Sunday, May 31, 2020

Concretor

Kadang-kadang aku teringat masa-masa seru PhD study di Curtin University. Berikut aku post salah satu episode sekolah tersebut: Concretor.

"Nasib baik istri saya tak buat riset Concrete... kalau tak, habislah saya penat bantu-bantu dia, macam Gunawan", gitu kata Hakim, my officemate.

Hakim terlihat sangat terkejut saat melihat tampilan aku dan Gunawan (my hubby) yang baru kembali lab. Setelah berkaca sedikit, aku ikut terkejut melihta baju kami penuh debu pasir, percikan beton basah, jilbabku udah miring-miring... wajah berminyak kecapekan, sepatu safety-pun udah ga keliatan lagi bentuknya karena berlumuran debu dan tanah! 
Patutlah Hakim jadi shock!

Tapi kalau sudah melihat hasilnya seperti ini (foto berikut), rasanya tidak perlu ada kesedihan akibat komen shock tadi.



Waktu ambil topik riset, rasanya udah tau kalo kerjaanku bakal jadi concretor. Berhubung waktu di UK dan UNRI ga pernah ngerjain sendiri, jadi aku tidak memiliki bayangan skala pekerjaannya, termasuk skala capeknya nyiapin kerikil, pasir, dll, apalagi yang namanya concrete mould, definitely boring abis membersihkannya!

Paling ga nyangka kalo harus nyiapin semua sendiri.
Jumlah teknisi terbatas, terus kayaknya mereka mesti ngerjain macem-macem hal, jadi kalo mau cepet, mendingan prepare semuanya sendiri dan bikin rencana sendiri.

Apalagi bikin-bikin beton itu bukan pekerjaan satu hari saja.
Awalnya kita mesti prepare larutan NaOH dulu.
Mesti booking fume cupboard dulu, terus ambil NaOH pellets, distilled water, dan scale.
Buat NaOH 14 M. Harus sangat hati-hati, soalnya pakai konsentrasi tinggi.



Setelah membuat, mesti prepare aggregates.
Sekop dulu di stockpile sana, kemudian bawa dengan bucket ke dalam lab, beri air, biarkan 24 jam supaya saturated.
Besoknya hamparkan di tray, biarkan jadi SSD sampe sehari berikutnya.
Kalo aggregate ready, kita timbang sesuai mixture proportion. Fly ash juga perlu ditimbang. 



Yang paling challenging, scaling alkaline solution. Timbang baik-baik, jangan ada yang tumpah lalu mubazir. Siapin dulu satu per satu, kemudian sesuai dengan urutan saat akan membuat sampel baru dicampur: NaOH, sodium silicate, air dan superplasticizer. Superplasticizer dicampur pelan-pelan sampe merata dan tidak ada gumpalan.



Waktu bikin beton, peralatan slump, semua silinder, pan mixer, material harus sudah ready dan dibasahkan sedikit.
Setelah beton jadi, mulailah saat-saat mendebarkan karena harus uji slump sambil masukin adukan ke silinder.
Masukinnya cepat, tapi... compactionnya, perlu 3 layers, 60 manual stroke.
Walah-walah... so, per silinder 180 strokes.
Waktu bantu Helen dulu, ada Adam, aku dan Helen.
Kita sama-sama compaction, tapi Helen selalu paling cepat, aku dan Adam selalu belakangan.
Aku udah syak nih, pasti pake bahasa Chinese ngitungnya... kok cepet amat?
Hehehe... ternyata benar! Kalo pake bahasa Indo kan misalnya "dua delapan, dua sembilan"... sama lamanya dengan "twenty eight, twenty nine!"... hahaha...



Angkat-angkat berat seperti di gym udah jadi kebiasaan kita sehari-hari.
"You don't have to go to any gym. I have quitted from any gym last year. Really don't need to do it," kata Helen, my research mate yang thesisnya tentang balok geopolymer.
Bukan main, kalo nyiapin material, Helen perlu dua minggu untuk dua buah beton sepanjang 2.5m. Kalo diitung2 kasar, at least dia mesti nyiapin 200kg kerikil dan pasir.
Belum lagi fly ash, berdebu2, sampe lusuh wajah kita! Tapi, bener juga apa yang dikatakannya. Tiga tahun setelah itu dia jadi kurus dan sangat atletis... hihihi...



