Monday, September 27, 2010

Sok Cakep

Jaman SMP dulu, aku suka bete ma cowok cakep. Soalnya, mereka bikin kita rajin melirik aja, sih. Apalagi kalo tipikal Cover Boy MODE, yang imut-imut, tinggi, putih, alamak, standar banget! Tapi, aku sebenarnya ga tahan ma cowok cakep bukan karena mereka cakep, doang, tapi karena...

Kalau diingat-ingat, aku bete mungkin karena ga ada cowok cakep naksir aku. Maklum, dengan modal kecantikan 'segini', plus rambut teratai (kata Tommy, thanks banget, man!), kulit coklat kehijauan (bukan jamuran) dan suara keras bak preman angkot, sudah pastilah aku lebih cocok jadi pelatih paskibraka daripada model kebaya.

Faktor penampilan yang jauh dari level mereka, bikin aku selalu ditolak sana-sini saat aku ingin hang out dengan para cover boy tersebut. Bukannya ninggiin mutu, tapi ngerendahin mutu mereka, dong. Panteslah jika suatu hari, ada seorang cowok cakep yang terlihat mengejarku (mungkin aku berhutang padanya), setelah aku berhenti mengeluarkan dompet (bukan membayar hutang, ngeluarin KTP), dia bilang, kalo cowok cakep kayak dia ga sudi 'jadian' denganku. Bukan main panas sekali hatiku dengan lagak si cowok tadi. Sejak itulah, aku alergi hang out dengan cowok-cowok cakep apalagi yang (sok) cakep tapi memang cakep! Pfuh!

Akhirnya aku suka hang out ma cowok biasa-biasa aja, tapi nyenengin. Apalagi kalo tuh cowok agak-agak kuper, aneh-aneh wae dan selalu kena abuse teman-temannya, wah, aku kepengen banget jadi teman mereka. Mungkin aku ketemu teman senasib, atau aku selalu berpikir positif, di balik kesulitan ada kemudahan, serta di balik temen ancur gini ada hal-hal positif yang tidak kita ketahui dan bikin kita kagum. Dua jempol untuk rasa empatiku tersebut. Tapi memang kuakui, mereka banyak membuka mataku, bahwa dunia tidak selalu milik orang-orang bertampang kece yang selalu mendapat kemudahan karena mereka lebih enak dipandang. Banyak juga orang-orang biasa tersebut memiliki berbagai kelebihan unik yang banyak berguna untuk orang lain. Justru, karena sulit mendapatkan segala sesuatunya, maka kita yang sederhana dan ga dipandang ini lebih kekeuh berusaha. Kita berusaha keluar dari segala keterpurukan dan rata-rata menjadi tidak kuatir dalam berjuang. Subhanallah... apa jadinya konsep survival of the fittest yang mungkin ga nyambung dengan konsepku tadi.

Yang paling seru juga waktu aku ketemu artikel berikut:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/07/tampan-dan-mapan-bukan-pilihan/
yang intinya pria tampan dan mapan tidak terlalu diimpikan wanita menjadi suami idaman. Soalnya, karena mapan dan ehem, tampan, mereka juga disukai banyak wanita lain, jadi agak-agak kuatir kalo-kalo dia akan 'sulit setia'.

By the way, ngapain aku membahas cerita ga penting ini ya? Soalnya beberapa hari lalu aku mendengar sendiri, cowok yang kukira sama normalnya dengan kami walaupun mungkin sedikit lebih kece, ternyata ga jauh beda dengan cowok-cowok cakep yang kukenal dulu. Dia kira aku mau ngobrol dengannya karena dia 'the most good looking man' di lab. Huh, aku mencibir sendiri. Maaf ya jeung, standar amat sih, kamu!

Perth,
CW, sok cakep, ah... norak!

Thursday, September 23, 2010

Ketika aku... mengingat papa dan ekspresi cintanya dengan berbagai oleh-oleh



Tiba-tiba aku teringat kebiasaan baik papaku yang suka membawakan oleh-oleh berupa makanan atau apa saja untuk kami, anak-anak dan mamaku. Biar dikata pulangnya selalu berseru heboh memanggil kita semua untuk mencicipi oleh-olehnya, sebenarnya diam-diam kami sangat menghargai kebiasaan menyenangkan itu.

