Tuesday, May 31, 2011

I'm in stage 'leave me alone, please!'


Dalam perjalanannya, ternyata ada satu stage yang akan dialami oleh mayoritas mahasiswa PhD. Stage ini datangnya tidak terlihat, tapi dapat dirasakan, malah semakin menjadi-jadi intensitasnya, apalagi di tahun ketiga, tepat beberapa bulan sebelum tanggal pengumpulan tesis. Stage ini kupanggil, ‘leave me alone, please!’

Aku tidak merasakan kehadiran stage yang tidak pernah juga kutahu namanya ini. Hanya saja, suatu hari, saat aku semakin sibuk mengolah data hasil eksperimen, berbagai permintaan dan instruksi dari pihak-pihak lain membuatku merasa gerah, tidak mampu lagi membagi waktu dan perhatian. Akhirnya, suatu hari, setelah kejadian berikut, aku mengerti kalau akhirnya aku mengalami stage ‘leave me alone, please’.

Pada bulan itu aku sedang terburu-buru membuat sekaligus menguji sampel yang telah kubuat berbulan-bulan lalu. 

Aku merasa tertekan, apalagi pada saat yang sama, ada eksperimen baru di Murdoch sedang dimulai. Semua terasa sama pentingnya, sama berharganya dan sama besar pengaruhnya pada data untuk tesisku. 

Yang begitu terasa menyebalkan, ada staf dosen berusaha memintaku untuk membantu mahasiswa mereka, di saat bersamaan, ada pula staf teknisi berusaha menekanku untuk tidak membantu siapapun. 

Bingung dan jengkel, kan? Kok kita malah jadi bahan isi sandwich gini!

Setelah kejadian itu, aku mulai pasang kuda-kuda. 

Cukuplah sudah semua permintaan-permintaan dari staf/dosen/mahasiswa lain. Cukuplah semua interaksi dan insiden dengan mahasiswa lain. 

Sudah cukup! 

Aku mau ditinggalkan sendiri, tenang-tenang mengerjakan riset, tanpa ada masalah dengan orang lain. 

Dan...

...saat itulah aku menyadari bahwa aku mengalami stage ‘leave me alone, please’. 

Aku melapor pada manajer lab, teknisi senior dan ketua jurusan supaya dibantu untuk menghadapi orang-orang yang dapat memperlambat proses penyelesaian risetku. 

Jika aku tidak bisa bilang ‘no’ pada staf, lab manajer bilang, katakan ‘tidak’ nicely and consistently. Kalau orang itu kembali lagi, daripada stress karena ni orang kok ga ngerti-ngerti, tarik nafas, dengan suara rendah, katakan lagi ‘no, I am sorry, I cannot help you’. Berkali-kali, sampai ia mengerti. 

Si teknisi senior juga membantu mengalihkan perhatian dan fokus mahasiswa postgrad lain dengan caranya sendiri. 

Apapun itu, aku sangat berterima kasih padanya, karena sejak saat itu, tidak ada satu orang mahasiswa postgrad dari dosen lain yang berani menyapaku. 

Semua teknisi dan pihak-pihak pentin di lab telah bekerjasama membantuku, Alhamdulillah, terima kasih pada Allah yang telah menolongku saat itu.

Back to the stage ‘leave me alone, please’ tadi, ternyata ada beberapa tanda-tandanya:
Kita lebih pendiam atau mulai jarang berbicara, karena ingin fokus dengan pekerjaan di tangan ketimbang hal-hal lain yang tidak relevan.

Kurang peduli dengan kerapian, misalnya tidak perduli warna jilbabnya nyambung dengan baju atau mulai menumpuk berbagai kertas di meja kerja.

Tidak memperlihatkan wajah bersahabat pada orang lain, terutama dengan orang-orang yang suka nyinyir dengan kemajuan riset kita.

Sering mengunci diri di dalam ofis atau rumah, lalu duduk berjam-jam di depan komputer, bekerja sekeras-kerasnya.

Malas menjawab sms atau email, suka emosi melihat foto-foto gembira orang lain di facebook atau cekikikan dari teman seofis.

Terus bekerja, membaca, menulis tanpa kenal waktu, sehingga lembur atau bekerja sampai pagi di ofis sudah menjadi rutinitas baru.

