J pun memulai isu demi isu dengan 'katanya', terus 'katanya', plus sedikit analisis mengenai hal tersebut sebelum memulai dengan 'katanya' yang lain lagi.

Tiba-tiba, hik! aku mengucap dalam hati. Astaghfirullah... apalagi setelah tersadar bahwa tanggapanku cukup menggeneralisir suatu fakta tanpa memberikan alasan logis di balik semua itu. Cuma tanggapan doang, pikirku dengan gelisah. Tapi kok mbak J jadi begini seru mengulang-ulang point gossipannya lalu menghubungkan dengan tanggapanku.

Aku kembali tidak enak hati, apalagi setelah 'katanya-katanya' yang kutau harus dikonfirmasi dengan obyek bersangkutan. Apa benar seperti itu, atau cuma khayalan penggosip sebelum mbak J atau semua ini jadi satu tanpa ada yang mau membuktikan keabsahannya.

Syukurlah setelah beberapa saat mbak J tidak meneruskan ceritanya. Mungkin sudah abis atau karena aku telah lama diam tidak menanggapi.

Astaghfirullah. Kalaulah mbak J bercerita tentang orang tersebut demikian fasihnya, bukan tidak mungkin tanggapan-tanggapan tidak logisku tadi bisa diakumulasikan dan diceritakan kembali ke orang lain dalam bentuk cerita yang lebih kaya dari versi awalnya. Hiii, aku mendadak ngeri sendiri.

Kengerianku terbukti saat keesokan harinya aku bertemu teman mbak J yang mencoba mengkonfirmasi isi gossipanku dengan mbak J sebelumnya. Saat kutanya kira-kira apa yang ingin dibicarakan, dengan tersenyum lebar, orang itu mengungkapkan betapa senangnya dia mengetahui info hot walaupun hanya sepersekian isi tanggapanku kemarin. Mataku kembali terbelalak, menyadari betapa besarnya kesalahanku menyebarkan spekulasi yang dianggap menarik dan disebarkan tanpa disaring lagi oleh mbak J dalam waktu hanya semalam!

Aku merasa semakin bersalah.

Tadinya aku sudah belajar untuk stop menjadi penggosip amatir, tapi kok hari ini jadinya malah aku lebih buruk dari seorang penggosip kaliber nasional. Aku malu pada Allah. Bukankah penggunjing atau penggosip itu sama dengan menceritakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu dia tidak menyukainya. Walaupun kita tidak menyukai orang tersebut, kita tetap diberi amanah menyimpan rahasianya yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (QS 49:11-12).

Sambil berpura-pura mau mengecek buku terbaru di lantai tiga perpustakaan, aku tinggalkan teman mbak J yang terlihat antusias ingin mengkonfirmasi isi gosipan tadi.

Hmmh, kurasa, lain kali, aku harus lebih cerdas untuk tidak mengungkit-ungkit kabar-kabar orang lain yang menggelincirkan kami ke dalam ghibah dan berakhir dengan mendapat laknat Allah.

Astaghfirullah...

Perth,
sorry mbak J, yuk kita sudahi acara rumpi-rumpi ini.

Saturday, June 12, 2010

Kenapa mesti mengeluh?


Hari yang indah, pikirku penuh semangat melangkah ke kantor. Langit bersih biru tanpa setitik awan. Pohon hijau meneduhkan rumput yang dipenuhi bunga kuning dandelion. Burung gagak sebesar ayam yang suka main di depan kantorku berlarian saat aku mendekati mereka. Angin begitu segar bertiup seolah setuju, hari ini begitu perfect untuk memulai riset!

Aku membuka komputer, mengecek email dan melirik game bentar. Husy, bentar, kok! Lalu kubuka laptop miniku yang sudah rutin kugunakan dua bulan ini. Aku ingin memenuhi targetku, menulis tesis setidaknya dua jam sehari!

Kulihat paragraf dan sub bab yang masih bolong-bolong di sana-sini. Ah, yang penting sudah dimulai pekerjaan ini, daripada ingin bagus langsung, sangat tidak mungkin. Aku mulai mengetik beberapa kalimat baru saat pintu kantor dibuka...

Terdengar suara "ahhhh...." gaya khas teman sekantorku. Datang dengan nada mengeluh.

Kok 'ahhh' sih? Tiba-tiba aku jadi sedikit emosi dalam hati.