Sore hari saat pulang dari bekerja di kantor, aku menuju meja makan menemui papaku yang sedang menikmati makan malamnya, pukul lima sore teng. Sepuluh biji buah seri merah-merah yang dibungkus dalam napkin putih terletak di atas meja makan. Mataku terbelalak melihat buah kecil-kecil menggiurkan yang sudah jarang ditemukan di mana-mana.

“Dari pohon di depan kantor,” kata papaku sambil asyik mengunyah makanannya.

Di depan kantor beliau memang terdapat bermacam-macam pohon buah-buahan yang mulai sering panen. Ada pohon kelapa hibrida, jambu merah, jambu klutuk, jambu warna putih, buah seri, mangga, nangka, pendeknya semua permintaan dari pegawai di kantor barangkali dibudidayakan di sana. Kadang-kadang tinggal beberapa hari lagi waktu panen, tiba-tiba buah-buahan itu sudah raib diambil entah siapa. Ada saja yang dicurigai, walau tak sampai hati karena toh para pegawai bisa mengeluarkan uang sendiri dari kocek mereka untuk membeli berkilo-kilo buah-buahan itu. Mungkin mereka jengkel karena buah-buah mengkal itu dipanen atau sudah berbulan-bulan melihat tapi tak kebagian.

Tetapi, sore itu aku bahagia sekali, karena papaku bilang, buah seri itu khusus untukku. Mungkin beliau ingat saat aku kecil aku suka histeris kalau menemukan pohon seri. Kadang-kadang jika sudah menemukan pohonnya, aku suka berlama-lama berkeliling sambil berusaha keras menemukan buah termerah dan terbesar untuk dimasukkan ke mulut. Sambil mengenang kebiasaan masa kecilku, berdua dengan mama, kami menghabiskan buah-buah seri tersebut.

Tidak hanya buah seri, kadang-kadang papaku membawakan bermacam-macam makanan kesukaan keluarga seperti sate padang dari Duri yang jauhnya hampir 60km dari Minas, tempat tinggal kami. Sate itu pastilah dibawa dengan mobil berkecepatan luar biasa sepanjang jalan Duri-Minas agar tetap hangat saat kami cicipi. Setiba di rumah dengan berseru-seru heboh saat memasuki pintu rumah, kami langsung berkumpul untuk mencicipi bawaan istimewa itu. Memang heboh, tetapi kebiasaan papa yang satu itu memang menyenangkan dan mengenyangkan.

Papaku sangat gembira jika anak-anaknya puas, bahagia, tersenyum lebar, atau bahkan berebutan baik sepotong sosis, seteguk jus buah maupun secubit roti berselai kacang yang dikumpulkannya berhari-hari saat dinas di luar kota. Tak satupun ia makan, semuanya disimpan baik-baik di dalam kantongnya, dimasukkan ke dalam tas kerjanya untuk digelar di meja makan saat ia pulang.

Tiap datang ke rumahku, pasti ada saja buah tangan yang dibawa. Entah sepuluh kotak susu, lontong sayur, keripik, apa sajalah yang pasti beraneka ragam dan sudah beliau pastikan kami sukai. Meskipun aku sudah setua ini, kebiasaan papaku yang selalu membawakan sesuatu cukup membuatku terharu sebenarnya. Tetapi aku menghargai tiap bawaan beliau, walau tidak melompat-lompat gembira seperti saat beliau membawakan kerupuk ikan dan angka delapan dari kampung, kurma nabi dan kacang pistachio dari Mekah, atau bros kiwi dari New Zealand. Sekarang aku cukup tahu diri dan jika sudah tak sanggup lagi kami konsumsi sendiri, akan kubagikan pada orang lain agar mereka turut merasakan kebaikan hati tulus papaku.