Stage ini dapat berlangsung selama beberapa bulan dan biasanya dimulai satu tahun sebelum pengumpulan tesis. 

Beberapa orang bisa berhasil dengan baik, terutama kalau mereka dapat menyeimbangkan stress regular ini dengan hobi lain. 

Di akhir stage ‘leave me alone, please’, biasanya orang mengatakan mereka sudah bisa mengontrol riset sesuai jadwal. Jika riset sudah terkontrol, biasanya mereka akan pulih dari stage ini dan kembali normal seperti biasa. Pada saat itu, draft beberapa chapter tesis yang siap untuk diedit berulangkali sudah dihasilkan.

Tidak ada tips untuk menghadapi stage ini, karena sepertinya wajib dialami oleh tiap PhD student yang sudah semakin panik dengan submission date! 

So, just enjoy the stage and finish the thesis, soon...

Well, senang berbagi info mengenai stage ini!

Perth,

Friday, May 27, 2011

Ingin tetap positif, di lingkungan negatif

Sulit bener mau menjadi pribadi positif. Baru sampai di kantor saja, sudah ada teman yang pasang wajah kaku dan tak mau tersenyum. Memang beliau ada masalah sih, tapi, sudah berbulan-bulan rasanya, kok, masih juga tiap ketemu sering mencoba menjatuhkan ‘mental’ dan bikin kita ikutan negatif. Sebenarnya bukan beliau aja yang punya masalah, tetapi mencoba menularkan sikap negatif ke sekelilingnya, berarti keinginan untuk menghadapi masalah dengan sikap positif bukanlah pilihan terbaik baginya.

Pernah kah, mengalami kejadian seperti itu? Bosen bener, kalau ketemu orang yang sudah disemangati tiap ketemu, tapi masih berusaha bersikap negatif dan tidak nyambung dengan kita. Ada orang yang memilih bersikap positif dalam menghadapi masalah, tetapi tidak kurang ada yang mencoba mencari jalan tersebut. Untuk membantu kita yang berada di sekelilingnya tetap bisa bersikap positif tanpa terpengaruh lalu ikut bersikap negatif, maka ada beberapa cara untuk mengatasi hal tersebut. Cara-cara ini bisa dipraktekkan setiap hari, hingga kita bisa dengan cepat menjadi positif kembali tiap ada faktor yang mencoba mengarahkan kita ke perilaku negatif.

Keep busy. Gunakan waktu sebaik mungkin untuk mengerjakan sesuatu dan jangan duduk berpangku-tangan. Aku ingat, dulu ma Laura (Laura Ingals Wilder), mengatakan, “tangan yang sibuk mengurangi hati yang berat”.

One day at a time philosophy. Jangan lakukan berbagai hal dalam satu waktu, atau multitasking. Jika kita fokus mengerjakan sesuatu dengan tenang, maka hasilnya akan lebih prima, ketimbang tergesa-gesa mencapai hasil beberapa hal.

Play your winners. Lakukan hal-hal yang disukai dan bisa meningkatkan energi. Pergi bersilaturrahmi, kumpul bareng teman, membaca atau sekedar berjalan kaki di tempat-tempat menarik, bisa membantu menghilangkan rasa jengkel di hati.

Concentrate on positive thoughts. Coba pikirkan hal-hal positif yang kita miliki, sudah lakukan dan akan dicapai. Tutup semua saluran pikiran negatif, katakan tidak pada diri, ambil alih kontrol diri yang ingin bersikap negative.

Do something for others. Lakukan hal-hal baik untuk orang lain, baik secara eksplisit maupun implisit. Jika perlu, lakukan diam-diam, jangan menyombong atau mengumumkan kepadanya dengan tinggi hati. Dijamin, rasa positif akan menerpa diri kita.

Talk it out. Suatu waktu masalah ini tidak tertahankan lagi, coba diskusi, baik dengan teman dekat maupun diary. Pikirkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah, terima masukan dari teman dan pilih sisi baik dan buruknya.

Work it out. Biasanya orang akan mencari pelarian dengan bekerja lebih banyak dari biasanya. Di rumah mereka akan mengerjakan hal-hal yang tidak pernah disentuh sebelumnya, untuk mengatasi rasa berat di hati. Ternyata hal ini manjur untuk meningkatkan rasa positif, karena ada ‘sense of progress’.

