Monday, June 16, 2014

Makanan halal saat di Jepang

Dalam perjalanan ke luar negeri kali ini kami putuskan untuk tidak membawa travel cooker kesayangan. Konon, di Jepang tidak sulit menemukan onigiri dan sushi dengan isian seafood yang halal dan tidak mahal!

Hampir seperti biasa, aku dan hubby selalu berpikir kami adalah postgrad student dan koperpacker. Berkat mind set demikian, setiap perjalanan ke luar negeri bisa dilakukan dengan dana minim tanpa komplain. Tinggal di hotel khusus untuk anak-anak muda (di atas level hostel) yang tidak cocok untuk keluarga, makan di tempat-tempat keramaian atau cukup beli di 7/11, jalan-jalan muter seharian pakai kaki naik-turun kendaraan umum, sampai nyasar tidak karuan di beberapa suburb atau district~ selalu bisa diterima dengan lapang dada.


Persoalannya, fast food di Jepang banyak, tetapi kehalalannya tidak dijamin untuk muslim. Jadilah, sehari-hari kami makan onigiri, nasi kepal sebesar kepalan tinju orang dewasa dengan beraneka macam isian. Tetapi sayangnya, tidak ada keterangan berbahasa Inggris. Apalagi kalau gambarnya seperti ini, apakah itu onigiri halal sudah jelas tidak ada labelnya. Jadi mesti tanya-tanya dulu supaya yakin. Soalnya hubby pernah tidak yakin dengan isiannya yang terasa berserat dan agak aneh, so onigiri sekantung tanpa pikir panjang disumbangkan hubby kepada gelandangan di dekat stasiun Akihabara. Ternyata setelah kami agak pintar membaca kanji (abis sudah sering beli), barulah kami sadar yang disumbangkan itu onigiri isi udang! Gimana sih, hubby ga bisa bedain udang ma ayam!

Berhubung orang Jepang agak susah bicara bahasa Inggris, sebelum membayar aku harus tanya-tanya dulu seperti ini kepada pelayan/kasir:
"is it chicken? is it meat" --- kadang yang jawab ngangguk, tapi ngecek lagi, terus angguk lagi.
"is it meat" --- yang jawab menggeleng, "no meat"
besoknya, nanyanya gini, "no meat?" --- yang ditanya mengangguk. Beres, berarti bisa dimakan. 
Yang lebih asyik lagi, sebelum menjawab si pelayan menggambar bentuk segitiga onigiri, lalu diberi bulatan yang diarsir di tengahnya, kemudian mengajakku ke bagian pendingin lain sambil menunjukkan sketsa itu dan sekotak udang/salmon. Oo, maksudnya isinya salmon/udang!

Lama-lama karena suka beli di 7/11, aku foto saja onigiri rasa salmon, rasa rumput laut, rasa udang dan rasa kepiting pakai ipod. Setelah itu, mau beli onigiri tidak pernah tanya-tanya lagi, tinggal mencocokkan bentuk kanjinya saja.

Sewaktu di Sapporo, teman kita pak FH membawa kami makan malam di restoran sushi otentik JR Tower. Antrinya hampir satu jam, tetapi diakui suasana dan makanannya well worth the effort! Konon lama, karena kami ingin duduk bareng di satu meja bersama-sama ketimbang duduk di depan sushi bar. 

Tetapi penantian itu tidak sia-sia, karena setelah duduk makan sushi salmon, sup kepiting, makan calamari, makan aneka sushi lagi, minum teh hijau, sambil ngobrol tentang kehidupan di Sapporo, hidup rasanya cerah seketika. Aku akui kuliner Jepang memang berbeda!

Ternyata di Jepang bisa ditemukan juga makanan khas Timur Tengah, seperti kebab dan kari. Cerita ketemu kebab seharga 500 Yen (cukup mahal: Rp 50000 seporsi) ini agak dramatis. Singkat cerita, kami tiba-tiba terdampar di sebuah pasar dekat stasiun kereta Ueno Park, Tokyo. Di pasar ala tenda tersebut banyak orang menjual aneka barang-barang baik branded maupun non-branded. Sedang asyik jalan, aku bertemu mahasiswi Malaysia yang sepertinya sedang shopping. Setelah tanya-tanya, mereka menunjukkan gerai tempat barang yang ingin kami beli serta mengatakan kalau kebab di warung depan halal untuk dimakan. Mendengar kebab halal, terbayang kebab di Harbour Town, Perth (Rp 99000 sebuah). Apalagi setelah capek-capek nyasar begini, pasti tidak mengecewakan. Meski rasanya tidak semantap kebab di Perth, aku cukup menikmati pengalaman baru makan kebab yang dijual orang Turki jago bahasa Jepang! 