Menurut papaku, saat beliau pulang ke rumah tanpa membawa oleh-oleh misalnya barang sebiji permen, beliau kuatir nanti tidak akan diperhatikan atau dinanti-nanti kepulangannya oleh anak-anaknya. Mengharukan, bukan? Beliau memang papa yang penyayang dan selalu mengingat kami, anak-anaknya yang bandel-bandel ini. Terima kasih banyak, pa, untuk semua oleh-olehnya selama ini.

Perth,
Saat merindukan oleh-oleh papa, dan berharap oleh-oleh falafel wrap untuk hubby bisa melestarikan ‘ekspresi cinta dalam sebuah oleh-oleh’.

Sunday, September 19, 2010

It looks easier for other people, but it doesn’t, actually.


Betapa media komunikasi telah menjadi sarana untuk curhat bagi orang-orang. Seringkali kita malah mendapatkan pelajaran hidup melalui komentar-komentar, keluhan, keputus-asaan serta ketakutan orang-orang. Allah seperti memperlihatkan bagi kita, bahwa tiap manusia diberi dua keadaan, susah dan senang silih berganti. Jika dapat menyikapinya dengan ridho dan sabar, maka Insya Allah selain mendapat pahala, kita juga akan lebih kuat mengarungi samudra kehidupan ini.

Dulu waktu kuliah kedua, aku sering sekali geram dengan seorang mas-mas yang sok santai plus cuek dengan kuliahnya. Tiap kami bertemu dengan mata sembab, terlihat lelah dan sedang bad mood karena kurang tidur semalaman akibat menyelesaikan tugas, bukannya empati malah bikin kami tambah dongkol setengah mati. Begini komentarnya, “Wah, aku tuh ga pernah tuh, belajar segitu giat apalagi sampe kurang tidur. Santai-santai aja, malah nonton kartun”. Ikutan dongkol, ga dengernya? Kalo ga, berarti kamu sama aja ma dia, hehe. Berdua, aku dan teman serumah membahas komentar tidak penting itu dengan seru. Kami akhirnya menyimpulkan bahwa dia pembohong besar, mana ada orang yang segitu cueknya tidak belajar giat, padahal sudah belajar saja tetap tidak bisa dapat nilai bagus. Mungkin begitulah cowok, mau dianggap effortless tapi sukses. Huu! Seperti cowok dalam sinetron kali.

Saat mengerjakan riset ini aku juga sering bertemu tipikal mas-mas yang kelihatan sok effortless. Suka bertanya dengan detil perkembangan riset, bahkan sering memberi komentar pahit yang tidak diperlukan seolah-olah dia lebih mengetahui soal riset orang. Kali ini aku tidak terpancing emosi, karena aku tahu, bahwa orang-orang tersebut mungkin tak jauh sama nasibnya denganku, jungkir-balik juga mengerjakan riset. Hanya demi harga diri, mereka pura-pura tidak ada masalah berat dengan riset dan hidup mereka benar-benar berjalan dengan mulus. Jika aku telaah lebih jauh, ternyata banyak juga orang yang mengalami kesulitan non-riset yang kadang menghambat kerjaan riset. Jika riset ok, sering ada masalah lain di luar riset yang akan menghambat pekerjaan. Jika masalah keluarga etc oke, malah sering riset bermasalah. Intinya, Allah selalu Maha Adil memberikan tantangan kepada kita tiap manusia. Tidak ada orang yang tak luput dari kesulitan maupun kesenangan hidup. Jadi jangan terlalu menganggap diri kita manusia termalang di dunia, karena belum tentu hanya kita seorang yang mengalaminya.

Kalau awalnya aku sering berkomentar A, B, C isu yang menyebabkan risetku tidak lancar, kali ini aku berusaha tidak menyalahkan apa-apa. Itu semua kesalahan diriku, dan mungkin Allah memberiku jalan berliku sedemikian rupa agar aku berubah menjadi seseorang yang lebih baik di dunia dan akhirat. Jika seseorang terlihat begitu mudah mendapatkan ini-itu, dengan cepat aku bersyukur, bahwa jalan yang Allah berikan ini adalah jalan terbaik bagiku. Soal orang-orang yang sepertinya selalu mendapat kemudahan, itu terpulang pada Allah, mungkin mereka memang orang-orang baik, atau ada sesuatu yang tidak kita ketahui sehingga kita malah bersangka seperti itu pada mereka.