Awalnya aku suka kecapekan, badan pegal-pegal, pinggang rasanya mau patah. Padahal baru bikin 20 silinder, bareng Helen, dan itupun, dia juga yang angkat lebih banyak. Baru angkat 30kg aja aku udah ngomel-gomel dalam hati, pake dibawa lagi ke Supervisor kalo kerjaan itu semuanya bikin pegel!!! Tapi, berjalan dengan waktu dan kebiasaan, Alhamdulillah, setelah 6 bulan, sudah lupa tuh, sama semua rasa capek tadi! Nyekop kerikil dan pasir sampe 8 bucket aja udah ga pernah pegel lagi. Angkat 20 silinder, bikin beton terus kerja di perpus sampe sore, syukurlah sekarang udah ga begitu kecapekan. Wow, what a magic!!!
Itu dari segi perbaikan pada body, sedangkan untuk skill lain, ada dong.

Aku udah tidak takut lagi angkat berat... so pasti, hehehe... ga takut lagi pake mesin sand blasting buat bersiin silinder. Mesin ini, bener-benar invention yang invaluable (tak ternilai).
Biasanya kalo kita bersiin silinder, kita perlu 2-3 jam buat duduk di depan air nyuci2.
Semua yang keras-keras perlu diketuk2 supaya hancur, belum lagi nghalusin bagian dalam supaya hasil cetakannya mulus dan tidak berpori.
Dengan mesin sandblasting yang ajaib tadi, kita cukup tekan pedal gas, lalu tembakkan pasir ke silinder (di dalam mesin), dan voila! Kotoran bandel langsung luruh seketika... ajaib tenan! Dulu 10 silinder 2 jam, sekarang 12 silinder 1/2 jam! Efisien banget.



Aku juga belajar memotong steel bar.
Gampang sih, cuman ditaruh aja di clam, penjepit, terus turunkan pemotong dan biarkan saw tadi memotong sendiri. Bener-bener bagus... Bisa ditinggal ke lab lain, tapi uppsss... better not to do it, soalnya bakalan ga enak kalo ada yang mau make. Terus, saw-nya bener2 tajam yah. Jadi mesti ati-ati...

Memotong beton? Ini nih, pelajaran baru.
Tadinya kuatir banget kalo nggak safe kerjanya. Taunya setelah dicoba, ketagihan nih, mau motong-motongin beton yang banyak...
Dasar ibu rumah tangga, hobi motong2 sayur... hihihi... Terus aku berlatih baik-baik supaya bisa motong concrete bagus-bagus, biar hasil test absorption-nya bagus.

Oh well, jalanin mesin compressive strength sendiri, nyiapin aggregat di tray, ngidupin mesin mixer dan vibrator table sampe pake handheld stick vibrator sudah aku cobain semua.



Deep in my heart, aku very grateful to Allah, Alhamdulillah, karena semua kesulitan yang datang dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di lab akan membantu aku menjadi orang yang sabar, disiplin dan kreatif. 

Aku ga kuatir lagi kerja di lab beton dan jadi concretor. Insha Allah. Aku selalu minta kekuatan dari Allah, mudah-mudahan target 1000-an sampel bisa dibuat, yah, supaya lebih banyak data maka semakin bagus laporan tesisnya.

Pekanbaru,
Perth 2007

Wednesday, May 27, 2020

Kompetensi Mahasiswa via MBKM

Bincang-bincang tentang MBKM. 
Merdeka Belajar, Kampus Merdeka. Kali ini tentang Kompetensi Mahasiswa via MBKM. 
Webinar dari Prodi Kimia UNJ, dengan pembicara Prof. Intan Ahmad, mantan Dirjen Belmawa Kemenristekdikti.




Perubahan yang terjadi secara signifikan secara global masa kini, membuat mahasiswa dituntut memiliki keahlian kognitif agar dapat bekerja dengan baik dalam berbagai bidang pekerjaan. Mahasiswa tidak hanya punya kompetensi di bidangnya, tetapi juga dapat memperbaiki permasalahan di lingkungan masyarakat. 

