Monday, August 26, 2013

Keramahan Pagi


Suatu pagi yang cerah di depan Perth Zoo. Aku tengah berjalan melintasi taman di depan Zoo menuju halte di seberang jalan. Taman itu tidak sepi. Banyak orang berlalu-lalang. Diantara mereka ada juga yang menyapa, “Morning!”. Wah, segar sekali rasanya. Keramahan itu tidak terhenti ketika sudah duduk di halte bus. Seorang wanita berambut pirang dengan dandanan kusut masai berjalan melewati halte. Saat itu aku sudah gelisah, karena biasanya yang berdandan seperti ini tukang minum. Surprise, surprise, waktu ia melewatiku sambil berkata “morning” dengan suara keras, barulah aku tenang. Meski seram, ternyata ia ramah juga!

Begitu mengasyikkannya disapa dengan ramah pagi-pagi, aku jadi ikut-ikutan ramah. Semuanya aku sapa dan teriaki, “Morning!”

Begitulah pengalamanku tinggal di Perth. Rasanya aku lebih sering bertukar sapa dengan orang-orang. Dimulai dengan ‘morning’ atau ‘g’day’, maka suasana sepi tadi berubah menjadi lebih menyenangkan. Artinya, perhatian kecil yang diberikan orang lain membuat hati bernyanyi dan berpengaruh lebih besar pada kehidupan kita di hari itu. Jika hati bahagia, hal sulit tidak terasa demikian, maka bisa ditebak bahwa produktivitas hari itu akan meningkat. Awal yang baik akan memberikan hasil akhir yang baik. Setuju!

Tetapi, tidak setiap hari aku merasakan kemewahan tersebut. Kadang-kadang aku bertemu orang yang cemberut atau pura-pura tidak melihat. Bahkan lebih parah, setelah disapa malah kelihatan marah. Ini membuatku bingung juga. Bukankah setelah berkali-kali mengalami, mereka cenderung ramah pada orang asing ketimbang orang Australia sendiri? 

Setelah dipikir-pikir, aku mulai menyadari bahwa tempat di mana aku mendapatkan senyuman dan sapaan tersebut yang sangat menentukan. Jika aku sedang di perumahan elit, besar kemungkinan aku akan mengalaminya. Tetapi saat berada di tempat dengan warga yang taraf ekonominya biasa, maka aku cenderung diabaikan. Penyebabnya bisa dua. Satu, orang-orang kaya pasti sudah biasa berlibur dan bertemu orang-orang asing lebih banyak daripada warga kelas menengah ke bawah. Jadi, mereka tak canggung menyapa orang asing. Kedua, kondisi ekonomi dapat mempengaruhi perilaku. Kondisi kehidupan yang lebih nyaman membuat orang tidak perlu terlalu khawatir terus-menerus dan berakibat positif pada orang lain.

Suatu pagi yang indah di kampus, aku siap-siap meneriakkan salam pada seorang wanita berjilbab dengan dua anak kecil. Aku yakin beliau datang dari Indonesia, melihat jilbab kaus warna coklat yang dipakainya. Dengan wajah gembira dan suara merdu, aku menyapa, “Assalamu’alaikum”, saat kami berpapasan. Sayangnya, ia tidak membalas dan bahkan langsung membuang muka. Masya Allah. Apa rasanya dicuekin seperti itu? Di mana keramahan ala Indonesia yang dipuja-puja oleh orang Indonesia sendiri?

Lama kemudian aku baru mengetahui soal salam yang tidak dijawab itu. Ternyata salam yang kuberikan tetapi tidak dijawab orang tersebut, akan dijawab oleh malaikat. Jika malaikat yang menjawab salam, Insya Allah maka keberkahan diberikan untuk pemberi salam. Semoga saja demikian. Wallahu’alam.

Pekanbaru,




Monday, August 19, 2013

Down South Western Australia’s Road Trip: Albany-Valley of the Giants (2)


Mawar besar
2 November 2011

Alhamdulillah. Pagi itu udara sangat nyaman untuk melanjutkan perjalanan ke arah Barat. Tujuan kami hari ini adalah Valley of the Giants di Denmark dan Augusta. Biar kedengaran aneh, ternyata di Western Australia juga ada tempat bernama Denmark. Tempat menarik yang wajib dikunjungi di Denmark adalah Valley of The Giants.