Tetapi sudah jadi kebiasaannya beberapa tahun belakangan ini untuk datang dengan nada khas mengeluh. Tentu saja dalam kondisi normal akan jadi bertanya, what's going on, terus jadilah kemudian setengah jam berikutnya kita akan mendengarkan keluhan demi keluhan dari dirinya tentang berbagai hal. Maksudnya, apa itu ya, supaya aku ikutan freaking out dan tidak fokus pada pekerjaanku lagi?

Aku ingat masa-masa awal datang ke mari. Rasanya semua tidak benar. Supervisor lah, lab lah, teknisi lah, semua-muanya serba membuatku mengeluh. Aku datang ke pojok sana, mengeluh. Datang ke rumah teman, mengeluhkan hal tersebut lagi. Berjam-jam menelpon hubby mengeluhkan hal yang sama. Pokoknya, ngeluh, melulu topiknya.

Saat aku datang berkunjung ke rumah teman untuk kumpul-kumpul, kurasa ngeluh mode, akan ON. Aku sudah mulai satu kalimat tentang supervisorku. Eh, tanpa kusadari, ada teman mulai beringsut duduk di dekat pintu. Kulanjutkan keluhan tentang labku. Eh, teman kedua permisi mo ambil makanan, tapi tidak kembali. Aku masih belum nyadar, masih ngeluh terus tentang hal berikutnya. Teman yang masih sabar nyengir kuda doang, tapi terus berbalik menyapa teman lain. Well, singkatnya, aku tinggal sendiri di dekat setumpuk sandwich, karena tidak ada yang mau makan sandwich atau takut tertular energi negatif keluhan-keluhanku?

Pulangnya aku berpikir keras. Tersinggung juga sih, ditakuti orang seperti itu. Semua punya problem dengan supervisor, riset, etc, tapi kuperhatikan, tidak ada yang curhat di sana. Walau gengsi membludak, aku introspeksi diri. Betapa tidak enaknya menjadi manusia yang kerjanya mengeluh sana-sini. Selain menurunkan semangat diri sendiri, orang lainpun takut dekat-dekatku lagi. Takut tertular aura energi negatif dan ikutan moody, kali!

Nah, sama dengan temanku yang tercinta ini. Setiap dia menghela nafas disertai bunyi keluhan itu, betapa banyak jatuh level semangatnya.

Kalau dia tengah gelisah seperti itu, aku semakin keras menyuruh diriku untuk berusaha bersikap tenang. Masalahnya aku tau, jika aku marah atau naik darah menyuruhnya tenang, maka bisa berakibat buruk, apalagi kalau salah omong. Kupikir-pikir, sebenarnya sikap diamku mungkin membuatnya gelisah. Padahal aku tidak tenang loh, lagi syok malah, karena bingung juga dengan risetku. Tapi ya itu, penampilanku yang tenang akibat sudah pasrah ma Allah itu seperti ingin diruntuhkannya, agar aku ikut gelisah juga. Jika aku gelisah, apakah dia akan menjadi lebih tenang?

Alangkah anehnya hubungan pertemanan sesama wanita! Jika seseorang berada di emergency pilot, apakah kita harus solider turut terjun dalam suasana yang sama?

Setelah tidak dapat mengingatkan ia lagi dengan sabar, maka aku mengambil sikap kalau aku tidak akan turut dalam emergency pilotnya. Aku punya pilihan untuk tetap tenang, tidak terpancing dan meneruskan pekerjaanku. Kukira temanku harus belajar juga bahwa keadaan seperti ini akan dia lewati bersamaku hingga kami lulus, karena aku akan hadir di kantor mengerjakan tulisanku dan menyelesaikan tesisku.

Maaf teman.
Semua kita sedang berjuang, kan. Marilah kita sama-sama menyemangati satu sama lain. Mudah saja, loh. Tetaplah bersikap tenang dan tawakal kepada Allah. Insya Allah kita akan sama-sama sampai di tujuan akhir kita.

Lagipula, apa lagi yang ingin kita keluhkan habis-habisan seperti itu? Toh, masih diberikan Allah kesempatan sekolah di tempat yang indah ini, tidak perlu keluar biaya sendiri, bisa mendapatkan sebuah ilmu baru tiap hari, mendapat pahala karena bekerja keras menuntut ilmu sambil mengurus keluarga, dan masih banyak lagi hal lain yang bisa disyukuri.

Keluhan-keluhan kita itu sungguh membuat hati kita jauh dari bersyukur kepada Allah.

