Sunday, June 28, 2020

My 40yo thing (throwback)

My 40th a few years ago (in 2015), and I was very excited. 


My 40th bday red velvet cake.
This is a special milestone for a Muslim, since 40yo is the age of reaching full maturity (Al-Ahqaf 15).

This is the age... "when we're older than young but younger than old (mid-life), when we're looking forward for a major accomplishment in life, when habits developed now typically stay with us, and when we're ready for a real mission in life..."

I celebrated my 40th with family (hubby, mom and dad), 

and my students (final year project, KP, PKM, mahasiswa mengulang, bupati HMTS... haha), some ex-students (thank's Virdy, Yulia, Winda), also with my dear friend, Leni, yesterday.

Thank's for coming to my bday, everyone, and marked that important milestone together with me.



++++++++++++

That's what I wrote on my wall for many years ago. 

It was an expression of gratefulness, happiness, hope, and also submission to Allah, the Almighty. 

This is the age where I must think every decision and action carefully, including the consequences, so I won't regret it or cause any sequence effect in the future.  

When I invited the students to my small party, I thought they would come, eat and leave the house quickly. But then, they enjoyed the gathering and started to chat with their friends at home. Some of them interviewed my parents and talked to them about me. They just gave my family some ideas on how I was at the university.


Thanks for the special present

Thanks for coming everyone.

Actually, I just didn't want to celebrate my birthday alone this year. It will be fun if we could celebrate it surrounded with people that we like and enjoy to be with. 

It was a nice one. Alhamdulillah. Thank you, Allah:)

Pekanbaru 2015
Pekanbaru 2020



Wednesday, June 24, 2020

Tur singkat di kota Berlin

Februari 2015,
Workshop UNILEAD, Jerman. 

Untuk sesi kedua Workshop blended learning programme University Leadership and Management Training Course dimulai di Berlin, Jerman. Kami berada di kota tersebut selama 3 hari untuk melanjutkan training di Berlin University for Professional Studies dengan Professor Ada Pellert (Rektor Deutsche Universitat fur Weiterbildung). 

Setelah terbang selama 14-15 jam dari Jakarta ke Amsterdam, perjalanan berikutnya adalah menuju airport Berlin Tegel, Berlin. Aku super excited saat hendak landing karena dari pesawat bisa melihat betapa luasnya kota Berlin yang terkenal dengan bangunan-bangunan khas komunis dan tembok Berlin. Kota Berlin dibangun pada tahun 1244M dan dulunya merupakan ibu kota kerajaan Prussia, bagian Uni Soviet.  Dari jendela pesawat bisa dilihat Berlin Tower dan susunan bangunan kotak-kotak khas arsitektur Eropa Timur yang cukup teratur. 

Kota Berlin dari udara. 
Sehari sebelum training, kami diberikan kesempatan ikut tur dipandu guide lokal untuk mengunjungi beberapa tempat-tempat bersejarah di Berlin. Berhubung masa tinggal kami singkat dan penuh dengan jadwal belajar, maka kami hanya diberikan kesempatan melihat beberapa tempat-tempat utama saja. 

Tur dimulai setelah makan siang, jadi aku punya waktu mengunjungi Berlin Zoo setelah breakfast. Sebenarnya aku tidak khawatir pergi sendirian karena zoo tak jauh dari motel kami, tetapi TO, my BFF, bersikeras menemaniku ke sana. 

Berlin Zoo peta dan bagian-bagiannya.
Suhu di kota Berlin pagi itu sekitar 1-2 derajat Celcius, tetapi sayang sekali kalau dilewatkan dengan hanya bermalas-malasan di motel yang hangat tersebut. Berlin Zoo termasuk salah satu dari 10 Top Zoo di dunia. Zoo tersebut memiliki 20,000 binatang dari 1200 spesies dalam area seluas 33 hektar. Untuk mengunjungi setiap binatang dengan detil kemungkinan memerlukan beberapa hari di zoo. Pada saat itu, aku hanya tertarik melihat bison, penguin dan gorila yang terkurung dalam ruangan kaca memiliki pemanas khusus. 


Salah satu gorila andalan Berlin Zoo. 