Turkish kebab, menjamur di Tokyo

Aku juga excited soal kari di Jepang. Rasanya mirip kari India/Pakistan. Soal ketemu makanan halal di kantin Hokkaido University memang bukan khayalanku saja. Ternyata kantin dekat Ono Pond memiliki bagian halal yang khusus menjual kari ayam. Rupanya gerai halal demikian tengah menjamur di beberapa kantin universitas di Jepang. Tujuannya untuk memudahkan para pelajar muslim mendapatkan makanan. Satu porsi makanan seperti ini harganya 420 Yen, dan kocaknya ada tiga tipe: S, M, XL. Maksudnya? Tipe S, M, XL menunjukkan jumlah nasi/karbohidrat yang diberikan kepada kita. Isi karinya sih sama aja, tetap 3 sendok. Tapi porsinya emang generous banget, sampe kekenyangan sendiri kalau ambil nasi porsi XL!

Sekarang tidak sulit lagi mendapatkan informasi restoran halal di Jepang. Sejak tahun lalu pemerintah Jepang mulai proaktif mendorong gerai-gerai halal dan delivery makanan halal untuk meningkatkan minat kunjungan turis muslim. Informasinya bisa dilihat pada link 'For Muslim Visitor' berikut. 

Kuakui, banyak turis muslim puas dengan kemudahan mendapatkan makanan halal. Bikin jalan-jalan saat berlibur di Jepang semakin seru, tanpa harus mikir mau makan indomie setiap hari! 



Pekanbaru,
oishi!

Thursday, June 12, 2014

Mengunjungi Otaru

Post ini adalah bagian dari perjalanan di Jepang yang kami lakukan September 2013 lalu.

Berhubung aku dan hubby tiba lebih awal satu hari di Sapporo, Hokkaido, kami ingin melakukan perjalanan ke tempat wisata yang tidak jauh dari kota besar Sapporo. Kami mengunjungi Otaru, sebuah kota kecil di barat daya Sapporo yang terkenal dengan kanalnya. Cerita tentang Otaru Canal secara singkat sudah kutulis di sini.

Pagi-pagi aku dan hubby sudah berangkat berjalan kaki menuju Sapporo Train Station. Stasiunnya tidak jauh dari rumah pak FH, tempat kami menginap sementara di Sapporo, sehingga berjalan kakipun masih tetap nyaman. Apalagi di tepi-tepi trotoar bunga-bunga musim panas banyak bertebaran mempercantik pemandangan.

Bunga-bunga musim panas di Sapporo
Kami ke kantor informasi turis untuk mendapatkan rute paling murah. Ternyata naik bus masih jauh lebih murah daripada naik kereta api. Stasiun bus terletak di samping stasiun kereta api, jadi masih bisa mengejar bus waktu tertentu. Tentu saja kami berdua ingin naik bus meski agak was-was apakah petunjuk tulisan pakai kanji, bayarnya di mana dan berapa farenya, atau supirnya tidak tahu bahasa Inggris samasekali! Sayang sekali dugaan kami salah. Petunjuk di stasiun sangat jelas dan hubby dengan cepat bisa mengetahui bus mana yang harus kami pilih. Tugasku hanya mengatakan ingin turun di dekat Otaru Canal dalam bahasa Inggris, lalu duduk manis di bus tanpa perlu memusingkan farenya terlebih dahulu. Ongkosnya dibayar pada saat akan turun bus. Mengapa? Karena ada alat penunjuk fare vs nama stasiun berikut:
Alat ini benar-benar praktis. Kalau kita naik dari stasiun 1, begitu turun di Otaru (misalnya stasiun 6), maka farenya akan terbaca, misalnya 590 yen.
Dua orang yang masih excited ini, berusaha menikmati pemandangan sebaik-baiknya. Apalagi aku yang suka tanaman, pohon, bunga, sangat menikmati sekali aneka tanaman negara empat musim dengan salju tebal di musim dingin ini. Paling banyak pohon Ginkgo Biloba, pohon maple dan bunga-bunga musim semi. Ketika melewati hutan di luar kota Sapporo, aku dan hubby langsung bernostalgia tentang pemandangan alam di film-film Voltus atau film-film kartun Jepang masa kecil kami. Semuanya sangat tepat menggambarkan suasana alam di film, termasuk kota di teluk Ishikary ini. Aku tidak bisa membayangkan keadaannya di musim dingin. Pasti penuh salju tebal dan suhu minus.
Ishikari Bay, kota teluk tempat seorang Profesor Beton dari Hokkaido melakukan tes long term perendaman beton di air laut.

