Wednesday, June 27, 2012

Oh, those street musicians!


Kastil oranye beratap hijau tua yang kontras dengan langit biru, Fairmont Chateau Frontenac, menjulang megah di hadapan Sungai Saint Lawrence, Quebec City, Canada. Pengunjung hanya bisa duduk ataupun berjalan-jalan di sekeliling kastil besar berlantai kayu tersebut. Siang hari di depan kastil itu terasa semakin indah dengan adanya musik live seorang musisi jalanan yang membawakan lagu-lagu pop romantis Kenny G.

Para musisi jalanan itu, saat mereka berada di saat dan tempat yang tepat memang dapat menjadi nilai tambah bagi landscape dan landmarks. Bak sebuah soundtrack dalam film, suasana di sekitarnya bisa beberapa kali lipat terasa lebih indah dari biasanya. Tetapi, aku kira keindahan semacam itu hanya dapat dinikmati secara subjektif. Jika seseorang memang berjiwa sensitif dan menyukai seni, maka ia dapat meresapi kombinasi musik dan lingkungan tersebut. Rasa tenang, nyaman, menyembuhkan yang dihasilkan secara terus-menerus memang berpengaruh besar pada jiwa. Sehingga rasa kesyukuran dan sikap positif bisa memancar dari diri kita.

Pengalamanku merasakan interaksi antara landscape dan landmarks dengan para musisi jalanan ada di dalam dan luar negeri. Suatu sore di Stasiun Tugu Yogyakarta, aku dan teman-teman sedang makan soto sulung, kami tidak menyadari kehadiran sekelompok musisi jalanan di depan warung. Tetapi, kala mereka memainkan lagu ‘Rindu Ini’ dari Warna dengan sentuhan jazz yang unik, membuat kami terdiam. Selain cocok dengan suasana klasik dengan stasiun Tugu, aku merasa lebih ceria setelah mendengarkan lagu tersebut.

Tidak hanya meningkatkan keceriaan, diriku pernah mellow karena para musisi jalanan. Saat melintasi taman umum di pusat bisnis Manchester, England, tiba-tiba lagu instrumental  ‘Here, There and Everywhere’ dari The Beatles, seorang pemain biola seperti melipat gandakan rasa sedihku.  Pasalnya aku sedang homesick dan baru membuat kesepakatan pelik soal perasaan. Ck ck ck, sampe segitunya ya.

Namun, walau suka mellow, tetapi perasaan nyaman sebenarnya lebih sering ada saat mendengarkan musik di pinggir jalan. Di sebuah lorong kota Manchester, aku kerap berhenti sejenak untuk menikmati ‘Air on the G String’ dari Bach, oleh siswa-siswa sekolah musik. Lagu-lagu semacam itu memang bisa menghangatkan hati saat cuaca sedang mendung, apalagi kalau ditambah segelas vanilla latte. Sip, tenan!

Kadang, para musisi jalanan berhasil menghadirkan suasana super kontras dengan lokasi tempatnya mengamen. Di pusat kota Perth CBD, seorang musisi jalanan bisa memeriahkan suasana dengan pianonya dan lagu-lagu Billy Joel. Orang-orang tak ragu memberikan donasi lebih pada permainan biola klasik dengan lagu-lagu Eropa di tengah kota Sydney. Bahkan, uniknya di balik bangunan klasik University of Canterbury dan kebun raya kota Christchurch, suara bagpipes lebih sering terdengar. Musisi dengan kostum rok tartan lengkap berbaris memainkan lagu-lagu semacam ‘Scotland the Brave’ atau ‘Funeral Song’. Sekarang ini sedang di New Zealand atau Skotlandia?

Ssst, ternyata jiwa romantis bisa juga muncul tanpa diundang, apalagi kalau sedang tidak bersama hubby. Sore itu saat melintasi taman Univ Tongji Shanghai, tiba-tiba indra pendengaran diserbu lagu-lagu melankolis akustik. Musik tersebut memenuhi kampus yang mulai gelap dan sejuk itu. Suasana jadi persis di film-film Korea lagi, karena saat itu sedang musim gugur. Jadi ingin cepat pulang dan memberi hubby sebuah pelukan.