Perjalanan dari Albany ke Valley of the Giants, Denmark

Daerah Albany memiliki suhu rata-rata harian lebih rendah dibanding Perth. Berkat cuacanya yang cukup dingin, banyak sekali bunga-bunga indah di Albany. Misalnya saja bunga berbentuk ‘flower bed’ berwarna pink dengan daun tebal seperti kaktus. Atau mawar dengan bunga-bunga nyaris sebesar telapak tanganku sangat banyak terlihat di mana-mana. Di pinggir jalan, jejak musim semi masih terlihat ditandai banyaknya bunga-bunga anggrek liar bermekaran.

Barisan anggrek liar di tepi jalan
Albany-Valley of Giants berjarak sekitar 107km dan dapat ditempuh melalui South Coast Highway (rute Nasional 1) selama 1.5 jam. Pemandangan sepanjang jalan cukup indah, karena di satu sisi terdapat perbukitan dan padang rumput berwarna hijau, sedang di sisi lain banyak pantai-pantai dengan air berwarna biru cerah. Tampaknya bagian Selatan merupakan daerah pertanian dan peternakan sehingga pemandangan khas Australia seperti rumah-rumah pertanian dan kincir angin sering ditemukan. 

Setelah melewati Denmark, untuk mencapai Valley of the Giants (Walpole Wilderness Area), kita harus menempuh jarak sejauh 53.4km dari Denmark. Semakin jauh ke Utara, semakin berbeda vegetasinya. Pohon-pohon ekaliptus lebih besar-besar dan rimbun.

The Tree Top Walk

Ekowisata di tengah hutan Tingle (sejenis ekaliptus) diperkenalkan di Valley of the Giants. Tempat ini memiliki tiga atraksi menarik, yakni The Tree Top Walk, Ancient Empire Walk dan Discovery Centre. Hutan Tingle sendiri memiliki empat spesies mayor, yakni red Tingle, yellow Tingle, Marri dan Karri. Keempatnya dapat tumbuh hingga ketinggian 30-80 meter dan membentuk semacam kanopi di puncak-puncaknya.

Pohon Tingle yang terbesar memiliki sistem akar dangkal dan tersebar luas di dalam tanah guna memudahkan pohon menyerap kelembaban dan nutrisi dari tanah. Akar di permukaan tanah tersebut sensitif dan rentan terhadap kerusakan akibat pemadatan oleh langkah-langkah manusia di sekitarnya. 


Oleh karena itu penjelajahan hutan Tingle menggunakan The Tree Top Walk dari level kanopi tidak hanya menjadi sebuah pengalaman unik, tetapi turut bertujuan menjaga keberlangsungan pohon-pohon tua Tingle berumur puluhan tahun tersebut.

The Top Tree Walk



Pengalaman menyusuri jembatan The Top Tree Walk dengan total panjang bentang 600m di atas permukaan tanah ternyata bukan hal sederhana. Begitu diinjak, jembatan langsung bergoyang naik-turun secara perlahan. Meski kurang nyaman, konon efek swaying minor sengaja dihadirkan untuk menimbulkan sensasi berjalan di atas kanopi hutan Tingle. 


Swaying di ketinggian
Aku ingin berbagi rahasia. Sebenarnya hal ini menjadi satu pengalaman paling menakutkan dalam hidupku. Aku tidak percaya diri bisa berjalan di sana saat ada orang lain di belakangku. Pikirku, saat momen maksimum di tengah bentang tercapai, seberapa kuat tahanan dalam struktur dapat menopang orang-orang lain di belakangku? Pasalnya, semakin banyak orang di atasnya, maka semakin kencang goyangan (swaying) jembatan tersebut. 

Akhirnya aku sangat menyesal karena maju tidak berani, mundur tidak diperbolehkan. Cukup lama juga aku menunggu agar debar jantung mereda. 


Saat jembatan mulai sepi, aku cepat-cepat melintasinya sambil mencengkeram railing jembatan dan istighfar banyak-banyak. Di belakangku, seorang wanita paruh baya mengalami hal sama. 