Tidak sulit sebenarnya mencari Otaru Canal. Begitu masuk kota Otaru, sudah terdapat papan penunjuk Otaru Canal yang cukup besar. Kami memilih turun satu bus stop sebelum stasiun Otaru berhubung ada jembatan penyeberangan yang langsung mengarah ke Canal. Jalan ke Canal sendiri penuh dengan nuansa khas Jepang. Ada warung makan, rumah, toko, dan trotoar lebar. Kesannya bersih dan asri karena banyak bunga-bunga musim panas yang hanya bisa tumbuh di daerah dingin, misalnya hollylock dan morning glory biru muda!

Otaru kanal bukan satu-satunya atraksi menarik di kota Otaru. Tempat ini terkenal dengan industri kotak musik, pusat perdagangan dan restoran/kafe di bekas gudang penyimpanan barang yang telah direnovasi. Sebenarnya ada banyak museum menarik, tetapi kami hanya sempat mengunjungi Museum Keuangan untuk melihat sejarah perbankan dan keuangan di Jepang. 

Otaru Canal nan asri

Kanal yang terkenal ini telah dikurangi lebarnya dari ukuran semula. Fungsi kanal pada tahun 1920an adalah untuk transportasi batu bara dan produk laut untuk diekspor ke luar negeri. Gudang-gudang di tepi kanal merupakan tempat penyimpanan barang-barang perdagangan. Sejak pelabuhan Otaru dibuka, kanal tersebut tidak digunakan lagi. 

Pemerintah kota memutuskan untuk menutup kanal dan menjadikannya jalan raya, tetapi ditolak oleh masyarakat Otaru karena kanal tersebut merupakan 'heritage landmark', dan sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pemerintah hanya mengurangi lebarnya dan membersihkan kanal sehingga bisa digunakan untuk pariwisata. Turis juga bisa naik gondola atau boat untuk menyusuri kanal sambil menikmati pemandangan kota. 

Sama seperti turis lain, kami berdua sibuk memotret, berjalan kaki menyusuri bagian depan dan belakang kanal. Bagi turis yang malas berjalan kaki keliling, ada persewaan rickshaw ditarik oleh manusia. Para penarik rickshaw tersebut mengenakan tarif lumayan untuk waktu tertentu. Sedangkan kami berdua memutuskan untuk berjalan kaki saja karena tiap tempat jaraknya tidak terlalu jauh. Kami melihat museum music box dari jauh, memperhatikan warung makan sushi tanpa berani mencicipi (takut tidak halal), lalu mencari toilet dekat toko milik Japan Post. Ternyata toko itu menjual aneka souvenir seperti music box hasil karya perajin di Otaru. Cantik-cantik bentuk kotaknya, dan lagu-lagunya juga bagus-bagus. Agak aneh juga karena orang Jepang sepertinya suka sekali dengan musik sederhana dari music box.

Jenis-jenis music box yang dijual. Kecil-kecil tapi lucu dan harganya lumayan juga.

Oh well, setelah beberapa jam melihat tempat lain seperti museum perbankan dan rel kereta api historis, serta berbelanja buah-buahan musim panas seperti aprikot, kami berdua memutuskan untuk pulang ke Sapporo. Kali ini kami melewati jalan berbeda dari tempat kami datang dan langsung menuju stasiun bus Otaru. 

We do love our visit in Otaru:)

Pekanbaru,

Sunday, June 8, 2014

My meaningful friendship

I would say, in my life, I just have a few meaningful 'friendships'. I learned with time, high quality friends are the people who make me feel comfortable as myself!