Selain itu mahasiswa perlu memiliki keahlian adaptasi (ingat agile learner?), karena di MBKM mahasiswa diberi kesempatan merasakan berbagai pengalaman dan belajar dari pengalaman tersebut (experiential learning).  

Mahasiswa harus menguasai kompetensi dasar (capaian pembelajaran) lewat perkuliahan.

Tetapi, ada yang disebut critical thinking. 
Critical thinking/berpikir kritis = berpikir secara kritis dalam memandang berbagai hal. 
Critical thinking = proses berpikir dengan hati-hati mengenai sesuatu atau seseorang, tanpa melibatkan perasaan atau pendapat yang mempengaruhi kita.

Untuk menghadapi perubahan tidak menentu di masa depan, maka ada satu set keahlian (cognitive capacities) yang diperlukan mahasiswa agar menjadi mahasiswa yang kompeten dan bisa menyelesaikan permasalahan masyarakat di sekelilingnya:
1) Critical and system thinking --> kritis dan terstruktur
2) Enterpreneurship (creative mindset) --> bisa melihat kesempatan dibalik permasalahan
3) Cultural agility (global credentials) --> pengalaman belajar dan bekerja di budaya/negara lain.















Kemampuan bisa membaca, menulis dan matematika harus dikuasai, tetapi ada kemampuan lain yang diperlukan, yaitu data literacy (kemampuan membaca, menganalisis dan menggunakan data),  technology literacy (kemampuan memahami proses mesin dan aplikasi teknologi), serta human literacy (kemampuan berkomunikasi).   Untuk dapat menguasainya, kita harus selalu bersemangat belajar, dan belajar keahlian baru. 



Prof. Intan juga menyampaikan beberapa faktor penting dari kemampuan keahlian berpikir kritis di dunia kerja:
1) Berani mengerjakan hal baru (out of the box), belum ada yang mengerjakan, adaptif, inisiatif dan self-directed. Misalnya kalau diberi atasan tugas yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh orang di tempat kerja tersebut, maka kita harus mau  mengerjakannya dengan baik meskipun itu mission impossible. 

2) Mampu melihat sesuatu secara mendalam yang tidak dilihat orang lain (analytical, curious), insightful. Kemampuan untuk 'connecting the dots' atau menghubungkan titik-titik yang bertebaran di sana-sini, adalah salah satu faktor penting dalam berpikir kritis. Berbagai informasi bisa digabungkan dan diproses dengan cepat karena kita bisa mencari benang merah dari berbagai persoalan. 

3) Pendekatan yang tepat, problem solver, creative solutions (good judgement). Aku jadi ingat mengenai problem solver dan engineering judgement. Inti dari keahlian bidang teknik adalah 'problem solver', mampu memecahkan masalah baik secara terstruktur maupun intuitif. Jika intuitif, bukan berarti lepas berdasarkan feeling saja, tetapi telah melewati serangkaian analisis sehingga dapat diperoleh 'good engineering judgements'.

4) Dapat memahami dinamika kelompok dan membangun team work. Keahlian untuk berbicara kepada stakeholders (pro atau cons) sehingga ide baik bisa dikerjakan bersama, dijadikan kepemilikan bersama, dan team work yang baik dapat membantu kita pindah ke next level.

5) Inspiratif, pandai berkomunikasi dengan pihak lain.  Kemampuan menyampaikan informasi dengan santun, jelas dan tidak abu-abu, serta memberikan inspirasi kepada orang lain. Untuk bisa inspiratif biasanya kita perlu banyak membaca buku atau berinteraksi langsung terhadap mahasiswa. 

Lebih jauh lagi Prof Intan mengajak para dosen agar memiliki hidden agenda untuk meningkatkan kompetisi tersebut.  Misalnya dengan memberikan tugas-tugas yang memungkinkan team work, problem solving, connecting the dots sehingga mahasiswa terlatih untuk memliiki pikiran kritis. 

Mahasiswa dan dosen yang berminat dapat mendengarkan kembali video live webinar ini pada link tersebut. 

Pekanbaru,

Saturday, May 23, 2020

Hubunganku dengan MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka)

Bincang-bincang mengenai Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), aku ingin ikut memberikan refleksi selama berkarir 20 tahun menjadi dosen. 