Siang hari kami berkumpul di Berlin Botanischer Garten station untuk memulai tur dengan guide lokal. 

Menunggu bis ke Reischtag dan Bradenburg Tor. 
Miss SB, LO kami dari University of Oldenburg, membawa semua peserta naik bis kota ke Bradenburg Tor atau Bradenburg Gate. Pemandangan kota tetap sama, semuanya kuning kering karena masih masuk akhir musim dingin. Kami diajak dengan cepat ke gate tersebut dan mendengarkan sejarah mengenai gate yang menjadi simbol reuni Jerman Barat dan Jerman Timur. Gate ini awalnya terkenal di dunia saat tentara Napoleon Bonaparte mengadakan parade di bawah Bradenburg Gate setelah memenangkan perang dan menduduki ibu kota Prussia atau Berlin. 

Historic gate, Bradenburg Tor. 
Di sebelah Bradenburg Gate, terdapat Reischtag, gedung parlemen Bundestag, memiliki kubah seperti sarang lebah dibangun khusus pada tahun 1995 untuk modernisasi Reichstag. Sayang sekali untuk bisa masuk ke dalamnya perlu izin khusus. Kubah baru dengan rancangan arsitektur khusus dan ramah lingkungan tersebut menambah keanggunan bangunan tersebut. Salah satu tempat lain yang bisa dilihat adalah Holocaust Memorial di sebelah Bradenburg Gate. Tempat ini merupakan simbol peristiwa Holocaust yang melibatkan Nazi dan bangsa Yahudi. 

Watchtower
Selanjutnya kami diajak melihat bagian tembok Berlin di Postdamer Platz. Postdamer Platz sendiri adalah salah satu tempat tersibuk di kota Berlin dengan bangunan-bangunan futuristik yang sangat kontras dengan bangunan peninggalan kerajaan dan arsitektur khas Eropa Timur. Ada beberapa tempat menarik seperti Watchtower BT 6, berbentuk oktagon sehingga dapat melihat semua bagian dekat Bradenburg Tor. 

Tembok Berlin merupakan tembok paling terkenal yang memisahkan dua bagian Jerman, yaitu Jerman Barat yang demokratis dengan Jerman Timur yang sosialis dan merupakan bagian Uni Soviet pada tahun 1961.  Pemisahan kedua bagian ini berakhir dengan persatuan kembali pada tahun 1989. Ikut bersedih membayangkan keluarga terpisah, di bagian satu bisa hidup layak sedangkan bagian lain mengalami kesusahan karena blokade ekonomi.  Tembok sepanjang 140 km tersebut dijaga oleh tentara selama 24 jam sehingga selama puluhan tahun tidak ada yang bebas melintasi kedua daerah Jerman, padahal dalam satu negara.


Berlin Wall di Postdamer Platz.
Setelah berjalan menelusuri berbagai bangunan besar penuh dengan sejarah dan memori, akhirnya kami sampai di Topography of Terror, outdoor dan indoor musium.  Musium ini merekam berbagai jejak peristiwa dan kriminal perang yang menjadi bagian sejarah Jerman.  Aku merasakan berbagai emosi dalam hati saat berada di sana. 

Topography of Terror, outdoor dan indoor museum.


Ada perasaan kasihan, kesal, sedih sekaligus merinding seperti saat mengunjungi di istana presiden dan Chu Chi Tunnel di Saigon, atau Fremantle prison di Perth, karena belum bisa memahami banyak hal yang menjadi latar belakang peristiwa pahit tersebut. Di tempat ini bisa dilihat tembok Berlin yang lebih panjang dibandingkan bagian-bagian tembok tersebut di Postdamer Platz. Apabila diperhatikan baik-baik, di tembok tersebut terdapat banyak lubang-lubang bekas peluru tembakan. 


Pengunjung membaca dokumentasi di musium.  
Kami berpindah ke restoran yang telah dipilih Svenja untuk dinner kelompok menggunakan kereta bawah tanah setelah Topography of Terror. Suasana restoran cukup menyenangkan dan sangat menarik untuk inspirasi novel atau sejenisnya. Teman-teman menikmati makan malam tersebut, sementara aku hanya berani makan salad saja. 