A high quality friendship has some characteristics, such as mutual, supportive, acceptance, dependable, etc.  I consider 'mutual' is one quality of a good friendship. It means, we don't mind sharing thoughts, ideas, time and sometimes possessions.

I also think, 'supportive' is important. With my good friends we support each other plans and achievements. None of us have felt threatened or depressed with one's achievement, or in reverse, pleased with another desperation. We also remind ourselves to stay honest, accountable and humble in every way.
I share this kind of understanding only with a few people in my life. I know they'll be always have my friendship and we'll always be supporting each other. This is also a type of friendship that I have with my dear hubby.



I think the most important thing about a meaningful friendship, is the way you feel about yourself when you're with your friend. If you don't feel comfortable about the situation or feel awkward about things you have said, then, it is not a meaningful friendship. It is not meaningful because you don't feel appreciated or accepted.

A meaningful friendship is also let you flourish and make you become a good person in the long term. When it feels that you slightly change into a weird/bad personality after having a friendship with someone, then you must keep distance with such a person. The person might be not a good influence for you and your reputation. The friendship itself is not worthed to be kept. However, sometimes we just let ourselves to keep this type of friendship because we just want an approval from our friend. But, why is this important to get an approval from someone, when we unconsciously sacrifice our own moral standard?

I learned a lot about this type of friendships from some friends in my life. I did have a meaningful friendship but I have a lot more not meaningful one. Furthermore, I didn't regret my friendships with them, but I think it is the way life has taught me a good lesson: "good friends will let you flourish and be yourself around them".

Pekanbaru,

Wednesday, June 4, 2014

This is not just simply a 'routine'

It is a good post to start a week! (I wrote this post on Mon 2 Jun 2014). Despite I don't like the idea of something calling 'a routine' that much, I've just realized lately that this activity is actually determine the whole story in our life.

Perhaps, an insect also has a daily routine of strolling around the terminal bud?

There are many temptations that can deviate people from reaching their primary goals. We just follow our instinct to respond to unrelated tasks with current task in our hand. Without realizing that the transition time to return to our initial focus is around 20 minutes per task, we could simply wasting much time while we are switching our attention between tasks. Eventually, we might be prone to ADD (Attention Deficit Disorder), a type of syndrome of difficulty to concentrate, focus, pay attention to something. It is also including hyperactivity and impulsivity that could impair our daily life. You could check whether you have the ADD syndrome by taking this simple and quick quiz (http://psychcentral.com/addquiz.htm).

A routine is a sequence of actions regularly followed (or a procedure/program/method/schedule)~ according to my Mac's dictionary.

The routine is affecting the way we accomplish our activities in a day. If we set a routine for a day, we just need to follow the program and finish things accordingly to our schedule. We do it regularly without thinking and just do it unconsciously like we always do the activity for a long time. This is beneficial when we try to tackle a difficult and long term assignment like working on research/thesis or learning a language. 

To establish a routine at the beginning is a difficult task. We must practice not to miss any step and stick to our plan devotedly. We could only establish a rigid routine after 21 days. This is where our brain has been training ourselves to work repeteadly without considering any distractions. After sometimes, we just could follow the routine without hesitation or avoidance. Like a routine of praying five times a day for a moslem, you just simply follow the adzhan and pray.

It is important for me to develop a routine to achieve my own goals at work. I used to apply this technique when I have a very important goal to achieve. I just wan to do my 'homework' well, and it should be in advance. A few months before the 'D Day' or deadlines for this very important task, I create such a schedule/routine by using two to three hours block of time to dedicate myself  to the task. It could be two hours in the morning or in the evening, but it must be carry out on daily basis. By taking this repetitive schedule, I move towards my goals gradually without feeling under pressure during the process. The chances to get a good mark is enormous with great and memorable feelings. This is normally more satisfying than rushing on it before the deadline. 

Successful people have created their own routine everyday. Perhaps, you could learn from them, too. Just check some of daily habit of famous artists or writers in this book: http://www.goodreads.com/book/show/15799151-daily-rituals

By creating your own routine,  you make the problem is easier to handle, controllable and very doable in the long run. This is a great importance for your study or career in the long term and an important way to prevent the ADD symptom.

Pekanbaru,

Jangan membandingkan, tiap hal ada 'kecantikan'nya masing-masing

Aku agak kesal mendengar sebuah pernyataan dari sepasang seleb yang baru pulang berlibur dari luar negeri. 