Stop mengeluh, ayo tetap berjalan, walaupun harus terseok-seok dan tertatih-tatih...

Perth,
untuk salah satu teman yang kusayangi di kampus...

Wednesday, June 9, 2010

Berteman

Salah satu skill yang baru kusadari penting dimiliki, adalah 'how to get along with friends'. Jujur saja, sudah nyaris 35 tahun umurnya (yay, birthdayku bulan depan!), aku sendiri masih sering sakit hati karena tidak paham soal pertemanan ini. Entah aku atau teman yang kurang saling memahami, maka sering juga aku terlibat konflik 'dingin' dengan teman-temanku.



Suatu hari sahabatku Mareese bertanya, "who's your best friend, Monita?"
Akupun menjawab, "my hubby".
Mareese tersenyum, "that's sweet," katanya, "thinking of a hubby as a friend".
Aku cengar-cengir, "is that wrong?"
Mareese, miss psikolog langsung bilang, "no, of course not. hubby could be your best friend, too, but I think it's so sweet of you to think of him as your 'best friend'."

Ngerti gag? Hehehe...

Maksud Mareese, memang hubby posisinya suami, anggapanku soal hubby is my best friend, dianggap Mareese menarik. Aku pernah membaca jika persahabatan antara suami-istri sangat penting dalam pernikahan. Berarti hubby bagiku, benar-benar menjadi seseorang yang membuatku nyaman, selalu ada saat kuperlukan, tidak perlu kuatir bilang ini-itu karena hubby akan berusaha rasional, mengingatkan jika aku keterlaluan, etc. Seperti seorang best friend, layaknya. Benar juga ya, mungkin karena itu aku menikah dengan hubby, hehehe...

Memiliki teman-teman mungkin adalah salah satu sumber kebahagiaan hidup. Kapan saja dan di mana saja, saat kita membutuhkan teman untuk bersuka-ria dan berduka-duka, maka kita inginnya dikelilingi teman-teman kesukaan kita. Sayangnya, namanya manusia, ada saja konflik dapat muncul dari pertemanan sehingga kita perlu mengakhiri persahabatan yang tadinya manis.

Tapi jika kita punya sedikit ilmu, maka kita tidak perlu kuatir soal berteman ini.

Hal pertama, jadilah teman yang menyenangkan. Maksudnya, kita membuat teman lain senang, tetapi tidak jadi 'miss yes or miss no'. Tidak selalu mengiyakan kata teman sehingga kita tidak memiliki waktu melakukan kepentingan kita. Juga tidak selalu menolak kata teman karena kita tidak mau membantu mereka. Yang penting, kita menyenangkan tapi proporsional, kalo lagi bisa membantu, ya dibantu. Kalo enggak, ya jujur aja, jangan cari-cari masalah. Jika teman marah kita menolak mereka, maka diamkan saja, karena toh, balik lagi seperti semula kalo udah enak perasaannya.

Hal kedua, kita boleh memiliki teman sebanyak-banyaknya. Jadi jangan terpaku dengan sahabat yang juga teman sekantor, teman kuliah, teman shopping, arisan, etc. Kita bisa berteman dengan mbak A karena satu pengajian, terus mas C karena satu tempat kursus baking cake, atau mbak Z karena sering nongkrong bareng di kantin. Kita tidak perlu mengkotak-kotakkan mau temenan dekat ma si B, E, J, atau M saja. Terus kita harus hang out bareng, ngobrol bareng, shopping bareng, kursus bareng. Nyantai ajalah, soalnya tiap orang punya kebutuhan berbeda, jadi teman-teman yang dimilikinya pasti berbeda juga. Semakin banyak tipe orang yang menjadi teman kita, maka semakin mudah kita menempatkan diri di berbagai lingkungan. Misalnya dulu aku suka berteman dengan tukang parkir di Jogja, tapi bukan karena itu aku lantas jago markir mobil. Tapi setidaknya, dari mereka aku sering dapat diskon biaya parkir ataupun gratis. Kalo lagi beruntung, malah sering kebagian keripik gratis. Haha...