Saat kami tiba di jembatan terakhir kami sempat sepakat perlu ada semacam ‘sertifikat keberanian’ disediakan oleh pengelola bagi yang berhasil menyusuri The Top Tree Walk. 

Tidak semua orang memiliki nyali untuk menyelesaikan semua lintasan tersebut. Dan, terus terang, cukuplah pengalaman ini sekali saja kualami dalam hidup. Biarlah hal-hal seperti ini milik orang-orang bernyali besar saja.

Melambai dengan panik

Sebetulnya aku tidak perlu khawatir terjadi apa-apa kalau saja sempat memahami spesifikasi konstruksi Top Tree Walk sebelum menaikinya. 

The Tree Top Walk membanggakan kualitas dan rancangan tempat berjalan dari besi anti karat yang dapat menampung maksimum 10 orang per bentang dan maksimum 20 orang di platformnya. Konstruksi tersebut mulai dibuka untuk umum pada tahun 1996 dan dirancang khusus oleh para insinyur struktur dari Ove Arrup (konsultan perencana berbasis di UK) yang melibatkan arsitek maupun artis lingkungan terkenal. Keseluruhan struktur terdiri dari enam bentang jembatan ringan sepanjang 60 meter yang dibangun di atas tujuh pilar penyangga (pylon) dengan ketinggian 9-40 meter di atas permukaan tanah. Pondasi pylon terbuat dari baja. Berat total struktur sekitar 10 ton dengan diameter pylon sebesar 0.6m. Kekuatan kabel baja pada jembatan adalah 85 ton, sehingga tidak ada alasan untuk ngeri sebelum beban maksimum yang diperbolehkan (10 orang per bentang) belum terjadi.

Ancient Empire Walk

Konon bumi saat masih disebut Gondwana (kusebut Gwona disini) sekitar 160 juta tahun lalu, hanya ada satu benua besar. 

Bukti bahwa bumi adalah satu kesatuan pada masa itu dapat dilihat dari jenis-jenis hewan dan tumbuhan dari spesies sama di tempat-tempat berdekatan. Contohnya adalah pohon Red Tingle, salah satu vegetasi asli hutan South West yang merupakan bagian dari benua Gondwana.

Grandma Red Tingle

Ancient Empire Walk memberikan kesempatan untuk melihat langsung di dekat akar pohon Tingle. Pohon terbesar di kawasan ini disebut ‘Grandma Red Tingle’, dengan diameter bawah 12m dan berusia sekitar 400 tahun. 

Uniknya banyak terdapat pohon Tingle yang bagian bawahnya bolong karena kebakaran, serangan serangga dan jamur. Beberapa pohon memiliki bagian bolong yang cukup besar untuk menampung beberapa orang berteduh saat hujan. Meski ada lubang besar di bawahnya, bagian pohon terluar bisa tetap tumbuh menjulang. Subhanallah.
Bagian bolong Red Tingle

Ada beberapa pelajaran dapat kuambil dari ekowisata Valley of the Giants selama beberapa jam ini. 

Pertama, konsep keberlanjutan diaplikasikan melalui The Top Tree Walk agar berbagi pengetahuan tidak merusak lingkungan yang telah ada. 

Kedua, pengamatan langsung di hutan semacam Ancient Empire mengenalkan jenis-jenis pohon, tumbuhan dan spesies hewan yang terdapat di hutan South West. 

Ketiga, keberadaan hutan kuno dengan mengangkat konsep Gondwana membantu kita memahami keterkaitan satu tempat dengan tempat lain di bumi berdasarkan kesamaan spesies hewan dan vegetasinya.

Kami puas hati dengan kunjungan ke Valley of the Giants.


Denmark-Augusta

Setelah itu kami harus meneruskan perjalanan ke Augusta menelusuri jalur South Western Highway. 

Kami tiba di pusat kota kecil Pemberton di Vasse Highway. Pemberton di UK adalah tempat tinggal Mr Darcy (Pride & Prejudice). Tetapi Pemberton di Australia sangat kecil. Saat kami berhenti di sana untuk membeli keripik kentang dan mampir di toilet umum, banyak orang yang melihat-lihat kami dengan pandangan heran. 

It was in the middle of nowhere! 