Anyway, tetap berusaha dan tawakal serta ridho dan bersyukur kepada Allah.

Perth,
Dari teman yang mengingatkanku agar tidak letih berjuang. Simak 'Apa maknanya berjuang'.

Tuesday, September 14, 2010

Makan karena emosi


Kadang-kadang saat sedih atau sedang berpikir keras aku membutuhkan ‘sesuatu’ untuk dikunyah. Mulutku mengunyah makanan itu, tapi aku tidak menikmatinya. Setelah makan, bukannya kenyang, aku malah merasa bersalah. Aku tidak begitu lapar, perutku tidak minta makan, tapi pikiranku bilang kalau makan sesuatu: I might feel better... apakah aku sedang jadi emotional eater?

Orang-orang yang mengaku makan karena emosi, biasanya memiliki masalah berat badan, depresi, bosan, kesepian atau tidak mampu menghadapi persoalan di tempat kerja. Jika timbangan masih dalam batas normal, tentu tidak mengapa. Tetapi jika timbangan naik beruntun, keluhan demi keluhan keluar seperti sering pusing, tidak enak badan, perut mendadak kembung, maka kita harus mulai berhati-hati. Alangkah baiknya jika kita bisa mendeteksi apakah kita makan sesuatu karena emosi saja atau memang betul-betul lapar.

Ciri-ciri lapar karena emosi vs lapar biasa adalah sebagai berikut.

a) Lapar karena emosi datangnya selalu tiba-tiba sedangkan lapar biasa datangnya secara bertahap.

b) Kita yang makan karena emosi cenderung memilih makanan tertentu, seperti makanan manis, asin, berlemak atau paling sering: mie instant. Sedangkan kalau mengalami lapar biasa kita tidak akan terlalu memilih-milih makanan tertentu, yang penting bisa kenyang.

c) Lapar secara emosi membuat kita merasa bersalah setelah menyantap makanan, sedangkan lapar biasa tidak menyebabkan perasaan bersalah.

d) Saat lapar secara emosi, kita cenderung makan tanpa berpikir, mulut kita mengunyah, tapi kita tidak merasa kenikmatan makanan. Sedangkan pada lapar biasa, kita menyadari apa yang kita makan dan kita memang menikmati rasa atau aromanya.

e) Kadang lapar secara emosi membuat kita tidak berhenti makan saat sudah kekenyangan, berbeda dengan lapar biasa yang tidak ingin menambah apapun karena sudah kenyang.

Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka seseorang yang makan karena emosi sebenarnya bertujuan ingin membuat perasaannya lebih nyaman dengan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Mereka mungkin orang-orang yang tidak bahagia, terlalu memikirkan orang lain selain dari dirinya sendiri, dan berpikir bahwa dengan makan, maka masalah mereka dapat diselesaikan. Makan menjadi sumber kekuatan di saat mereka tengah merasa tidak enak hati.

Untuk menghindari jadi emotional eater, maka kita perlu mencoba langkah-langkah seperti ini.

a) Jika ingin sekali makan sesuatu makanan tertentu, tunggu sekitar 20 menit. Saat menunggu, coba lakukan pekerjaan lain, misalnya menelpon, mengetik, melihat pemandangan atau berjalan kaki. Jika setelah beberapa saat kita tidak merasa lapar atau kepingin makanan itu lagi, berarti kita tadi mengalami lapar secara emosi.

b) Coba ingat-ingat, masalah apa yang selalu membuat kita ingin makan makanan yang membuat kita nyaman. Misalnya jika aku harus bertemu seseorang yang tidak kusukai, maka untuk menghilangkan rasa panik atau grogi, aku sering jajan di kantin untuk membeli sepotong ayam goreng atau seporsi kentang goreng. Padahal aku tidak perlu jajan sebenarnya, cuman untuk menghilangkan rasa panik tadi, aku pikir seporsi wedges bisa membantuku.

c) Coba miliki jadwal makan yang rutin (pagi pukul 6, siang pukul 12, malam pukul 6), masak makanan kesukaan kita, bawa cemilan sehat seperti sereal atau buah, serta makan tepat waktu.