Siang itu setelah mengeliling Chateau Frontenac, aku dan mama berdiri di depan seorang harpist berkulit gelap dan berambut putih yang memainkan harpanya. Ia menggangguk sedikit saat aku memasukkan sejumlah uang di kotak donasi. Sebagai courtesy, ia memainkan ‘Canon D’ (Johan Pachebel).  Wow, that really reminds me to my beloved hubby. Hi babe, who’s still in the Southern Ocean... I send you lots of love from this Northern land.

Pekanbaru,
Our impression on music is really personal.


Sunday, June 24, 2012

Dari Manchester to Paris: Sekilas tentang Channel Tunnel (3)


theeword.co.uk
Terowongan Channel yang membentang dari Folkestone ke Pas-de-Calais, terdiri tiga terowongan dengan panjang 50km. Satu terowongan untuk Eurotunnel, terowongan kedua untuk Eurostar dan yang ketiga untuk Emergency Exit. Channel Tunnel terletak sekitar 250m di bawah laut, dan terkenal sebagai ‘salah satu keajaiban dalam dunia modern’. 

Hal ini tidak mengherankan, karena terowongan ini dibangun dengan mengebor dasar laut berkapur dan pembangunannya sendiri menelan biaya GBP 4650 juta atau setara 700 kali biaya yang dibutuhkan untuk membuat Golden Gate Bridge di San Fransisco, Amerika.  Pembangunannya pun dibagi dua oleh negara Inggris dan Perancis. Keduanya sepakat menggunakan teknologi masing-masing dan bertemu di tengah terowongan.

Berdasarkan kondisi geologi, kapur yang terdapat di dasar laut tersebut sangat menunjang pembuatan terowongan. Kapur yang ditemukan lunak, tetapi kuat, mudah digali dan bisa mendukung konstruksi walaupun tanpa dinding penahan. Kondisi yang 80% lebih dari kapur tersebut membuat kondisi di sekelilingnya ‘anti air’. Selain itu, lapisan kapur tersebut cukup tebal untuk menahan dinding terowongan yang dibuat dari beton pracetak.

un.museum.org
Tadinya aku punya imajinasi bahwa bus kami akan melewati Channel Tunnel seperti memasuki terowongan biasa di daratan. Lewat dinding atau jendela di terowongan, kita bisa melihat ikan-ikan di dasar laut. Begitu masuk ke sana, barulah aku geli sendiri, karena imajinasi itu cocoknya untuk seorang murid TK ketimbang mahasiswa S2. Rupanya Channel Tunnel dibangun jauh di bawah dasar batuan laut yang keras. Bukan seperti di film ‘Tunnel’ dengan pemeran Sylvester Stallone itu!

Well, back to fasilitas yang kuceritakan tadi. Aku melihat beberapa gerbong berwarna tembaga seperti kompartemen khusus di atas rel kereta api. Kabel-kabel listrik berwarna putih tersusun rapi di gerbong. Bus kami berhenti di depan antrian panjang dekat gerbong. Tadinya kupikir para penumpang akan naik gerbong tersebut dan kendaraan dibawa oleh sopir. 

myopera.com
Ternyata, satu demi satu kendaraan di depan kami memasuki gerbong-gerbong warna tembaga tersebut dengan hati-hati. Begitu bus kami mendapatkan giliran untuk masuk, aku takjub melihat suasana di dalam gerbong yang lain dari perkiraan semula. Gerbong tembaga itu benar-benar seperti penjara! Beberapa kendaraan dipisahkan oleh pintu kaca yang otomatis tertutup saat kereta mulai berjalan. Pintu-pintu itu seperti memisahkan gerbong menjadi beberapa bagian demi keselamatan penumpang dan kendaraan di dalamnya. Rupanya kereta ini yang disebut dengan Eurotunnel, yaitu kereta untuk membawa kendaraan dalam gerbong. Eurotunnel dioperasikan selama 24 jam setiap hari.

Saat kereta mulai berjalan, perasaan aneh sempat melandaku. Penumpang tidak dapat melihat apapun di luar gerbong kecuali dinding terowongan yang disinari lampu temaram lewat jendela kecil. Penumpangpun tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak ada tempat untuk duduk di gerbong. Orang-orang turun dari kendaraan mereka hanya untuk berjalan-jalan di dalam gerbong. Selama perjalanan, televisi di tiap gerbong memutar sejarah dan teknik konstruksi Channel Tunnel. Ketika gerbong melewati titik terdalam, sekitar 165m di bawah laut, telingaku terasa kurang nyaman, persis seperti saat terjadi perbedaan tekanan di ketinggian. Tetapi rasa itu cepat berganti, apalagi setelah mengetahui Eurotunnel telah memasuki wilayah Perancis.