All in all, tur singkat tersebut sangat berkesan karena kami bisa melihat dan merasakan atmosfir sejarah langsung di kota yang besar dan penuh peristiwa seperti Berlin. 

Berlin, Februari 2015
Pekanbaru, 2020

Saturday, June 20, 2020

Mulches

Pertama kali melihat taman-taman di Perth, aku heran melihat tumpukan mulches/mulsa/wood chips di atasnya. Tadinya aku berpikir mulches dipakai  supaya tanah di taman tidak berantakan diganggu burung. Haha, ternyata aku salah. 


Mulches untuk penutup tanah (foto dari Dreamstime).

Mulches memiliki fungsi sangat penting dalam menjaga kelembaban tanah. Suhu sehari-hari di Perth cukup sejuk, tetapi bila tiba musim panas, maka suhunya bisa mencapai 40 derajat Celcius. Selain udara yang kering dan kelembaban yang kurang, air di tanah berpasir tersebut sangat mudah hilang. Untuk menjaga kelembaban tanah, maka potongan-potongan kecil kayu tersebut dihamparkan di bawah pohon, bunga-bunga bahkan tanah lapang yang luas sekalipun.

Mulches dibuat secara khusus dengan mulchers atau alat pembuatnya. Pembuatannya sendiri benar-benar pintar karena bahan baku tidak perlu disediakan khusus. Cukup dengan pemotongan dahan dan ranting pohon-pohon (pruning) di daerah urban dan kota secara berkala, maka stok mulches tidak sulit didapatkan.

Hari itu aku sempat berdiri cukup lama sambil menunggu bis yang akan membawaku dari Technology Park, Bentley, ke kampus. Di depanku ada dua mobil dan dua orang pekerja yang sedang merapikan pohon-pohon di sepanjang Jarrah Rd. Setelah beberapa saat mengamati, barulah aku mengerti kalau mereka sedang membuat mulches.

Prosesnya dimulai dari pemotongan cabang-cabang pohon yang perlu dirapikan. Cabang-cabang itu dipotong menggunakan pruning stick untuk dahan-dahan kecil, atau chainsaw jika dahannya besar-besar. Tidak hanya untuk cabang-cabang yang dapat dijangkau di bagian bawah pohon, si pemotong juga naik ke atas box mobil khusus untuk memotong ranting kering, tidak indah atau membahayakan saat terjadi angin kencang.

Keduanya bekerja secara simultan. Seseorang memotong, sedang yang seorangnya lagi memasukkan dahan-dahan tersebut ke dalam mulcher. Si pemotong naik ke atas pohon dengan mobil khusus, lalu ia akan memotong dahan yang terlihat kering, tidak indah atau terlalu besar yang membahayakan saat terjadi angin kencang.

Dahan-dahan tadi lalu diambil dan dimasukkan ke dalam mesin pembuat mulches (mulchers). Untuk pohon pinus sebesar ini, mesin mulchernya benar-benar besar. Kalau kita punya kebun dan mau membuat mulches sendiri, kita bisa menyewa mesin pembuatnya untuk beberapa jam saja. Jadi tidak perlu membeli mulcher sendiri.

Selanjutnya mulches tadi bisa dijual atau digunakan kembali untuk keperluan taman yang bersangkutan. Biasanya mulches banyak dijual di nursery atau toko tanaman. Belinya bisa per karung dan kelihatannya untuk 1 meter persegi taman, butuh 1-2 karung mulches.

Mulches dihamparkan di atas tanah dengan ketebalan secukupnya. Kalau terlalu tebal, bisa-bisa air hujan tidak bisa terserap di tanah dengan cepat. Sedangkan jika terlalu tipis, maka tujuan awal untuk mengurangi penguapan berlebihan jadi tidak mudah tercapai.

Anyway, aku suka proses pembuatan mulches ini karena benar-benar efisien dalam memanfaatkan dahan-dahan pohon terbuang. Kan dahan berlebih sebenarnya tidak perlu dibakar. Asap pembakaran bisa menjadi polusi. Bagaimana kalau dahan-ranting bahkan batang kayu dijadikan chips untuk melindungi tanah dari penguapan berlebihan. Bisa tidak ya, dibuat di Indonesia?