Wanita berjilbab sepertiku mungkin jarang terlihat di sana.

Pemberton

Beberapa saat kemudian kami sudah berada di jalan-jalan sepi Vasse Highway lalu Brockman Highway menuju Augusta. Ketika melewati hutan tersebut, cahaya matahari tidak terlalu terang. 

Di jalan jutaan serangga sejenis laron terbang dan sebagian dari mereka tertabrak kaca dan badan mobil. Kejadian itu berlangsung sekitar beberapa jam sehingga mobil penuh dengan bangkai serangga. Di tempat lain, ada hutan dengan tanah pasir kemerahan bersuasana cukup mencekam. 

Beberapa kali kami melihat bangkai Kangguru penuh lalat di tepi jalan. Kangguru besar jenis itu disebut Red Kangaroo yang suka melompat-lompat dan tertabrak kendaraan lewat.

Keheningan tempat itu menimbulkan imajinasi mencekam tentang orang-orang asli, hewan-hewan penghuni hutan seperti kangguru, possum, dan koala yang selalu tersembunyi di balik pekatnya hutan lama.



Pekanbaru,

Lanjut ke bagian (3).

Monday, August 12, 2013

Balada Tukang Cuci-cuci



Pernahkah kita memikirkan bahwa pada profesi tukang cuci-cuci itu ada sebuah hikmah yang bisa kita dapatkan?

Istilah ‘tukang cuci-cuci’ bagi cleaner kupelajari dari seorang teman berkebangsaan Malaysia.  Memang betul belum ada padanan ‘cleaning service’ dalam bahasa Indonesia, meski seharusnya berarti ‘jasa pembersihan’. Orang lebih sering memanggil ‘tukang bersih-bersih’ ketimbang ‘tukang cuci-cuci’. Jujur saja, aku merasa dampaknya agak berbeda. Kalau dipanggil ‘tukang cuci-cuci’ bukan ‘tukang cuci’, rasanya pekerjaan yang dilakukan lebih fokus ke cuci-cuci dan kesannya lebih ringan daripada tukang cuci. Tukang cuci identik dengan cuci pakaian, kalau ‘cuci-cuci’ sepertinya cuma cuci-cuci permukaan barang. Kesannya pekerjaan mereka jauh lebih ringan, kan… .

Berkat pengalaman berprofesi sampingan sebagai ‘domestic cleaner’ atau ‘tukang cuci-cuci rumah’ di Perth selama dua bulan, aku belajar untuk tidak memandang remeh profesi ini. Sebenarnya profesi ini paling mudah didapatkan di luar negeri, karena tiap orang pasti bisa melakukannya dan selalu ada lowongan. Gajinya terbilang lumayan (sekitar AUD18-25 per jam), tetapi untuk standard kehidupan nyaman di Australia tentu saja masih jauh dari cukup. Meski demikian banyak juga teman-teman yang sedang sekolah doktor tidak sungkan menjadi tukang cuci-cuci di luar negeri. Selain mendatangkan AUD lumayan, konon mereka senang banyak belajar hal baru tentang membersihkan. Apalagi ada waktu luang untuk berhenti memikirkan riset. Ternyata pekerjaan cuci-cuci bisa memiliki dimensi lain pada akhirnya. Haha.

Tukang cuci-cuci rumahan di Perth agak berbeda. Tentu saja kami tidak tinggal di rumah tersebut selama 24 jam. Kami hanya cukup datang satu kali dalam seminggu sekitar 1-2 jam. Pekerjaan pokok adalah membersihkan kamar mandi, kamar tidur dan ruang tamu, mengelap perabotan, membersihkan dapur, mencuci piring dan merapikan barang-barang. Semuanya tidak sulit. Membersihkan kamar mandi hanya memakai penyikat dan cairan pembersih khusus untuk kaca, porselen dan toilet. Menyedot debu untuk membersihkan ruang tamu dan kamar tidur. Mengelap perabotan yang disemprot cairan khusus. Piring hanya disusun di mesin cuci piring. Barang-barang tinggal dimasukkan ke dalam laci. Sangat mudah dan dijamin cepat beres tanpa mengeluarkan tenaga besar.