Give problems to God. Hal ini baru aku praktekkan beberapa kali, ternyata hasilnya manjur banget. Soalnya sering ada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, membuat kita cemas bukan main dan mengurangi kinerja kita. Kembalikan saja pada Allah, mudah-mudahan ada jalan keluarnya.

Change the environment. Untuk beberapa hal yang tidak bisa kita hadapi lagi, maka lingkungan tersebut harus diubah. Mungkin keluar dari pekerjaan, mengurangi intensitas bertemu orang-orang negatif atau bergabung dengan lingkungan yang lebih kondusif.

Semoga bermanfaat ya.

Perth,

Monday, May 23, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 5: Haast-Queenstown)


Malam itu kami tidur dengan nyenyak di Haast lodge, meskipun suara dengkur tetangga sangat keras! Aku baru menyadari hal itu saat terbangun untuk shalat subuh. Mumpung masih pagi, aku cepat-cepat memasak sarapan dan bekal makan siang di jalan. Hanya ada seorang mbak dari Eropa yang sedang berskype-ria di common room dekat dapur. Sepertinya tempat ini penuh orang-orang dari Eropa, karena mayoritas dari mereka berkomunikasi dengan bahasa Jerman, Perancis atau Swedia, tadi malam. Dapur itu lengkap dengan peralatan memasak, kulkas besar, pantry lebar, kompor dan colokan listrik di sana-sini. Sepertinya, lima orang bisa memasak bersama di sana tanpa perlu berebutan alat dan fasilitas.


Baru pukul 8 pagi saat aku dan hubby berangkat meninggalkan Haast, sedangkan tamu-tamu lain sudah berangkat lebih pagi lagi. Tempat ini mirip daerah tropis di Sumatera Barat dengan hutan lebat, gunung berselimut halimun dengan puncak bersalju tipis, sungai-sungai kecil dangkal kebiruan dan berbagai ukuran air terjun. Benar-benar asli pemandangan Indonesia.

Menurut poster yang sempat kubaca di ruang umum Haast Lodge, sebenarnya tempat tersebut adalah hutan prehistoric yang tidak pernah dieksploitasi besar-besaran. Berbagai jenis hewan seperti ikan, capung dan burung memiliki bentuk khas tersendiri. Burung Kiwi, misalnya, burung nocturnal yang aktif di malam hari, banyak ditemukan di hutan tersebut. Lumut yang tak pernah kulihat sebelumnya, menutupi sebagian besar tanah-tanah di samping jalan setapak. Persis hutan-hutan yang masih ada perinya!

Meskipun alamnya beda tipis dengan Sumatera Barat, tetapi aku mengacungkan dua jempol untuk fasilitas bagi turis. Pertama, fasilitas umum seperti toilet terawat, bersih, kering, air sejuk dan ada kertas tisunya! Tempat ini biasanya berada dekat area piknik atau kemping lengkap dengan meja-bangku kayu. Tadinya aku sempat kuatir soal satu ini, tapi, syukurlah di sepanjang jalan, papan tanda male/female, tempat duduk plus pohon serta gambar tenda banyak ditemukan.


Kedua, tempat-tempat menarik untuk dikunjungi diberi penunjuk yang jelas. Awalnya, kami sering melihat mobil-mobil berhenti di tepi jalan dan penumpangnya berbondong-bondong menuju suatu tempat, yang kelihatannya seperti tepi sungai atau air terjun. Setelah diperhatikan, umumnya mereka berhenti di tempat dengan papan penanda berwarna hijau, yang berisi nama atraksi dan jarak tempuh berjalan kaki. Begitu tiba di tempat tersebut, biasanya ada papan informasi singkat mengenai tempat menarik lengkap dengan sejarah penemuannya.

Sebenarnya peta mengenai tempat-tempat menarik itu bisa didapatkan di ivisitor (pusat informasi turis) dan penginapan. Sayangnya aku baru mengetahui hal itu dalam perjalanan pulang ke Christchurch. Untunglah hubby yang setiap malam memasukkan informasi ke GPS sempat mengamati tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. So, I won’t feel too bad ketinggalan beberapa hal! Berikut adalah tempat menarik seperti Haast Gate, sungai dengan air kebiruan dan batu-batu besar tertata artistik.


