Wednesday, July 24, 2013

“Ibu hanya ingin kalian tersenyum”


Agak di luar kebiasaan sebenarnya, hari itu aku jadi penasaran dengan dua orang mahasiswi. Wajah mereka kerap cemberut, terlebih lagi saat aku mengomando tiap orang untuk mencoba soal di papan tulis. Kuperhatikan, tiap aku mengatakan waktu atau cek, maka wajah-wajah tadi tampak lebih masam dari sebelumnya. Aku sampai tidak sabar sendiri ingin menegur mereka saat itu juga.

Kesempatan itu datang pada pertemuan berikutnya. Kupikir momen terbaik untuk berani adalah saat kita sedang fokus pada sebuah hal sehingga reaksi negatif yang diterima tidak terlalu mengganggu suasana hati. Pelan-pelan kutepuk punggung kedua mahasiswi tersebut lalu meminta mereka untuk menemuiku setelah kuliah berakhir. Kulihat mereka sedikit kaget dengan panggilan mendadak tersebut.

Keduanya duduk di depanku dengan sedikit canggung. Siapapun dipanggil mendadak tanpa merasa melakukan sebuah kesalahan tentu saja perlu merasa demikian. Tetapi aku sudah siap dengan senyuman sangat lebar sampai-sampai bibirku yang cukup kering terasa pecah-pecah. Tidak perlu khawatir, kataku ramah. Ibu hanya ingin kalian melakukan sesuatu.

“Ibu hanya ingin kalian berdua lebih sering tersenyum”. Mereka berdua melongo.

 “Iya, ibu ingin kalian rajin tersenyum di kelas ibu.” Lanjutku tanpa merasa bersalah.

“Pasalnya, setiap melihat kalian cemberut saat mengerjakan soal-soal latihan, ibu merasa tidak enak hati. Padahal anda berdua kan sedang belajar, menuntut ilmu, tetapi malah terlihat tersiksa. Kalau demikian, bagaimana ilmu itu bisa dipahami dan dikuasai, apalagi diamalkan? Sedangkan kalian berdua terlihat tidak menyukainya.”

Begitu alasanku.

Kedua mahasiswi tersebut tersenyum malu-malu.

“Yak, demikian. Ayo senyum yang lebih lebar lagi,” aku terus menyemangati.

Kami semua tertawa. Sungguh, kedua wajah cemberut yang tidak kusukai tersebut mendadak berubah lebih manis.

“Perbanyak senyum saja di dalam kelas ibu,” pesanku lagi.

“Kalau rajin tersenyum, Insya Allah hal-hal yang terasa sulit akan terasa lebih ringan. Apalagi kalian berdua sangat rajin belajar, mengapa harus merusak semangat dengan cemberut-cemberut tersebut. Lagipula, kalau anda berdua tersenyum, ibu di depan akan lebih senang dan bersemangat mengajar anda. Bisa ya?”

Mereka menganggukkan kepala. Lalu permisi untuk keluar kelas.

Hah, pikirku. Ternyata menjadi dosen tidak hanya harus pandai memberikan kuliah dan menyemangati mahasiswa. Mengajari mahasiswa untuk tersenyumpun, kadang kala harus dilakoni.

Pekanbaru,
Ssst, salah seorang dari mereka terlihat lebih manis sejak rajin tersenyum di kelasku. Disamping itu ia jauh lebih modis dalam penampilan dan coba tebak, ternyata dapat A!


Wednesday, July 10, 2013

Hidup Bukan Hanya Satu Dimensi Saja


Cerita ini untuk seorang teman baikku, karena aku seperti melihat diriku yang lama saat setelah cukup lama mengenalnya.

Egois sekali, rutukku dalam hati. Tidak mampu menenggang perasaan orang lain. Memperlakukan orang sesuai moodnya sendiri. Tiba-tiba marah, tiba-tiba gelisah, tiba-tiba mendiamkan orang di sekelilingnya. Tidak menghormati orang lain jika ada pikiran sendiri. Rasanya tidak mungkin ada orang yang betah berlama-lama dengannya. Tidak heran, sebab itu dia sering terlihat sendirian.