Saat mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melaunching Program MBKM kebijakan no 4, dunia kampus seperti stunned. Tak berapa lama muncul semacam panduan beberapa pimpinan kampus berusaha merumuskan praktek MBKM versi mereka seperti praktek magang, kewirausahaan, dll yang pernah dilakukan. Semua menunggu juknis, panduan, dan jika bisa terjemahan dalam bentuk konkrit. Beberapa kampus juga berlomba-lomba mendatangkan dirjen-dirjen untuk menggali informasi soal MBKM agar mendapatkan langkah tepat dalam melakukan perombakan kurikulum serta berbagai hal lain dalam implementasi MBKM. 

Tetapi jawabannya dalam beberapa hal, adalah tergantung kreativitas Perguruan Tinggi, kemampuan networking, kemampuan negosiasi, kemampuan kerja sama, kemampuan mencari dukungan dengan pihak pemerintah dan industri. 

Oh, well.

Untuk hal ini, kita harus membuat kebijakan internal lagi dan memilih kegiatan yang bisa dilakukan. 

Terkait dengan MBKM, aku menerima program tersebut dengan senang hati karena salah satu programnya terkait riset mandiri. Sebagai seorang pejuang kegiatan kreativitas mahasiswa selama 20 tahun berkarir, sudah saatnya mahasiswa diberi kesempatan dan didorong memilih bidang-bidang yang mereka minati untuk keperluan karir mereka di masa depan. Contohnya, aku tahu tidak semua mahasiswa harus jadi pekerja di sektor swasta maupun pemerintah, bisa jadi mereka ingin menjadi peneliti dan dosen. Oleh karena stereotipe bahwa lulus harus bekerja, maka mahasiswa yang berminat meneliti dan berkarir di bidang akademik kadang diarahkan untuk bekerja di lapangan. Padahal mereka sangat berbakat memajukan sains dan teknologi di perguruan tinggi, tetapi alih-alih mendorong, banyak dosen lebih suka melihat alumni bekerja di tempat bonafid dengan gaji besar. Meski itu selalu menjadi ukuran keberhasilan dalam borang akreditasi/audit, tetapi menjadi akademisi juga bisa bonafid dan banyak manfaat sosialnya. Oleh karena itu aku mendorong membuat grup-grup riset dan pengabdian yang kecil-kecil meski peminatnya tidak lebih dari jumlah semua jari tangan dan kaki, akan tetapi manfaatnya bagi perkembangan ilmu dan keahlian mereka sangat besar. 

Setelah ikut webinar dengan pembicara Prof. Nizam, bisa dilihat ada beberapa manfaat MBKM untuk mahasiswa dan dosen. Hard work, challenging, but interesting.


Manfaat MBKM

















Jadi, pada kebijakan no 4 itu ada delapan kegiatan yang bisa dilakukan mahasiswa dalam 3 semester dikonversi menjadi 20 SKS atau 60 SKS. Kita coba berimajinasi bahwa aku adalah mahasiswa yang mendapatkan kesempatan MBKM, kira-kira apa yang ingin aku pelajari dan lakukan dengan 20 SKS per semester tersebut?

Aku menyukai riset dan menulis ilmiah, maka aku akan mendaftar kegiatan riset mandiri dengan tim dan mengikuti lomba-lomba supaya produk yang kami ciptakan teruji dan dapat dimanfaatkan masyarakat. 

Barangkali aku akan mengambil magang industri, untuk mendapatkan pengalaman kerja di BUMN, mendapatkan skill teamwork, negosiasi, decision making, dan etika kerja. 

Terakhir, aku akan mengikuti sit-in/kredit transfer di perguruan tinggi dalam/luar negeri, tergantung budget dan beasiswa. Aku akan mengambil mata kuliah yang sangat diperlukan secara global dan merupakan pendekatan baru dari ilmu-ilmu di Teknik Sipil. 

Kalau diajak dosen penelitian dan beliau mendapatkan grant/hibah, maka aku tertarik mengambil peluang tersebut. Tidak semua dosen mengajak mahasiswa dan mentrainingnya langsung untuk mengerjakan riset, menulis proposal, dan menulis publikasi. Apalagi aku bisa jadi first author atau co-author untuk beberapa paper. 