Sedangkan kondisi tukang cuci-cuci di Indonesia berbeda jauh sekali dengan yang kualami tadi. Selain pekerjaan cukup berat, tetapi pendapatan mereka sangat tidak sebanding dengan tenaga yang telah dikeluarkan. Benar-benar menimbulkan rasa kasihan. Untuk membantu mereka, kita dianjurkan sering-sering membagi tip barang beberapa ribu rupiah. Seorang motivator dari Malaysia (Prof Muhaya) mengingatkan supaya jangan pelit pada orang-orang dengan profesi demikian. Dibanding belanjaan kita yang beratus ribu atau jutaan rupiah saat di mal, maka memberikan sepuluh ribu rupiah tidaklah memberatkan. Kasihan. Kadang untuk mendapatkan ekstra sepuluh ribu saja mereka harus bekerja beberapa jam. Kalau rajin bersedekah pada para tukang cuci-cuci itu, insya Allah selain mendapat pahala juga berkat. Ada juga orang tua-tua mengingatkan untuk rajin-rajin bersedekah saat bersafar (berjalan jauh) guna menolak bala selama dalam perjalanan. Nah, biasanya para tukang cuci-cuci di toilet bandara/terminal merupakan orang-orang paling memungkinkan untuk diberi sedekah saat kita bepergian.

Alhamdulillah, ada pelajaran baru lagi terkait ‘cuci-cuci’ baru-baru ini yang bisa dipraktekkan untuk menghilangkan rasa ‘ujub’/sombong dalam diri.



Ceritanya begini. Siang itu aku dan bu AL, sahabatku, shalat zuhur di mushalla rektorat kampus. Lantai toilet mushalla itu kotor, penuh jejak-jejak sandal dan sampah. Biasanya aku sedikit jijik dan langsung menahan nafas buru-buru menyelesaikan wudhuku di sebuah toilet. Tetapi, ibu AL malah menahanku bersegera dan mengajak membersihkan tempat wudhu di mushalla. Air ditampung di ember lalu disiramkan ke lantai. Karena tidak ada pel, bu AL tanpa canggung langsung menggosok-gosokkan kakinya guna menghapus jejak-jejak sandal tersebut. Aku mengikuti beliau. 

Subhanallah. Tidak terlihat sedikitpun rasa jijik dan canggung di wajah bu AL saat melakukannya. Rasanya tidak banyak orang berpangkat tinggi dan bergelar doktor mau berbuat demikian. Tidak heran wajahnya selalu bersinar bak purnama. Pastilah banyak amalan-amalan baik yang sering dilakukan bu AL dalam hidupnya.



Sambil membersihkan kaki untuk terakhir kalinya, bu AL menceritakan bahwa ia selalu menyempatkan diri membersihkan toilet mushalla jika ada kesempatan. Untuk apa? 
Siapa tahu bisa menghapus dosa-dosa kecil yang saya lakukan hari itu, kan... mana tau ada sempat rasa sombong di hati atau menyakiti orang dengan lisan tanpa sadar”, ia menerangkan alasannya sambil tertawa-tawa tanpa beban. Yah, mungkin juga dengan cara itu dosa-dosa kecil memang bisa digugurkan...



Subhanallah… menurut motivator Malaysia tadi tentang cara merendahkan hati saat kita merasa ada ‘sedikit kesombongan’ dalam diri dengan harta/keturunan/pekerjaan, etc. Segeralah melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh di depan kita yang moralnya dapat menurunkan rasa sombong di dalam diri. Mungkin kita bisa cuci-cuci di toilet, mengeringkan wastafel, mengangkat piring-piring kotor di sebuah hajatan, memakan makanan yang tidak dihabiskan orang, atau bahkan, membantu menggosok-gosok lantai toilet mushalla dengan kaki seperti yang dilakukan bu AL...



Masya Allah.



Pekanbaru,




Monday, August 5, 2013

Down South Western Australia’s Road Trip: Perth-Albany (1)


Selama empat tahun tinggal di Perth (2007-2011), kami berdua belum pernah jalan-jalan ke bagian Selatan Western Australia, seperti Albany, Denmark, Augusta, Margaret River. Pada awal musim panas 2011 barulah kami mendapat kesempatan untuk menaklukkan rute Perth-Albany-Denmark-Augusta-Busselton-Rockingham-Perth (total 1139km) dalam dua hari dengan si Starlet ijo.