Perth 2013,
Kalau batang kayu besar yang masuk, aduh, mulcher sangat berisik!

Tuesday, June 16, 2020

Pertama kali ikut Research Colloquium

Pengalaman pertama kali presentasi hasil saat PhD study

Pengumuman Research Colloquium Faculty of Engineering, Curtin University, sudah dimulai sekitar bulan September 2007. 

Tapi dasar procrastinate, adaaaa aja alasan untuk ga submit abstrak sampai detik-detik terakhir. Ingin dapetin hasil dulu-lah, belum cukup materi untuk presentation-lah, sampe ga tau juga mo submit judul apa, hahaha (bener-bener student yang ga perlu ditiru).

Setelah hari deadline datang, aku masih belum submit abstrak apa-apa juga. 
OC udah bertanya terus hingga extend jadwal pengumpulan. 
Rasa-rasanya topik itu sudah ada dalam bayangan, tapi, apa iya itu topik yang tepat? Mungkin ada topik lain yang lebih seru untuk didiskusikan? 
Ini gaya procrastinator sejati, ya, kalo udah last minute, tentu saja topik yang ada jadi topik terbaik--- soalnya sudah tidak ada pilihan lagi!


Beton yang siap diuji cover testing qualitynya.

Sampe hari extended submission, aku masih belum mendapatkan ide yang pas sesuai dengan data-data yang ada saat ini. Ternyata perlu banyak waktu untuk mempersiapkan topik pilihan itu. Bolak-balik search literature dan bongkar website sana-sini, akhirnya aku memutuskan memakai judul COVER QUALITY TESTING. 

Idenya datang dari website Papsworth. Cover Quality Testing itu terkait dengan nilai permeability, sorptivity dan Volume Permeable Voids (VPV) pada beton. Barangkali saat melakukan pengujian-pengujian yang kukira mudah tersebut, ternyata bisa dikategorikan menjadi sebuah kesatuan di bawah topik Cover Quality Testing. 

Pengujian permeability, VPV dan sorptivity dari beton geopolimer dapat dijelaskan dengan ringkas.  

Permeability itu berhubungan dengan perpindahan air dalam beton akibat tekanan. 

Sedangkan VPV adalah besarnya volume voids/rongga dalam beton yang dimasuki oleh air. Rencananya data-data ini dipakai untuk mengevaluasi kemudahan air masuk ke dalam beton, sehingga dapat memprediksi kemudahan ion klorida masuk ke beton secara difusi.  

Apabila nilai koefisien difusi besar, ada kaitannya dengan nilai permeabilitas yang besar.  Agar kecepatan air masuk melalui dalam selimut beton diketahui, maka aku menambahkan test sorptivity. 

Setelah konfirmasi ke OC, akhirnya aku disibukkan membuat slide presentasi. Dasar amatiran, awalnya slide tersebut panjang sekali dan super detil. Tapi aku ingat, gaya presentasi Western kan mesti tepat-tepat, singkat, dan jelas. Apalagi ini buat audiens umum, bukan specific audience (sebab itu disebut colloquium). 

Aku harus membuat slide yang sederhana, menarik dan mudah diikuti oleh audiens. Beberapa teknik penyajian aku coba-coba, akhirnya model tabel perbandingan data saja yang aku siapkan.  Melalui teknik tersebut, key points dari riset ini bisa dilihat dengan jelas. Mudah-mudahan audiens bisa menangkap maksud kita dengan cepat. 

Setelah presentasi selesai, beberapa teman asing memberikan ucapan selamat. 

Surprise juga. Mungkin mereka just try to be nice saja. 

Tapi aku tetap senang, karena debut pertama di RC cukup sukses sehingga memberikan sedikit rasa pe-de bahwa sebenarnya aku bisa menghasilkan presentasi yang bisa diikuti audiens dari berbagai bidang ilmu dan latar belakang budaya.

Perth 2007,
Pekanbaru 2020.

Selamat, ya, jangan mepet lagi.

Friday, June 12, 2020

Reuni

Ini adalah opiniku soal reuni.