Perth,
Source: Body & Soul STM, March 2009
Stop craving peanut slabs!

Friday, September 10, 2010

Ketika aku... mulai mencoba memahami ‘tetangga’


Ingat curhatku tentang ‘tetangga’ yang suka mengeluh, ga? Baru-baru ini aku sudah mulai berdamai dengan ‘gangguan’ yang kuterima darinya. Awalnya kupikir mungkin dia bersikap demikian karena aku begitu cuek. Memang kuakui diriku bukanlah pribadi ‘peramah’, tetapi lebih menjurus pada ‘pemarah’. Setelah bosan mencari jalan keluar, kupikir apa salahnya aku ‘drawing a longer line’, atau apalah salahnya aku sedikit berempati atau menunjukkan bahwa diriku ini punya ‘compassion’ juga dan mau mengerti kesusahannya.

Mulailah aku menanggapi dengan ringan cerita-cerita curhatnya yang sering kuanggap menjatuhkan semangat diriku. Mayoritas topiknya memang selalu tentang keresahan yang kadang menurutku tidak terlalu serius. Tetapi setelah mengkaji dan mulai memahami posisinya, aku belajar merespon dengan lebih sabar serta ceria tiap keluhannya. Sudah saatnya hobi ‘coaching’ku dipraktekkan, walaupun kutau ia beberapa tahun lebih senior dari diriku. Siapa tau kami mungkin sebenarnya saling membutuhkan, yaitu, ia membutuhkan pendengar sedang aku membutuhkan curhatnya untuk didengarkan.

Kemudian aku mencoba melihat sisi positif keluhannya soal riset dan supervisornya. Lambat-laun aku menyadari, bahwa sebenarnya tiap keluhannya dalam riset mengandung banyak makna untukku selama ini. Tak kusadari, setelah bertahun-tahun nenangga, ternyata keresahannya telah menular ke diriku sehingga mau tak mau aku jadi ikut ‘bergerak’ lebih cepat dalam pekerjaan risetku. Jika tidak, di akhir masa studi bukan tidak mungkin aku merasa proses PhD ini lebih sukar, karena tidak ada benchmark. Intinya, aku benchmarking dengan temanku tadi, sehingga aku berusaha meningkatkan level pekerjaanku, berusaha sama kerasnya dengan dia agar pekerjaanku layak untuk sekaliber tesis PhD. Walaupun aku sering harus mengingatkan diriku bahwa sesuatu itu ada juga batasnya dan harus mendengar kata supervisorku yang punya banyak PhD student juga.

Subhanallah, jadi moralnya, aku diberi Allah teman seperti dia selama ini bukan untuk menyusahkanku, tetapi ternyata membantuku supaya berusaha lebih keras dalam studi. Tak kusangka, Allah membantuku lewat orang seperti dia. Jika kupikir dulu aku mau jauh-jauh dari dia, ternyata, tak disangka, malah dia-lah yang paling banyak membantuku selama ini.

Hmm, akhirnya aku bisa menyikapi dengan bijaksana dan mensyukuri karunia Allah yang satu ini... Alhamdulillah, ya Allah...

Monday, September 6, 2010

Ramadhan di Kampus


Alhamdulillah, tahun ini aku bertekad menyisihkan waktu untuk fokus pada Ramadhan. Aku ingin menikmati Ramadhan di Kampus ala Curtin University.