Tipikal jalanan aspal WA
Cukup skeptis juga melihat pemandangan di tepi jalan yang sangat standard dari Perth ke Albany sepanjang 419 km. Jalan lurus mulus tanpa kerutan di aspal, langit biru luas terbentang, padang rumput menguning, semak-semak dengan tanaman drought tolerant (tahan kekeringan), sisa-sisa kebakaran hutan ekaliptus, yang pokoknya berbanding sangat terbalik dengan pemandangan indah-indah di New Zealand. Biar begitu, aku berusaha menikmati perjalanan dengan trik lamaku, yakni memperhatikan bunga-bunga dan menghafal jenis-jenis pohon endemik. Semakin mendekati Albany, vegetasi liar semakin berubah warna dan jenisnya. Kalau di tempat terkering hanya ada pohon rumput (grass tree), pohon ekaliptus dan semak-semak wangi, maka di tempat-tempat sejuk banyak terlihat banksia dan tanaman domesticated Eropa seperti mawar dan bunga-bunga musim semi lainnya.


Kota pelabuhan Albany didirikan pada tahun 1827 dan merupakan salah satu hub penting menghubungkan Kerajaan Inggris dan Australia. Industri utama adalah pertanian, kayu dan paus. Betul, bukan ikan tuna, tetapi ikan paus! Industri penangkapan ikan paus dimulai sejak tahun 1950 dan ditutup 28 tahun berikutnya. Sisa-sisa industri tersebut dapat dilihat di Museum Whale World yang kusesali tidak dapat kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Di pusat kota dapat dilihat beraneka bangunan bersejarah sebagai saksi peradaban di kota pelabuhan pertama WA. 

York Street, Albany
Salah satu tempat keren di Albany adalah menyusuri Marine Drive dan singgah di Viewing Area untuk melihat panorama King George Sound. King George Sound yang dibatasi dua pulau dengan Samudera Antartika dikunjungi berbagai jenis paus seperti Humpback Wales tiap bulan Juli-Oktober. Kita bisa ikut tur ‘Whale Watching’ dan katanya dijamin bisa melihat paus berkeliaran di sekitar tempat itu. Perairan tersebut juga menyimpan bangkai kapal perang, kapal pemburu paus dan kapal pengangkut batu bara yang pernah tenggelam di sana. Perairan ini juga dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman (diving spot). 

King George Sound ke arah Princess Royal Harbour

Aku sangat menyukai pemandangan di King George Sound karena perairan dalam berwarna biru pekat dan hembusan udara sejuk dari benua es Antartika. 

King George Sound ke arah Samudra Antartika



Ada dua tempat yang ingin kami lihat sore itu, yakni Wind Farm dan The Gap.

Berbekal peta besar dari Pusat Informasi Albany, kami menyusuri Frenchman Bay Road hingga ke Selatan. Rumpun bunga merah jambu menghiasi taman di pinggir jalan. Selain itu sepanjang jalan dapat dilihat perairan dangkal biru muda dengan tumpukan kristal putih (bukan pasir) dekat pantainya. Tumpukan kristal putih tersebut, pastilah garam! Sayangnya aku tidak dapat mengecek langsung karena kami harus ngebut ke tempat lain.

 
Taman di tepi jalan Frenchman Bay
Frenchman Bay

Pelajaran ‘energi keberlanjutan’ (sustainable energy) dapat diambil dari kunjungan ke Albany Wind Farm, Tanjung Torndirrup. Albany Wind Farm dibuka pada tahun 2001 sebagai sumber listrik ‘hijau’ untuk kota Albany. Turbin angin (wind turbines) dapat berputar meski kecepatan angin hanya 7 km/jam, dan harus dimatikan saat angin berhembus dengan kecepatan 120 km/jam agar turbin tidak rusak. Angin membantu memutar kedua belas turbin dengan tiga blades (bilah pemutar) sepanjang 35 meter. Teknologi ini cocok digunakan di Albany, karena hanya ada tujuh hari dalam setahun di mana kecepatan angin  tidak dapat memutar blades. Wind Farm direncanakan beroperasi selama 20 tahun dan menghasilkan 1.5 milyar unit listrik atau setara dengan lampu 100W yang dipakai selama 1 juta tahun.