"Cantik sih, tempatnya, tapi cantikan Bali..." tutur si seleb wanita dengan pandangan tak acuh pada wartawan yang mengelilinginya. Si pasangan mengangguk-angguk mendengar kesan si wanita soal tempat libur terbaru mereka.

"Menurutku sih, tetep bagusan Bali..." ulang si wanita itu lagi, membuatku ter-hadewhh, sambil mematikan televisi. 

Kalau Bali emang lebih cantik, kenapa tidak berlibur ke sana aja, sih? protesku dalam hati. Kenapa harus pakai ke luar negeri segala, terus bilang, cantikan Bali... e-elee... *ngomel ala Ustadz Kazim*


View laut seperti ini biasa saja sih dibanding Bali *mungkin ada yang komen begitu*. Lah tidak ada pantainya...

Apa yang dikatakan si seleb itu persis dengan kata-kata beberapa teman sehabis berlibur ke suatu tempat di luar negeri. 

Entah kenapa aku suka kesal mendengar ungkapan tidak jelas mereka. Begini nih komentar narsistik mereka:
"masih cantikan Sumbar, ya" *menurut seorang kawan yang baru saja mengunjungi Haast, New Zealand*, 
atau 
"masih bagusan Sea World Jakarta" *komentar teman residen di Jakarta yang baru pertama kali ke Aquarium di Perth Boat Harbour*, 
bahkan ada yang bilang... 
"lebih kerenan danau Singkarak-lah *komentar teman lain yang pernah mengunjungi Lake District, UK*.

Semuanya kok jadi membandingkan dengan kondisi di Indonesia, kalau sudah melihat keadaan di luar dengan mata kepala sendiri? Tetapi, masa tidak bisa mengungkapkan kecintaan kita pada Indonesia dengan lebih elegan tanpa membanding-bandingkan Bali dengan Paris, misalnya?

Mengapa kita jadi mendua begini? 

Saat belum bisa ke luar negeri, selalu berkhayal menjelajahi bumi Allah dan ingin melihat pemandangan yang tidak bisa dinikmati di negeri sendiri. Tetapi begitu sudah keluar dan melihat sebentar tanpa meresapinya, tiba-tiba kalau semua tidak seperti ekspektasi, bisa saja mengeluarkan komentar seperti itu. Kalau sudah demikian, mengapa mesti berjalan jauh-jauh ke luar negeri?

Ini tergantung dari sudut pandang mata kita saja, apakah mau melihatnya dengan mata penuh kesyukuran atau mata penuh kedengkian? 

Karena, tiap hal itu sebenarnya punya unsur 'kecantikan'  masing-masing. Hanya kita belum belajar menikmati kecantikan sesuatu dengan mata batin yang cantik pula.

Tanpa perlu mata batin yang cantik, view seperti ini bisa langsung mencantikkan jiwa kita.

Untuk mempercantik mata batin, ya sering-sering bersyukur dengan keadaan kita. Sudah bagus bisa keliling dunia untuk menikmati pengalaman/pemandangan indah yang tidak selalu dapat dilihat setiap hari. Pikirkan di mana letak keindahan tiap tempat dan sebutkan 'Subhanallah' untuk pemandangan menggetarkan jiwa. Jika memang tidak ada cantiknya blas, toh pasti ada hal cantik yang dilihat. Ngaku saja. Sempet memang tidak cantik poll, ya coba dicari 'kecantikan' sesuatu pas di sana. Tinggal ganti kaca mata saja, kan beres!


Senja di Pertanian Omahau. Meski senja juga ada di Indonesia, tetapi melihat semburat oranye matahari senja lewat di pohon-pohon pinus ini, apa tidak romantis kah? *ganti pakai kacamata romantic*
Terus tidak perlu mengeluarkan komentar lebih bagus 'Indonesia' kepada orang lain untuk menghargai kesempatan menikmati sesuatu di luar negeri. Nanti kedengarannya seperti tidak bersyukur, lho, plus 'suka mendua' (dalam hati lain di luar lain).

Well, daripada ngomelin orang yang suka membanding-bandingkan begitu, mendingan sini, aku aja yang berlibur ke luar negeri... hihihi...

Pekanbaru,