Beberapa tahun lalu, reuni buatku bukan prioritas. Setelah lama-lama jengah dengan ajakan 'kumpul yuk', 'reuni yuk', 'temu alumni yuk' ala teman-teman SMAku (sorry, guys!), yang diisi dengan kegiatan ketemuan di tempat makan, aku memutuskan 'reuni dengan teman-teman SD/SMP/SMA' is not my style of socializing'. Kecuali... eh, kecuali, reuni dengan teman-teman alumni dari universitas lain. Itu, baru namanya socializing!


Reuni ibarat benchmarking atau tempat mengukur keberhasilan diri?

Masa lalu, mbok dibiarkan berlalu. Apa serunya ulang-ulang cerita lama tentang guru matem, guru ipa, guru kesenian, malam kesenian, etc. Mungkin juga ada sedikit singgung-menyinggung kehidupan di kompleks, ngecengin kakak kelas/adik kelas, kisah cinta orang, band waktu SMP atau teman-teman yang ngetop di sekolah. 

Seperti memutar program radio berulang-ulang saja menceritakan indahnya kehidupan yang tak tersentuh realita di dunia tersebut.

Setelah dipikir-pikir sepertinya aku malas reuni mungkin karena dulu aku bukan seleb atau kurang top saat SMA? *mikir sambil giggling*. Atau barangkali terlalu banyak stori dengan teman-teman yang kurasa agak memalukan? Mungkin juga karena masa-masa tersebut kita tidak jaim sehingga dunia serasa milik anak-anak SMA membuatku merasa kuper setelah berinteraksi dengan dunia lain di Jogja, Manchester dan Perth sana. 

Cihuy, akhirnya paham juga kenapa aku hating 'reuni anak SMA'ku itu.

Tapi kalau temu alumni teman kuliah aku baru cepet datangnya. Berhubung masa-masa kuliah tidak ngetop juga, tapi jelas yang mo dibicarain scope-nya cukup luas, jadi aku tidak keberatan ketemu teman-teman baru yang satu alumni denganku. Minimal bisa tuker-tukeran pendapat tentang sistem universitas atau info tinggal di Jogja, dah!

Kalau ikut reuni dengan teman dari universitas lain, nih, yang sebenarnya lebih menarik hatiku. 

Kebetulan waktu aku selesai S1, aku bertemu sekelompok teman-teman dari institut terkenal di Denpasar, bahkan salah satu dari gerombolan itu malah jadi 'mi hubby'. Apa sih, maksudnya? Maksudnya, aku menemukan teman-teman dari uni paling top di Indonesia, yang kukira 'tinggi hati' dan 'ga mau teman dengan kami yang dari swasta', seperti anak-anak universitas negeri yang kutemui di Jogja. 

Mau ding, berteman, tapi yoo, karena dari swasta, kamu ga bisa jadi temanku, okeh? Gitu kira-kira 'gesture' mereka. 

Nah, teman-teman dari institut ini kok ya, ramah gitu, rendah hati, padahal pinter-pinter, merajai kelas bahasa waktu itu dengan writing tertinggi atau skor latihan tertinggi. Ga keliatan kalo mereka mengusung 'we are from somewhere above khayangan, lo' seperti yang kukira. Bahkan dengan baik hati mereka suka mendengarkan aku curhat, memberi saran-saran jenaka atau saran-saran jitu saat kami semua mulai bersahabat. 

Pendeknya, aku seperti menemukan teman-teman dari dunia yang sama! Jadi nyesel dulu ga berusaha kerja-keras masuk institut ini... (hihi, kayak keterima aja!). Serius, itu termasuk satu hal yang kusesali, bahwa aku tidak cukup informasi dan kemauan untuk belajar keras masuk ke salah tempat terbaik menuntut ilmu di negara ini.

Anyway, last time, temu alumni institut ini di Burswood Park membawaku dan hubby berkenalan dengan komunitas kampus mereka di Perth. 