Hal ketiga, jika teman sudah tak mau lagi berteman dengan kita, jangan memaksa. Tiap orang berdasarkan waktu, memang akan mengalami perubahan yang signifikan atau tidak signifikan. Seperti orang putus cinta, kitapun perlu taktik untuk melupakan rasa sedih ditinggal teman. Kitapun akan seperti itu juga, suatu saat tidak merasa cocok lagi dengan teman lama, kita akan dapat teman lain dan sendirinya intensitas pertemanan memudar. Jadi, coba menghindar dahulu, cari kegiatan sebanyak-banyaknya, teman-teman baru, lakukan hobi yang dulu tidak bisa dilakukan bareng, atau apa sajalah. Semua itu akan mendatangkan rasa percaya diri bahwa kita memang tidak punya masalah dalam menjalin persahabatan dan berpeluang mendapatkan banyak teman-teman baru.

Mudah-mudahan tips-tips tadi membuat hubungan pertemanan kita lebih menyenangkan, ya.

Perth,
love to have heaps of friends!

Sunday, June 6, 2010

Hari Sunday Times

Aku berterima kasih sekali pada Nancy dan Iwan, teman-temanku yang selalu rajin membawakan koran Sunday Times gratis tiap hari Minggu. Tiap hari Minggu, Nancy bekerja menjual koran Sunday Times di sebuah lokasi. Cara jualannya menarik, karena tumpukan koran sudah diantar distributor ke lokasi jualan, jadi mereka tidak harus mengambil sendiri. Kemudian, Nancy tinggal menunggu pelanggan yang membeli selama beberapa jam. Bayarannya menarik, kerjanya pun sekitar 7 jam, menurut Nancy lumayan untuk menghibur dirinya yang seminggu penuh bekerja full time di rumah mengurus anak-anak. Go Nancy!

Tiap Minggu sore, akupun mengendap-endap, eh, enggak ding, menuju halaman belakang unit Iwan dan Nancy. Di sudut pekarangan, biasanya ada satu bundel koran Sunday Times. Aku bisa mendapatkan koran gratis, karena temanku yang baik hati ini mengambilkan satu bundel dari tumpukan koran jualannya. Seperti layaknya seorang pelanggan, akupun dengan riang gembira menggotong sebundel koran tersebut ke rumah. Menggotong, tepatnya, karena korannya terdiri dari koran utama yaitu:
satu bundel READER'S MART untuk iklan jualan barang-barang,
satu bundel bagian PROPERTY untuk mengiklankan rumah dijual atau disewakan,
satu majalah mini STM berisi kisah-kisah nyata,
satu bundel BODY & SOUL yang berisi topik seputar kesehatan, gaya hidup, parenting, relationship,
satu koran mini HOME untuk inspirasi interior dan landskap,
satu koran STM Entertainment berisi liputan film dan musik terbaru serta
satu TV GUIDE berisi list acara semua tivi di Australia dalam seminggu.

Satu bundel tebal itu cukup untuk bacaanku selama seminggu, hingga datang koran terbaru dari Nancy. Tujuan utamaku tidak hanya mengetahui berita terbaru atau mengamati gaya hidup orang Australia, informasi terhot dari lingkunganku sampai informasi penting untuk kesehatan dan relationship. Klisenya, bisa juga guna menambah kosa kata, membiasakan diri membaca berita dalam bahasa Inggris ringan untuk memperlancar daya tangkapku.

Kebiasaan ini muncul sejak aku sekolah di UK dulu. Sunday Mail atau majalah goss anak muda maupun koran gratis yang bisa diambil di bis, semuanya aku lahap. Mungkin karena aku kekurangan gizi bacaan, jadi aku selalu ingin membaca koran dan majalah. Lagian, karena harga majalah cukup mahal, koran yang tebalnya sedemikian rupa selain murah juga isinya banyak. Lumayan untuk seminggu dan ngetem di tempat paporit membaca (rahasia:), hiks!).

Kukira dengan mengikuti berita-berita lokal sebenarnya kita dapat beradaptasi dengan cepat di sebuah lingkungan baru. Informasi mengenai hal-hal bersifat lokal seperti kegiatan, tempat rekreasi, kebiasaan akan membantu kita mengatasi culture shock dengan efektif. Dengan mengetahui berbagai informasi lokal, kita akan cepat mengetahui di mana orientasi dan posisi kita. Sebab itu kita akan merasa menjadi bagian dari lingkungan tersebut dan dengan cepat mengenali serta menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat.

Kebiasaan membaca koran ringan-ringan seperti itu juga turut memperlancar diriku mengisi blog ini. Terus terang, banyak tips-tips menarik aku tulis ulang seperti artikel untuk majalah pop. Apalagi kalo topik-topiknya super hot, sangat baru dan tidak lazim, pasti banyak yang menyukainya. Padahal aku cuma berbekal satu bagian dari koran STM, loh.