Tidak seperti tahun-tahun lalu, tahun ini bangunan temporer mushalla kampus mendapat beberapa tenda tambahan. Beberapa hari sebelum Ramadhan, beberapa tenda sudah dipasang di sekitar mushalla untuk menampung jamaah, tempat berbuka puasa dan meletakkan barang-barang. Alhamdulillah, semua bersyukur, karena mushalla itu kekecilan bagi jamaah yang banyak terutama di malam-malam awal bulan Ramadhan. Rupanya tenda besar itu dipakai oleh jamaah lelaki, sedangkan jamaah wanita bisa menggunakan seluruh ruangan mushalla. Syukurlah, karena sekarang kami tidak perlu shalat berdesak-desakan lagi di dekat kotak buah-buahan, jus-jus buah, logistik berbuka di bagian belakang mushalla yang kecil itu.

Setiap hari disediakan makanan untuk berbuka, baik ta'jil maupun makanan biasa lengkap dengan lauk-pauknya. Aku kurang mengetahui siapa donatur makanan tersebut, karena selalu disediakan dalam jumlah besar yang cukup untuk jamaah sampai banyak makanan tersisa yang dapat dibawa oleh para jamaah pulang. Siapapun diundang untuk berbuka dan makan bersama di sana. Kita boleh membawa makanan yang kita masak sekedar berbagi dengan teman-teman jamaah. Mereka bergotong-royong memotong buah, menyiapkan makanan, mungkin sampai memasaknya. Para lelaki itu kemudian mencuci peralatan masak besar-besar sebelum shalat Isya dimulai. Sayangnya aku belum pernah datang untuk berbuka di sana, karena alasan pribadi.

Shalat Isya selalu dipadati jamaah baik lelaki dan perempuan. Shalat tarawih dimulai 15 menit setelah shalat Isya, tanpa ada siraman rohani atau ceramah. Shalat tarawih dilaksanakan per dua rakaat, hingga 20 rakaat. Biasanya setelah 8 rakaat, para jamaah berangsur pulang. Tinggal beberapa orang yang tetap antusias mengikuti shalat hingga rakaat terakhir. Imam yang memimpin shalat jamaah ini adalah seorang hafiz mumpuni, karena dari cara beliau membacakan surat-surat dari Al Quran, terasa benar penghayatan beliau. Tiap malam, Insya Allah mereka membacakan satu juz Al Quran untuk total kedua puluh rakaat tersebut. Insya Allah tadi malam mereka telah sampai pada juz 29, mudah-mudahan malam ini mereka sudah dapat memulai juz ke 30. Kurasakan begitu efisiennya shalat tarawih di sini, sehingga tak terasa dalam 1.5 jam kita bisa menyelesaikan kedua puluh rakaat tersebut. Pada sepuluh malam terakhir ini, seperti masjid-masjid lain yang mengadakan i'tikaf, mushalla juga mengajak jamaah datang shalat malam pada pukul 3.45am hingga sebelum waktu sahur. Subhanallah.

Walaupun sering tak sempat bertegur sapa lama-lama dengan jamaah lain, Insya Allah kami saling bertukar senyum karena pernah bersama-sama dalam satu shaf. Beberapa orang sister yang menjadi volunteer siap mengantarkan jamaah wanita pulang jika mereka sudah kemalaman naik transportasi umum. Para sister itu bertugas mengatur jamaah saat berbuka dan membersihkan peralatan makan serta mushalla setelah acara berbuka selesai. Beberapa orang berasal dari India, Arab Saudi, Turki, dstnya, yang tak begitu aku kenal, karena aku sendiri jarang membuka mulut jika sudah sampai di mushalla. Beberapa teman dari Malaysia dan Indonesia sering menjadi jamaah tetap di sana sehingga aku mulai terbiasa melihat mereka datang.

Insya Allah, mudah-mudahan kita selalu dapat menegakkan semangat Ramadhan, jika kita diijinkan Allah bertemu lagi dengan bulan suci ini tahun depan. Amin.

Perth,
Oh, sejuknya hati di bulan Ramadhan kali ini.

Thursday, September 2, 2010

Workshop ‘Return Home’, sebuah cara mengatasi masa-masa transisi budaya



Bismillahirrahmanirrahim, hari pertama di bulan September, AusAID mengundang para penerima beasiswanya untuk mengikuti workshop yang paling ditunggu-tunggu kami semua. Workshop yang difasilitasi Dr Anna Alderson, awalnya diadakan oleh Dr Chris Hogan dari HRD Dept, seorang konsultan pendidikan.