Sepertinya hal itu yang akan aku lakukan kalau ada kesempatan mengikuti MBKM.  Semua tergantung minat, keahlian, kompetensi dan outcome yang kuinginkan untuk persiapan pekerjaan di masa depan. 

Itulah hubunganku dengan MBKM. Aku rasa aku bisa membantu mahasiswa untuk mendapatkan kesempatan mengikuti program MBKM dengan mempersiapkan mereka sesuai dengan capaian pembelajaran yang diperlukan.

Pekanbaru,

Tuesday, May 19, 2020

Micro-credentials

Teringat kata-kata Prof Nizam dan Dr Illah, saat webinar beberapa hari lalu mengenai micro-credentials. Micro-credentials akan diperlukan di masa depan, saat kita dituntut menjadi agile learners. 




Again, agile learners, kata-kata itu membawaku kembali ke kelas UNILEAD di University of Oldenburg dengan Prof Peter dari University of Stellenbosch, South Africa. 

In order to be a good leader, we need to be agile, begitu pesannya. 

Baik, agile adalah = kemampuan untuk berpindah dengan cepat dan mudah.

Micro-credentials = kualifikasi, capaian, kualitas personal dalam skala mikro.

Agile-learners = flexible, adaptive, self-directed, creative, character, dan complex problem solver. 


Alright, let's get back to the micro-credentials. 

Skills, atau keahlian-keahlian kecil yang tidak perlu dikuasai melalui sekolah formal, merupakan kebutuhan untuk bersaing di masa depan. 

Apa saja micro-credentials yang dibutuhkan? 

Semua tergantung dari kita sendiri. Misalnya aku seorang engineer, punya gelar formal dari universitas, tapi dalam hidupku, aku membutuhkan keahlian khusus~ yakni leaderships, communication, dan public speaking. Aku juga perlu menjadi seorang complex problem solver, karena sering sekali harus memberikan masukan di bidang manajemen perguruan tinggi. 

Ada skill lain yang perlu aku kuasai, yaitu kemampuan mendapatkan informasi melalui wawancara karena pekerjaan khususku. Disamping itu, aku harus bisa bekerja sama dengan tim dari berbagai latar belakang, umur dan kebiasaan sehingga keahlian adaptif perlu terus diasah dengan banyak membaca mengenai sejarah, news dan kehidupan/budaya orang-orang asing tersebut. 

Nah, dalam artikel ini, aku membaca bahwa di masa sekarang, orang membutuhkan micro-credentials karena ada gap keahlian untuk menguasai teknologi baru.  Gap tersebut terjadi karena trend global pada skala makro,  yaitu, pertama, adanya kebutuhan pendidikan tinggi di masyarakat, kedua, transformasi digital yang terjadi di berbagai industri dan ketiga karena digitisation pendidikan tinggi.  

Oleh karena universitas tidak menyediakan semua training untuk keahlian yang dibutuhkan, sedangkan berbagai keahlian terus dibutuhkan dalam bekerja, maka kita tidak perlu mengikuti gelar formal lagi tetapi hanya perlu menambahkan atau meningkatkannya melalui kursus online, bootcamp certificate, magang dan berbagai jenis training lainnya. 

Hanya perlu diingat, micro-credentials diperlukan hanya sesuai kebutuhan saja, bukan mengumpulkan sertifikat sebanyak-banyaknya tapi tidak diaplikasikan sehingga memiliki dampak dalam penyelesaian tugas atau kebutuhan tempat kerja. 

Kita tetap membutuhkan pendidikan formal dari perguruan tinggi agar bisa melompat cukup tinggi, tetapi agar lebih skyrocketing di dunia kerja, kita perlu suplemen keahlian (micro-credentials) karena di kampus tidak diajarkan 'practical projects, tools, and opportunities'.  

Di dunia kerja kita harus membuktikan kita adalah 'valuable candidate' agar dapat terus mengikuti perkembangan dan bekerja dengan tim yang smart (cerdas), conscientious (produktif) dan conformist (mau mengikuti aturan yang baik di tempat kerja).