Aku tidak bicara banyak-banyak dengan teman-teman wanita yang ternyata para istri, tetapi aku malah ngerumpi riset dengan Amalia, temanku di kampus. Barulah pada saat mereka memperkenalkan diri, dengan seksama aku mengamati orang-orang yang mengaku alumni itu. Pada dasarnya mereka pede (mungkin karena menjadi lulusan institut itu sangat bergengsi), mayoritas berkarir di Australia (bukan jadi student, loh), berani mengambil resiko (beberapa jadi enterpreneur atau berkarir di bidang lain, bukan majornya), tidak sombong, punya kepedulian sosial (waktu itu ada yang ngusulin iuran untuk memberi beasiswa mahasiswa S1 di kampus lama mereka yang susah) dan memang ramah-ramah.

Aku menangkap 'gesture' berbeda dengan perkumpulan teman-temanku dahulu. Kelompokku itu kadang kurang efisien dan efektif dalam kegiatan seperti ini. Seringnya bercanda, saling mengejek, berpanjang-panjang membicarakan harta/karir, membicarakan masa lalu, hal-hal yang membuat keningku jadi berkerut banyak karena bingung dan menganggap mereka buang-buang waktu. 

Whua, anyway, mungkin daripada ntar aku dikira songong, mending aku bilang kalau 'duniaku mungkin sudah berbeda' dengan dunia mereka.

Jadi temu alumni yang kuikuti beberapa minggu lalu, masih meninggalkan keingin-tahuan sebenarnya, 'seperti apa yang diajarkan di kampus my hubby, ya?' atau 'seperti apa rasanya jadi mahasiswa di sana'? Hiks!

Perth 2009
Pekanbaru 2020
Thank's hubby yang udah mau mengajakku ke sana dan memberikan perspektif lain.

Monday, June 8, 2020

Apakah itu Calling?

Aku ingat bertahun-tahun lalu (tahun 2004-2005), saat menjadi ketua sebuah pelatihan mengenai penelitian, ada seorang peserta yang bertanya pada ibu narasumber. Beliau menanyakan mengapa penelitian perlu dilakukan seorang dosen. Kemudian beliau menyatakan bahwa bukankah kegiatan penelitian sebenarnya tidak perlu. Seringkali hal-hal yang ingin diteliti sudah pernah dikerjakan orang lain atau hasil penelitiannya sering tidak terpakai, hanya sebatas teori saja. Jadi, untuk apa susah-susah meneliti kalau tidak digunakan? Meski kedengaran konyol, pertanyaannya mengingatkan kita bahwa ada saja orang yang kelewat pragmatis dalam hidup, sehingga lupa soal 'calling'.

Sebenarnya pertanyaan beliau itu mengingatkanku pada orang lain yang menyangsikan kegiatan yang sedang kulakukan. 

Menurut beliau, untuk apa bercapek-ria menulis blog yang sepi peminatnya, atau membimbing mahasiswa untuk meneliti atau menulis padahal mereka toh tidak akan terkenal juga sebagai penulis. Apakah hal itu tidak menyia-nyiakan waktu dan biaya saja.


Menyumbangkan sebuah bangku di taman agar orang-orang bisa duduk sambil menikmati tulip di musim semi adalah sebuah calling.

Saat itu aku tidak bisa menjawab dengan baik, karena aku belum punya jawabannya. Tetapi setelah direnungkan baik-baik, aku merasa hal ini adalah ‘calling = semacam panggilan hati’ untuk berbagi dalam kebaikan. 

Seringkali tulisan di blogku mungkin berisi hal remeh-temeh atau cerita perjalanan liburanku yang mungkin tidak menarik bagi sebagian orang, tetapi mungkin menarik buat orang-orang tertentu. Aku hanya ingin berbagi cerita, pengamatan, pengalaman, dan opiniku yang sifatnya bebas, mau diikuti, mau dibaca atau tidak diterima atau bahkan dipercaya oleh orang lain. Siapa tahu suatu saat ada yang mengalami pengalaman sama denganku, sehingga tulisan tak terbaca tadi bisa jadi sebuah rujukan dan menggugah perasaan. Malah siapa tau bisa membangkitkan semangat jiwa yang sedang turun. Toh, walaupun blog sudah jutaan jumlahnya di dunia, masih ada juga orang yang mungkin membutuhkan hasil pikiran atau secuil ilmu titipan Allah di diri kita.