Perth,
TV guide, paling dicari dalam bundelan Sunday Times:)

Thursday, June 3, 2010

Jilbab backpaker...

Cerita ini aku publish lagi ya, soalnya aku baru membaca berita mengenai mb Santi Soekanto, salah satu volunteer Freedom Flotilla yang sedang diserang dan sempat ditahan Israel. Mudah-mudahan beliau, suami dan seluruh volunteer dimudahkan Allah untuk melaksanakan misi mereka, membantu saudara kita di Gaza. Amin.


Aku ingat sebuah pemandangan seru saat pesawat kami transit di bandara Schipol, Amsterdam, sepuluh tahun lalu. Saat itu aku dan beberapa teman sedang dalam perjalanan menuju Manchester, Inggris, tempat tujuan studi kami. Bandara sedang lengang, pukul 3 pagi waktu setempat. Sambil menunggu pesawat pukul 7 pagi, kami mencoba berkeliling sambil berbicara tentang pengalaman di pesawat sebelumnya. Kami belum berani berpisah dari rombongan awal, soalnya semua baru pertama kali ke luar negeri. Selain itu, bandara ini luas sekali, jadi kalau berjalan-jalan sendiri pasti merasa kurang pe-de.

Tiba-tiba di depanku berdiri sosok wanita berjubah dan berjilbab lebar, menggunakan tas ransel dan memegang es krim. Iya, es krim... jam 3 pagi...

”Assalamu’alaikum...” sapanya manis.

Kamipun menjawab salam itu, sambil mulai berbicara dengan mbak tersebut. Ternyata kami satu pesawat dari Jakarta, dan sekarang ia sedang menunggu pesawat menuju Bristol, Inggris. Nama beliau, Santi Soekanto. Aku merasa pernah mendengar nama itu, tapi di mana ya? Aku lupa. Mbak itu terus berbicara dengan teman-temanku, lalu ia menanyakan namaku dan berbicara sebentar denganku.

Aku masih terpaku. Pada tahun 1999, bukan tahun 2009, jarang sekali ada muslimah berjubah lebar dan menyandang tas ransel berjalan-jalan di airport di Eropa, dengan begitu percaya dirinya. Saat itu aku baru pertama kali ke luar negeri sendiri, tanpa ditemani orang tua sehingga rasa was-was terus ada jika harus sendirian. Tetapi mbak itu, sempat-sempatnya membeli es krim di bandara, (pedenya, ya jam 3 pagi makan es krim!), berjalan ringan keliling bandara tanpa canggung, dan menyapa teman-teman barunya yang ia kira sepesawat dengannya dari Indonesia. How amazing... betapa percaya dirinya, betapa mengagumkannya dia bisa bersikap seperti itu di luar negara sendiri.

Tak lama mbak itu pamit akan ke gate tempat ia menunggu pesawatnya nanti. Aku masih terbengong-bengong membaca namanya di kartu nama yang ia berikan padaku tadi. ”Santi... Santi Soekanto...”. Tiba-tiba aku teringat... nama itu, bukankah nama seorang penulis di majalah UMMI favoritku?

”Welehhh, mas...” seruku pada teman yang tadi sempat berbicara panjang lebar dengannya.

”Mbak itu, penulis di UMMI ya?”

”Lha iya... kan tadi aku udah sempet bilang, wah anak pak Soekanto ya,... bapaknya kan juga penulis beken,”

Ahh, aku menyesal tadi tidak berbicara panjang dengan beliau. Dari jauh, kulihat jilbab beransel itu berjalan dengan riang menuju salah satu pojok bandara. Tangannya masih menggenggam es krim. Saat ia berjalan, ujung jilbabnya melambai-lambai, persis, seperti kartun si Annida.... Tetapi pemandangan itu sangat seru, karena terjadi di sini, di bandara Schipol...

”Wah, mbak itu, sering keluar negeri kok, ya pantes kelihatan pede pergi sendiri...” kalimat terakhir yang kudengar dari temanku saat aku masih tertegun.

Iya, aku ingin seperti mbak itu.... bisikku dalam hati.

Perth,
sedang mengagumi wanita-wanita pede...

Mohon maaf sama mb Sita Sidharta, kayaknya saya salah tulis waktu publish tulisan ini blog dan milis pembacaanadia...
yang saya maksud, mb Santi Soekanto:)