Tuesday, June 28, 2016

Jangan mengolok wanita bertubuh gemuk

Barangkali post ini akan menjadi post paling terang-benderang di blog lowly. Kejadian ini aku rekam untuk memberikan perbaikan mind-set kepada orang yang suka mengolok wanita bertubuh gemuk. Olok-olokan itu bukan saja menyakitkan tetapi akan merusak si pengolok sendiri di kemudian hari. Post ini terinspirasi dari tulisan berikut di Ummi Online. 



Seorang temanku memiliki tubuh yang cukup berisi mirip denganku. Ia bercerita, bahwa ia telah diolok oleh seorang rekan kerja laki-laki mengenai tubuhnya, dan berikut penuturannya. 

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

"Siang itu dengan berlari-lari saya menuju kantor administrasi di lantai 2 parkiran kampus. Saya nyaris terlambat untuk masuk ke kelas berikutnya. Sesampai di kantor, saya berbicara sambil terengah-engah untuk  memastikan kepada staf soal kelas yang akan dimasuki.

Tiba-tiba, seorang rekan kerja, pak XYZ yang berada di sana dan melihat saya datang berkomentar tanpa diundang, 
"Kok ibu terengah-engah begitu... makanya, kurusin badan, jangan gemuk, jadi sulit bernafas baru naik lantai 2"

Deg, saya dan semua orang di sana terdiam mendengarkan komentar tersebut. 

Para staf juga memandang saya dan saya rasa wajah ini sudah berubah dari ceria menjadi menakutkan karena terkejut dan sedikit marah.  Saya hanya memandangi mereka tanpa tahu harus bagaimana. Ini adalah celaan atau olokan yang sulit diterima akal karena apakah beliau tahu sebelumnya saya berlari-lari menuju kantor?

Sontak saya menjawab, "Maaf pak, saya tersinggung lho disebut gemuk".

Beliau langsung defend, "Makanya, kuruskan badan dong, diet kek, jogging kek, exercise kek..." tanpa merasa bersalah, tertawa dan melangkah ke luar kantor diiringi tatapan kecewa saya.

Saya memandang staf yang tidak tahu harus bagaimana. Pastilah mereka mendengar semua itu tadi. 

Tapi mau bagaimana lagi.

Bahkan saya tidak diberi kesempatan apa-apa untuk memberitahukan alasannya mengapa sulit bernafas, atau mengapa bertubuh seperti ini, nyatanya malah ditertawakan di depan mahasiswa dan staf seperti tidak punya harga diri."

Demikian cerita teman yang terluka tadi. 

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sebenarnya sungguh sulit dicerna akal mengapa rekan kerja tersebut mengolok dia tanpa konfirmasi dan empati dengan keadaannya saat itu. Padahal hal itu sudah mencela bentuk fisik yang Allah berikan, sebagai bukti kekuasaan dan rezeki yang Allah turunkan pada temanku tadi. 

Begitulah kita. 

Barangkali kita juga suka mencela, sehingga saat dicela rasanya kok sakitnya di sini banget. 

Tetapi, meski dalam situasi terharu, kami berusaha saling menguatkan dengan sama-sama mengingat ayat berikut (QS 49:11): 

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim".

Berdasarkan hal di atas, maka mengolok-olok bentuk tubuh tadi sudah jelas bukan perbuatan baik. Beberapa sebab mengapa kita tidak boleh mengolok-olok orang lain:
a) mencederai iman,
b) bisa jadi orang yang diolok-olok lebih baik dari yang mengolok,
c) termasuk perbuatan buruk,
d) jatuh pada ghibah.

Temanku tadi dan kita semua yang bertubuh gemuk barangkali pernah mengalami diolok-olok oleh orang lain. Rasanya menyakitkan, padahal beginilah karunia dari Allah untuk kita, dan bentuk tubuh pastilah bukan satu-satunya ukuran kesuksesan dan penerimaan Allah terhadap kita

Kesabaran terhadap gangguan tersebut perlu ditingkatkan. Hanya Allah sebenar-benarnya hakim, jadi tidak perlu kecil hati kalau diperolok tubuh indah yang gemuk ini. 

Pekanbaru,

Friday, June 24, 2016

Ow, kita jangan menyerah dulu

Sebenarnya aku sudah lama ingin rutin nge-blog lagi.