Perjalananpun harus diteruskan, karena kami ingin tiba di Queenstown sebelum maghrib. Setelah meninggalkan kawasan tropis, vegetasi mulai berubah. Hutan lebat semakin jarang, padang rumput dan gunung lebih banyak terbentang. Hutan pinus lebih banyak terlihat. Persis dalam game ‘Transport Tycoon’, pikirku.

Tiba-tiba kami berada di tepi sebuah danau besar! 

It’s a lakeside driveway! Jalan di tepi danau Wanaka! Wuhu! Had a good feeling, melihat danau biru luas bertepi barisan gunung. Melihat pemandangan serupa ini, aku ingat kunjungan isi cerita ‘time machine’ di Gondola Christchurch, tentang sejarah terjadinya New Zealand. Barisan gunung dan ratusan danau sebenarnya hasil letusan puluhan gunung berapi masa prehistoric. Tidak heran barisan gunung dan danau yang terbentuk diselingi kawasan datar subur begitu memukau.

Belum sempat menemukan tempat untuk melihat Wanaka dari dekat dengan teliti, sebuah danau lain telah membentang di depan mata. Danau ini sepertinya lebih dangkal dari Wanaka. Di tepi danau terdapat banyak padang rumput sehingga pemandangan domba dan sapi merumput lebih sering terlihat. Tanaman lupin liar berwarna kuning yang tumbuh berkelompok juga turut menambah asri tepi danau Hawea. Aku yang sudah tidak sabar ingin berhenti menghirup udara danau, meminta hubby berhenti sejenak. Girang sekali melihat bunga-bunga tersebut. Again, belum sempat berimajinasi soal bunga dan danau ini, hubby mengajak bergegas, karena Queenstown masih jauh.

Setelah menyusuri tepi danau Hawea, kami diarahkan (bener loh), GPS menuju sebuah kota kecil di tepi Wanaka. Kota ini cukup unik, ramai dan penuh turis asing. Saat itu sudah pukul 12 dan hubby memutuskan untuk istirahat makan siang di sana. Lagi-lagi GPS menunjukkan jalan ke atraksi menarik, yaitu, tepi danau Wanaka! 

What a delightful surprise for me! 

Di tempat ini, kita bisa makan siang di pasir ataupun bangku-meja yang terdapat di tepi danau. Pemandangan yang ada, sungguh, luar biasa! Coba lihat dan beri nilai ya!

Kali ini kami sangat serius ingin tiba di Queenstown lebih awal dari rencana. Tetapi karena GPS menunjukkan jalan lain, bukan jalan umum yang biasa digunakan turis, kami sampai di daerah perbukitan. Bukit/gunung tersebut bukan dari pohon, tetapi batu-batu dan ribuan rumput-rumput fluffly yang memang khusus hidup di dataran tinggi. 

Aku belum pernah melihat tempat seindah ini! Kami berhenti di tepi sungai bening untuk berfoto. Melihat lingkaran rumput bekas api unggun di tepi sungai, tampaknya bukan hanya kami saja yang pernah berhenti di sini untuk menikmati pemandangan.


Setelah meneruskan perjalanan beberapa saat kemudian, kami baru menyadari kalau saat itu kami di puncak gunung! Saatnya berhenti kembali untuk menghirup udara segar dan memotret alam. This is awesome! Bukan kami saja yang berpikiran demikian, tetapi beberapa mobil juga berhenti di belakang. 

Bahkan dua orang wanita malah duduk di bawah pohon gosong ini sambil membaca dan minum kopi, tak terganggu dengan suasana sekelilingnya. Melihat gunung hijau di sebelah sana, sekilas warna biru dan bukit coklat penuh padang rumput, Subhanallah, aku terus bersyukur.


Aku dan hubby tidak hanya berpose di belakang gunung, tapi juga rela jalan berjongkok di pinggir tebing untuk memotret bunga Edelweiss. Lihatlah hasilnya!


Anyway, tempat tersebut ternyata merupakan area ski di musim dingin. 