Pengalaman Scott Young, salah satu agile learner yang berusaha belajar mandiri unit computer science di MIT tanpa menjadi mahasiswa formal, bisa menjadi sumber inspirasi. Ia menyusun kurikulum, jadwal belajar, mengerjakan latihan dan menilai hasil kerjanya menggunakan bahan-bahan dari kursus online tersebut. Sungguh inspiring dan bisa membuat kita berkaca bahwa kalau ada keinginan untuk berkembang, kita selalu bisa mencari jalan dan mendapatkannya.

Pekanbaru, 

Saturday, May 16, 2020

Tiba-tiba kita menjadi penggemar Webinar saat WFH s

Beberapa tahun lalu aku sempat menjadi pelanggan webinar mengenai penelitian, mereview paper, menulis proposal, membuat artikel, dan aneka topik lain dari Elsevier Publishing Campus (sekarang namanya menjadi Elsevier Researcher Academy).  Apalagi pada masa-masa itu dapat e-certificate sangat menyenangkan, bisa menambah isi CV dan pengetahuan kekinian mengenai riset dan publikasi. Tim Publishing Campus juga generous dengan topik-topik terbaru seperti Networking, Make your publication visible dan career path dalam riset. Semua itu memberikan keahlian dan kompetensi yang diperlukan sebagai seorang peneliti, reviewer dan penulis makalah saat ini. 



Meeting online dengan tim konsultan ACER

Satu bulan setelah WFH berjalan, aku menemukan kesenangan baru, yaitu video meeting online. Meskipun boros pulsa, tapi bisa menyampaikan informasi dan mendapatkan umpan balik dengan cepat lebih melegakan. Kecepatan dalam berinteraksi juga menjadi salah satu ukuran dalam menyelesaikan pekerjaan saat WFH. Kita tetap bisa mengejar ketinggalan dalam pekerjaan dan saat bersamaan tetap produktif. Kita menemukan pola-pola komunikasi baru yang lebih efektif dan efisien lewat video meeting, misalnya harus dapat menyampaikan message dalam waktu singkat, merespon bergantian sehingga semua orang kebagian kesempatan berbicara, bisa merancang meeting dalam waktu singkat, meeting dengan berbagai orang dari negara lain, hingga bisa berbagi layar sambil belajar dan asistensi dengan mahasiswa. 



Webinar Unpad-German Ambassador to Indonesia
Tetapi, setelah dua bulan WFH berjalan, aku malah jadi sering mengikuti webinar. Ini cara pengisi waktu luang yang baru. Apalagi dengan berjalannya waktu, banyak sekali tawaran-tawaran webinar dari berbagai institusi di dalam dan luar negeri untuk berbagi informasi dan pengetahuan mengenai berbagai hal.  Beberapa hal yang dulu hanya bisa diikuti dalam hitungan bulan, tahun, karena ikut seminar atau konferensi, mendadak bisa dijadikan kegiatan harian bahkan berpindah-pindah webinar dari satu tempat ke tempat lain. Hari ini aku mengikuti webinar tentang STEM dari UNJ, setelah itu Indostaff serial talk series dari alumni pelatihan DAAD. Beberapa hari yang lalu webinar dari Unpad dengan mendatangkan Duta Besar Jerman di Indonesia. Next time, aku juga akan register ikut webinar beberapa petinggi Kemendikbud dan tim Baltic Gender di negara-negara Baltic. 

Webinar UNJ-Rachel Seffield, STEMinist Research Group

Luar biasa hobi baru ini. Tentu saja aku selektif memilih topik, sesuai minat (gender, internationalization, current development in higher education), dan pengisi acara (pimpinan, pejabat Kemendikbud, dan pihak internasional) agar waktu kerja tidak habis juga. Selain ingin tetap mengupdate wawasan di bidang-bidang tersebut, aku juga ingin mempermahir kemampuan English dan menambah vocab melalui seminar bermutu dalam topik yang relevan. Hanya sayangnya hingga saat ini belum ada webinar topik riset yang bisa diikuti, karena dari American Concrete Institute biasanya berbayar.  Kesukaanku pada webinar ini dapat membantu transfer informasi dengan cepat tanpa harus berangkat ke negara tertentu hanya mendengarkan pembicara favorit di bidang-bidang tadi melalui seminar dan konferensi. Mungkin ini akan jadi hobby baru setelah WFD kembali normal. 


Webinar Indostaff Series Talks 1

Pekanbaru,