Dulu sewaktu studi PhD, aku selalu berpikir, alangkah menyenangkannya punya banyak waktu untuk menulis post di sini. Apalagi begitu banyak inspirasi dan memori yang ingin kurekam lewat blog sepanjang perjalanan heroik tersebut. 

Tetapi begitu pulang ke Indonesia, setelah 4 tahun sibuk sendiri mengejar kemajuan pekerjaan di kampus, kemudian break dari jabatan tersebut, dan akhirnya jadi punya cukup waktu untuk mengerjakan hobiku, Subhanallah, ternyata aku malah kekurangan inspirasi untuk eksis di blog lagi. Rasanya sulit sekali menuangkan cerita-cerita seperti biasanya. Apalagi budaya skeptis kita membuat diriku jadi lama-lama sering bercermin dulu sebelum mengatakan sesuatu, hingga pada suatu titik aku tidak bisa bicara lagi. What's wrong with me? Di budaya lain, aku bisa sangat percaya diri mengekspresikan diriku, tetapi kembali di budaya ini, aku sulit menemukan kepercayaan diri lagi saat berbicara dan menulis. Lebih baik menghabiskan waktu menulis dan membaca jurnal ilmiah. Okay. Situasi yang aneh. 

Untuk membalikkan situasi tersebut, aku perlu memperluas peredaran. Barangkali berada di beberapa budaya sekaligus bisa mengasah kepercayaan diri dan memupus sikap segan yang tidak bertempat tadi. 

Aku bukan takut kritikannya, tapi sepertinya aku malas dengan sikap kurang supportnya dan terlalu banyak kritik tak relevan. Ibaratnya, setelah kita perbagus satu sisi, mesti ada sisi lain yang akan dikritisi dengan dalih penyempurnaan. Padahal tidak segala sesuatu bisa sempurna, karena kata kuncinya: "selesai saja sesudah prosedur sudah cukup". Berusaha menghasilkan pekerjaan berkualitas di tempat seperti ini juga tidak terlalu diperlukan saat ini. Mirip MBPku (MacBookPro) dengan Mac OSnya yang selalu overspec dari driver printer tahun 2012an, maka pekerjaan berkualitas entah kapan akan terbukti diaplikasikan. Itulah mentality-ku sekarang. Aku juga sungguh frustasi karena sudah mengenal etos kerja Jerman yang sistematik dan detail.

Anyway, untuk membalikkan keadaan selalu butuh momentum. 
Berbekal momentum ulang tahunku minggu lalu yang ke fortyplus, maka kuupayakan agar semangat berbagi dan sikap pantang menyerah bisa muncul kembali. 

Blog ini harus diisi dan ditulis untuk mahasiswaku atau siapa saja yang membutuhkan informasi dan tips. Mudah-mudahan bisa jadi pengingat untuk diri disamping amal jariyah saat aku sudah tidak di dunia ini lagi. 

Yuk kita lakukan. 



Pekanbaru,

Monday, June 20, 2016

Flamboyant (Royal Poinciana/Delonix regia)


I walked under a big flamboyant tree in front of the campus library that afternoon.
I didn't know that it was supposed to be a flowering season for flamboyant. 
Just spotted some bright scarlet petals laying on the pavement.  
So, I looked at the tree. 
Wow, the flowers were blooming. 
It looks contrast with the dark bark.
I couldn't help myself not to take a picture of it. 
What a beautiful flowering tree.
 
 
Pekanbaru,

Wednesday, June 8, 2016

Meninggalkan Digital Footprint atau Jejak Digital

Beberapa tahun lalu aku membuat blog ini agar mahasiswa bimbingan yang sedang ditinggal merantau tetap selalu dapat membaca perkembangan studi dan pengalaman-pengalaman hidupku selama di Australia. 

Dalam perjalanannya, blog ini malah menjadi tempat menuangkan kreativitas sekaligus menjadi 'timeline' yang mencatat pikiran dan pengalaman dalam hidup. 

Betapa melegakannya, bahwa aku telah memiliki sebuah 'rumah' untuk meninggalkan salah satu jejak digital (digital footprint). 'Rumah' kedua, My Academic Journal menjadi tempat lain berbagi mengenai kegiatan akademik yang kulakukan.

Semoga nanti mahasiswa yang pernah kubimbing atau mengenalku akan dapat selalu bersilaturrahmi lewat cerita-cerita dan banyak hal yang pernah atau dibagi melalui blog ini. 




Pekanbaru, 
dini hari, saat menyemangati diri untuk menyelesaikan proposal penelitian.