Begitu masuk kelas, kami disambut ramah oleh Anna, yang mengucapkan terima kasih karena telah menyempatkan diri untuk datang walaupun sedang sibuk sekali. Bagiku pribadi, tiap workshop yang diadakan AusAID sebagai penyandang dana harus selalu diikuti, karena pasti sudah dirancang sebaik-baiknya bagi tiap penerima beasiswa untuk memperlancar masa transisi di luar negeri. Kalau diingat, Anna dulu pernah menjadi fasilitator kami di wokshop ‘Culture Shock’, saat pertama kali menginjakkan bumi Australia. Berkat workshop semacam itu, aku lebih cepat beradaptasi dan kemungkinan untuk mengalami ‘culture shock’ kedua kali sangat minim.

Workshop semacam ini lebih sering menginginkan partisipasi aktif peserta. Kami selalu diberikan ‘butcher paper’, atau kertas poster tipis lengkap dengan bermacam-macam spidol dan pensil berwarna untuk menggambar ide hasil diskusi. Untuk tiap kasus, peserta akan berdiskusi dengan kelompok terlebih dahulu, sebelum menuangkan hasil diskusi dalam bentuk diagram maupun mind map yang menarik. Kemudian peserta diundang untuk mempresentasikan hasil diskusi, tiap kelompok yang memiliki ide lain atau berbeda, akan menambahkan ide-ide yang sama dari penyaji. Dengan demikian, semua akan saling membandingkan, mengambil poin yang dirasa sesuai, tidak merasa benar sendiri karena tiap orang datang dari tempat berbeda dan seharusnya saling melengkapi hasil diskusi. Anna akan memberikan kesimpulan atau ‘take home message’ dengan menarik dan mudah diingat.

Beberapa hal yang bisa kuringkas dari workshop tersebut adalah:
a) Ada tipe-tipe cara merespon ‘return culture shock’, yaitu:
a. Proactive returnees = accept return and try to benefit from it
b. Alienated returnees = refuse to accept return
c. Resocialised returnees = accept it, but just ‘put up’ with return
d. Returnees who feel guilty = suffer mild to long term depression
e. Leaving returnees = work to leave your own country as soon as possible

b) Menurut pemahamanku, jika awalnya kita tidak mengalami ‘culture shock’, maka kita tidak akan mengalami ‘return culture shock’. Saat bertransisi tinggal pertama kali di negeri orang, jika kita tidak berusaha melupakan budaya, tetap menjaga kepribadian kita yang baik-baik, lebih menerima kalau semua ini bersifat sementara dan masa tinggal di negeri orang adalah sebuah ‘undangan’ dari Allah untuk meningkatkan kualitas dan keimanan kita, maka kita tidak perlu kuatir dengan transisi saat kepulangan nanti. Bersikap lebih fleksibel atau ‘resilient’ dalam menerima sebuah perubahan, akan membantu kita menghadapi masa-masa sulit transisi hidup kita.

c) Ada sebuah diagram berbentuk huruf W, bertajuk ‘The hero/heroines journey and studying overseas’ yang kuperoleh dari workshop, tetapi tampaknya tidak bisa kuberikan karena masalah copyright. Bentuknya seperti gambar ilustrasi tulisan ini. Intinya diagram tersebut menggambarkan proses naik-turun dalam perjalanan kita bersekolah di luar negeri. Tiap perubahan posisi titik, menggambarkan tahap-tahap apa yang normal kita alami. Seperti seorang hero/heroine dalam film petualangan, kita akan menghadapi masa-masa bahagia dan penuh kesulitan saat melaksanakan sebuah petualangan. Jika kita mengetahui lebih dahulu secara kasar apa yang biasanya dialami orang lain, maka kita selain dapat mengantisipasinya, kita juga tidak putus asa karena orang lain mengalami hal serupa. Berhubung aku dalam tahap V yang pertama, agak naik ke puncaknya, maka aku berusaha untuk mengantisipasi bagian V kedua dari huruf W, yaitu masa transisi kepulangan nanti. Jika berminat, just let me know, ok, nanti aku scan-kan.