Seperti itulah kiranya diriku beberapa belas tahun lalu. Sepertinya hidupku hanya berputar pada pekerjaan, perform, perform, dan perform. Semuanya kusukai, kuteliti, kuperbaiki dan kupersembahkan. Aku merasa lebih bermanfaat dengan sebuah cara tersebut. Sampai-sampai aku membawa laptop dan printer ke ruang tidur. Hanya karena khawatir kehilangan waktu mengerjakan sesuatu yang kukira berguna dalam hidupku.

Tetapi di sisi lain, aku menjadi seorang fakir kasih-sayang. Pekerjaan dan kesibukan tidak habis-habisnya telah menggerogoti keinginan untuk berbuat baik pada orang lain dan memberikan mereka kasih sayang. Rasanya lebih banyak kehilangan teman daripada mendapatkannya. Padahal aku bukanlah seseorang yang kaku. Hanya karena pikiran burukku bahwa kalau bergaul dengan orang tidak baik akan meracuni secara negatif, maka aku memilih tidak bergaul dengan mereka.

Apa yang didapat?
Kasihan sekali. Rasa was-was dan penuh prasangka karena buta mata hati. Kesempatan-kesempatan baik berkumpul dan mempelajari orang lain banyak terlewatkan begitu saja. Hidup hanya sebuah dimensi yang bermanfaat bagi diriku sendiri. Sulit mendapatkan penerang saat semua hanya ‘me-me-me’ saja. Aku jatuh dalam perangkap jalan sunyi super sepi dan menutupi kehilangan dalam diri dengan bekerja lebih keras lagi.

Saat titik jenuh telah tercapai, aku mengedarkan pandangan dan melihat kehidupan inspiratif beberapa kawan dekat. Mereka orang-orang baik, suka berbagi dan menyenangkan orang lain dengan hal-hal sederhana. Seringkali mereka harus mengorbankan kepuasan dan target pribadi demi menolong orang lain. Mereka selalu ada untuk siapa saja yang membutuhkan. Tidak segan-segan mengulurkan tangan dan berbagi nasehat pada orang-orang di dekatnya. Jarang menjauh saat diperlukan dan jarang mendekat jika hanya menginginkan sesuatu. Aku melihat hal lain yang tidak pernah kuduga. Meski mereka sangat sibuk dengan membantu orang-orang, tetapi mereka tetap bisa menyelesaikan target pribadi sesuai waktu. Sepertinya Allah membantu mereka karena mereka suka membantu orang lain dengan ikhlas.

Di situlah kuncinya. Semua bantuan untuk orang lain dilakukan secara ikhlas karena ingin mendapatkan ridha Allah. Bukan karena ingin mendapatkan pengakuan manusia lain. Tetapi murni karena menyayangi Allah dan ingin mendapatkan ridha atau persetujuan dari Allah. Sama seperti saat kita menginginkan ridha dari orang yang kita hormati dan kagumi.

Kini aku tidak mau kehilangan kesempatan membantu satu orangpun dalam konteks kebaikan. Secara perlahan, beraneka cahaya menyinari kepribadianku. Hidupku tidak satu dimensi lagi. Ada dimensi keluarga, sanak-saudara, teman-teman, tetangga, mahasiswa dan masyarakat. Semua membuatku jauh lebih sibuk, tetapi anehnya pada saat yang sama tidak menyulitkan pekerjaan dan target yang ingin kucapai. Pergaulan dengan berbagai tipe orang memperkaya sudut pandang, pemahaman dan perbuatan sehingga aku menjadi semakin sabar serta toleran dengan perbedaan-perbedaan. Aku tidak menghindar lagi dari hal-hal menyesakkan tetapi berkawan dengan semua keadaan.

Kuharap temanku tidak berpikir aku tengah menyindirnya. Tetapi, ini kutulis sebab aku menyayanginya karena Allah. Aku hanya ingin dia insyaf dan belajar dari kesalahanku sebelumnya.

Pekanbaru,