Bisa jadi hobiku membimbing mahasiswa meneliti dan menulis dipandang tidak menguntungkan. Padahal 'calling' tidak bisa dikuantifikasi dengan penghargaan 'tangible' dan 'intangible' karena ada manfaat yang tidak bisa diambil dalam waktu singkat, tetapi perlu latihan bertahun-tahun.

Sebenarnya yang beruntung dari kerja sama ini adalah kami berdua, karena mahasiswa dapat kesempatan berlatih menulis dan belajar mandiri. Di pihakku, mengajak mereka menulis bersama sebenarnya tidak hanya meningkatkan semangat diriku, tetapi juga kreativitas dan produktivitasku. 

Mereka akan belajar untuk riset bahan tulisan dan mencoba menceritakan kembali pemahaman lewat tulisan. Juga mereka terlatih untuk mengeluarkan pandangan, ide dan saran melalui tulisan. Lebih positif, kan? 

Belajar bersama, mengerjakan project bersama-sama terasa sangat menyenangkan, karena bisa saling menyemangati dan berbagi informasi.

So, despite semua ketidakyakinan dan perhitungan untung-rugi yang dilakukan dengan akal pikiran saja, maaf, hal itu tidak akan menggoyahkan semangatku untuk tetap berbagi kegiatan mahasiswa, blog, dan project-project sosial yang bisa membantu orang lain dan sekuat yang bisa diusahakan. Insya Allah aku akan berusaha istiqamah dalam menjalankan calling atau panggilan hati nuraniku ini sampai Allah tidak izinkan lagi.

Mengenai pertanyaan temanku tadi, ibu narasumber menjelaskan bahwa penelitian bukan seperti sebuah pekerjaan yang kemanfaatannya bisa dirasakan dalam jangka waktu pendek. Tetapi apa yang dikerjakan sekarang, terlihat tidak berguna, sebenarnya bisa memperkuat dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga suatu saat dapat bermanfaat bagi orang banyak. 

Untuk bisa mengerjakannya, kita perlu 'calling', supaya tidak terasa membebani hidup kita dan penelitian yang dikerjakan berdampak pada masyarakat dan lingkungan. 

Begitulah.

Perth 2011
Pekanbaru 2020
Tulisan ini direvisi dan dipublish pada tahun 2020. 

Thursday, June 4, 2020

Simplicity

Sekarang aku jadi penggemar beberapa vlog atau channel Youtube mengenai simplicity. 

Simplicity = a thing that is plain, natural and easy to understand.



Dahulu waktu S1 aku mempunyai seorang dosen yang sangat teliti, fokus, dan dedicated. Beliau bisa menyederhanakan sesuatu sehingga bisa diikuti oleh mahasiswa seperti kami dengan mudah, misalnya kurva dinamika struktur yang sulit dipahami. Entah mengapa setiap garis dan angka serta persamaan tadi bisa dimengerti seolah-olah kita membaca buku non-fiksi yang menyenangkan. Bertahun-tahun bekerja, rasanya hal itulah yang ingin aku capai. Menurutku, orang yang pintar, adalah orang yang bisa menyederhanakan sesuatu menjadi mudah dipahami atau dikerjakan.

Kembali ke simplicity tadi, sebenarnya aku hanya ingin menyetop berada di roda hamster yang keep rolling tanpa tentu arah karena tuntutan dan kompetisi di dunia kerja. 

Kita tidak mungkin melakukan semua hal dalam hidup ini hanya untuk mendapatkan label dan validasi dari semua orang. Impossible jadi expert dalam berbagai hal karena akan menghabiskan waktu, energi dan dana, termasuk umur. Bukankah lebih baik kita melakukan sesuatu yang kita sukai dan memiliki kekuatan di situ, sambil terus mengasah keahlian terkait sehingga hasilnya akan lebih otentik dan powerful? Barulah disitu kita mendapatkan label expert, meski janjinya tadi tidak mau pakai label. 

Anyway, vlog yang kumaksud adalah:

Mbak Liziqi 

Haegreendal

Matt D'Avella

Barangkali ada banyak vlog serupa, tapi menurutku ketiga personal tersebut sangat otentik dan semakin hari semakin terasah karena kemampuan mereka menyederhanakan hidup. 

Pekanbaru,