Albany Wind Farm
 
Di bawah lindungan Wind Turbine
Sedangkan menyangkut Teknik Sipil, maka hal terpenting dari konstruksi turbin angin adalah pondasi. Untuk memikul menara setinggi 65 meter dan diameter bawah 13.2 meter tersebut, diperlukan pondasi yang diangkurkan pada kedalaman 16 meter di bawah permukaan tanah agar struktur tetap stabil di tanah pasir. Pondasi dibuat dengan mengecor 420 ton beton. Dibandingkan dengan pondasi onshore (di daratan), maka pondasi turbin offshore (di laut) jauh lebih menantang. Untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai pondasi turbin angin dan bentuk-bentuk kegagalan strukturnya, dapat dilihat pada link berikut: http://www.windfarmbop.com/category/foundations/

Sunset di The Gap, Torndirrup National Park! Hubby memacu si mungil ke Selatan. Tempat itu sebenarnya hanya taman batu-batu granit berukuran besar-besar yang tampak berserakan karena belum sempat diatur. Meski demikian, batu-batu tersebut telah terbentuk sekitar 1500 juta tahun lalu. Untuk menambah faktor ‘wow’, kabarnya tempat ini merupakan bagian benua Australia yang terhubung dengan benua Antartika saat di bumi masih terdapat satu bagian daratan luas bernama Gondwana.

Torndirrup National Park


The Gap
Ada sebuah pelajaran moral dari wisata batu-batuan ala Western Australia ini. Kalau dulu di Wave Rock dan Mulga Cave (klik di sini), kita belajar bahwa angin dapat menggerus batuan secara vertikal, maka di Torndirrup Park dapat dilihat bahwa air memiliki kekuatan lebih besar untuk membentuk permukaan batu-batu tersebut menjadi The Gap dan Natural Bridge. The Gap merupakan hasil erosi air dari Samudera Antartika pada permukaan batu granit sehingga terbentuk kanal dengan dinding tebing setinggi 25 meter.

The Natural Bridge disebabkan oleh arus air terus-menerus menerjang bagian bawah batu sehingga terbentuk lubang besar dan bagian atasnya menjadi semacam jembatan. Di jembatan ini banyak kisah tragis terjadi, sehingga tidak disarankan untuk uji nyali berfoto di atas jembatan. Beberapa orang pernah disapu ombak yang muncul tiba-tiba saat berpose di jembatan. Hingga kini tubuh mereka tidak pernah ditemukan. Innalillahi… tidak worthedlah menyabung nyawa demi sebuah foto.
The Natural Bridge
Senja mulai bergerak turun di Torndirrup National Park. Indah sekali. Batu-batu yang tadi kekuningan berubah menjadi keemasan tertimpa cahaya senja. Subhanallah… ditambah lagi hanya kami berdua di tempat itu.
 
Sunset di The Gap
Saat mengamati cahaya keemasan berpendar di batas cakrawala sambil komat-kamit berzikir, tiba-tiba…

brak, terdengar suara pintu mobil ditutup dengan kencang.

Kemudian seseorang tampak berlari-lari ke arah kami sambil mengacungkan sebuah benda panjang. Suara ranselnya yang berguncang-guncang benar-benar mengusik keheningan tempat kami menikmati keindahan sunset yang baru saja menghilang.

“It’s too late, it’s too late…” teriaknya ke arah kami.

Kitapun bengong dan tidak beranjak dari posisi kita. Dia ini mau ngapain sih?

Ia menyusun benda panjang dan sebuah alat besar di atasnya. Oo, kamera dan tripod. Saat itulah kami baru sadar kalau tadi ia sedang menyesali diri karena terlambat datang memotret sunset. Suara jepretan kencang terdengar berkali-kali dari kamera full framenya, mencari-cari apa yang bisa diabadikan lagi.

Kami hanya bisa tersenyum sangattt lebaar… dan mencoba memaklumi perasaannya.

Susah juga ketinggalan sunset di Albany.

November 2011

Pekanbaru,
Kunjungan ini mesti diulangi…