Cardrona ski area pada musim semi penuh dengan pohon dan semak berbunga kuning, tetapi merupakan gunung landai bersalju di musim dingin. Dari tempat ini, kita harus melalui jalan ala kelok empat-puluh-empat danau Maninjau dari puncak gunung tadi untuk mencapai Queenstown. Wow, pemandangan super amazing disamping jalan bagus dan lebar menambah nilai plus bagi negeri kecil ini! Aku sudah tidak heran lagi kalau orang mau jauh-jauh datang dari Eropa ke negeri paling ujung di belahan Selatan bumi ini.

Tiba di Queenstown, kami langsung menuju penginapan, Shotover Holiday Park. Kami memilih cabin, dengan fasilitas umum bersama-sama. Tempat ini asri, kecil, unik, jauh dari pusat kota Queenstown. Untuk mencapai pusat kota, kita mesti melewati jalan berkelok di tepi bukit dengan pemandangan arung jeram Shotover Jet yang terkenal di dunia. Tempat ini pastilah sungguh romantis di musim gugur, pikirku, sambil mengamati deretan pohon pinus dan pohon-pohon semusim di sepanjang bukit. Kubayangkan warna-warna emas, kuning, merah, oranye, wow, aku harus kembali ke sana suatu hari nanti di musim gugur!

Queenstown dapat diamati dari Bob’s Peak, puncak tertinggi yang dapat dicapai dengan gondola. Tampaknya tempat ini seperti pusat internasional mini, karena puluhan orang berbagai bangsa menggunakan bahasa mereka dan hiasan bendera berbagai negara ada di tempat masuk. 

Saat naik ke gondola, aku yang berduaan saja dengan hubby di dalamnya malah sempat gamang. Samasekali tidak romantis, karena posisi gondola yang kelewat curam. Perjalanan mengerikan ini terasa sangat lama. Di bawah sana kuamati jalan setapak dengan beberapa tiang untuk penerangan secukupnya, membuatku menyadari, jika terjadi kemacetan gondola, para turis di atas sana harus siap turun bukit melalui jalan setapak tersebut.


Kota Queenstown yang terletak berdampingan dengan danau Wakatipu (Wak Kena Tipu, kata teman-teman Malaysia), merupakan pusat olahraga dan kegiatan alam di pulau Selatan, New Zealand. Di sinilah bungey jumping, arung jeram, ski, trekking, golf, dan berbagai aktivitas olahraga ekstrim lain tergantung musim dilakukan orang dari berbagai negara. 

Pusat kotanya penuh dengan toko peralatan olahraga dan berbagai paket tour ke daerah jelajah sekitar Queenstown, seperti Milford Sound. Toko-toko tempat makan dan menjual bahan makanan bahkan buka selama 24 jam. Saat berbelanja, aku menemukan tumpukan indomie goreng di antara berbagai jenis makanan internasional di sana. Ikut excited juga, karena indomie goreng rupanya memang pantas memiliki citarasa internasional (seperti ceritaku tentang Mirre dahulu). Sedikit informasi, bagi yang ingin berkunjung langsung ke Queenstown, sekarang ada penerbangan langsung dari Melbourne, loh ke situ!

Bob’s Peak memiliki restoran formal dengan pemandangan kota dan danau Wakatipu. Tiap hari, kelihatannya puluhan orang datang menggunakan tur dari berbagai negara menikmati makanan di resto berkelas tersebut. Turis-turis lain menyempatkan diri mencoba atraksi khusus atau sekedar mengeksplorasi Bob’s Peak. Aku dan hubby menemukan banyak spot menarik untuk berfoto, menikmati bunga sakura bermekaran sambil melihat pemandangan million dollar danau Wakatipu.

Sudah hampir pukul 8 malam, tetapi langit masih terlihat cerah seperti waktu sore hari. Biar begitu, semakin banyak orang datang ke Bob’s Peak. Beberapa orang Jepang yang tampaknya sedang mengikuti sebuah konferensi di Queenstown, tergesa-gesa berjalan ke arah puncak bukit. Tak lama, aku melihat lebih banyak lagi peserta konferensi berbagai bangsa yang masih menggunakan badge nama berdatangan ke Bob’s Peak. Aku dan hubby berdiri rapi di pinggir menanti gondola mereka yang kini telah kosong.

Perth,