d) Menjadi ‘cultural translator = penerjemah budaya’ dan ‘international person = manusia internasional’ adalah peran-peran berikut yang bisa kita lakukan. Pernah tinggal di luar negeri, memiliki kepedulian terhadap budaya kita sendiri, memahami perbedaan tiap budaya, kemampuan untuk berempati dengan orang dari budaya berbeda, punya beberapa persahabatan jangka panjang dengan beberapa orang dari budaya berbeda, ingin selalu belajar, anggota salah satu organisasi internasional adalah hal-hal yang harus dimiliki seseorang berjiwa internasional dan penerjemah budaya. Penerjemah budaya, bertugas mengamati perbedaan budaya dan membantu orang lain untuk memahami satu sama lain dengan lebih baik. Sedangkan manusia internasional, harus pernah tinggal, belajar dan bekerja di luar negeri, memiliki cara untuk menjaga dan memanfaatkan pengalaman internasional dalam kehidupan dan masyarakat sekitarnya.

e) Di akhir workshop, kita diajak untuk membuat perencanaan masa depan setelah kita pulang kembali. Untuk hal ini, aku sudah membuatnya di tahun pertama mulai riset dahulu. Mungkin aku harus revisi kembali, karena terlalu ‘unachievable’. Sungguh menarik, karena ada seorang peserta yang begitu ‘strict’ menata jalan hidupnya, persis dengan pengalamanku lima tahun lalu. Setelah 3.5 tahun menempuh perjalanan ‘heroik’ ku di Australia, aku, Insya Allah telah berusaha menjadi seseorang yang lebih rileks dan fleksibel. Aku telah melihat dan menghadapi beberapa orang yang sangat ambisius terhadap karir dan memiliki keinginan muluk, seperti ‘terkenal dengan menjadi satu-satunya peneliti di bidang XYZ, atau dikenal dunia sebagai penemu/pencipta alat XYZ, etc’. Saat itulah, aku merasa bahwa sebaiknya 'kesuksesan itu bukan dicari, tetapi mengikuti'. Kuyakin begitu pulang nanti, hal pertama yang kuinginkan adalah berlibur, menata hati dan diri, baru bersiap mengambil langkah kecil pertama untuk kembali berkarir. Bukan ‘alon-alon asal kelakon’, tetapi sesuatu yang kusukai, konsisten dan prosesnya lebih kunikmati.

f) Beberapa kiat yang kita diskusikan sebagai panduan untuk teman-teman yang akan pulang kembali:
a. Sebaiknya kita menjalin hubungan kembali dengan teman, keluarga, kolega untuk mengetahui situasi terkini
b. Belajar lebih fleksibel menerima keadaan karena bukan hanya kita saja yang berubah
c. Jika ingin membuat suatu perubahan maka kita perlu trik, seperti tidak tergesa-gesa, lakukan hal-hal kecil dengan konsisten, serta memiliki sekelompok orang yang mendukung kita atau mau bekerjasama mendukung ide kita
d. Jangan putus asa jika maksud tak sampai, tetap berusaha dan lakukan dengan cara yang lain, hingga kita diterima
e. Banyak berbagi pengalaman dan pemahaman baik selama di luar negeri dengan lebih arif dan menghormati budaya lokal
f. Lebih proaktif dan tidak melulu reaktif dengan keadaan yang kita temui di rumah atau tempat kerja.

Di akhir workshop selain sibuk berfoto, kami juga sibuk saling bertukar alamat dengan teman-teman dari negara lain.
Setelah itu, berakhirlah sebuah workshop pengantar masa transisi yang Insya Allah akan membantu kami semua dalam masa transisi ke depan. Selama beberapa bulan ke depan, Insya Allah, adalah saat-saat untuk ‘wrap up’ dan setelah itu, Insya Allah berakhirlah babak perjalanan heroikku, mudah-mudahan barokah, ya Allah.

Perth,
Sekedar berbagi... Insya Allah bermanfaat.