Pengalaman masuk Channel Tunnel itu memang patut dikenang. Sebagai seseorang yang mengetahui ilmu Teknik Sipil, maka pengalaman berada di Tunnel legendaris tersebut sangat menyenangkan. Hal itu tentu tidak akan terwujud tanpa sebuah cita-cita besar Albert Mathieu  pada 1802 yang menginginkan prajurit Perancis dapat masuk ke Inggris secara diam-diam lewat terowongan di bawah laut. Ia yang tak pernah mengetahui teknologi pembangunan terowongan yang tepat saat itu, pastilah sangat bersuka cita kalau mengetahui bahwa 150 tahun kemudian impiannya telah tercapai. Tetapi Tunnel di masa depan ini tidak digunakan untuk maksud perang sepihak saja, karena tanpa kerja sama Inggris dan Perancis, maka Tunnel itu tidak akan pernah terwujud.

Pekanbaru,
to be continued to Part 4

Wednesday, June 20, 2012

Dari Manchester to Paris: Our way to Channel Tunnel Folkestone (2)


crippencartoons.co.uk
Day 1, 16 Juni 2000,
It was the D-Day! Pagi-pagi sekali, aku, mbak S, kak T dan kak A, dua teman kami dari Malaysia, siap menunggu bis wisata yang akan membawa kami ke Perancis. Kami menunggu selama 2 jam di sebuah taman dekat kompleks perumahan. Aku sampai bisa mengarang sebuah cerpen saking lamanya menunggu di situ! Ceritanya menggunakan setting rumah khas Inggris dengan pohon rindang di depan rumah. Mawar-mawar putih bergerombol memenuhi halaman. Lewat jendela besar yang mengarah ke jalan, orang bisa melihat betapa rapinya rumah tersebut. Maklum, hanya dihuni oleh dua orang tua… orang tua… zzz…

Sebuah bus besar berwarna hijau tua berhenti di depan kami. Seorang supir tua berpakaian rapi dan mengenakan kaca mata hitam keluar dari bus. Kami langsung menghampirinya sambil menunjukkan tanda terima booking tour. Ia mengangguk, lalu menunjukkan di mana kami bisa meletakkan koper dan tas di tempat barang. Kemudian kami berempat naik ke dalam bus, berharap bisa melanjutkan lamunan atau kantuk yang sedari tadi menyerang.

Tapi sayangnya, tempat duduk terbaik telah diambil semua oleh peserta tour! Kami mendapatkan tempat duduk paling belakang, tanpa kursi yang bisa disetel. Hoaaa… aku sempat shock dan tidak terima lho. Tapi mau bagaimana lagi. Lebih dari 90% populasi bus ini adalah orang-orang tua. Tidak heran kalau kami yang muda ini harus duduk di bangku paling tak nyaman selama 8 -9 jam perjalanan tersebut. Setelah beberapa jam, barulah aku bisa menerima kenyataan dan mulai bisa menyesuaikan diri dengan posisi tidur yang enak di bangku keras itu. Yah, sesuai budgetlah, kan cuman 60GBP!

Rute menuju British Terminal di Folkestone, Kent, dari Manchester melewati Chester Rd, lalu masuk M6 menuju Birmingham. Kami melewati kota-kota seperti Northampton, Dartford, Ashford, untuk sampai di Folkestone. Folkestone merupakan titik awal penyeberangan Channel Tunnel dari sisi Inggris, ke Pas-de-Calais, Calais, daratan Utara Perancis. Sepanjang jalan di daerah Kent tersebut, kami melihat beberapa kastil besar yang lengkap dengan kolam dan kebun indah. Mungkin seperti itu ya, rumah Mr Darcy of Pemberley~ di Jane Austen (wink!). Apalagi saat itu sudah awal musim panas, sehingga pemandangan di antara taman-taman bergaya Inggris tersebut terlihat sangat dramatis.

Setibanya di Folkestone,  aku terkejut karena tidak pernah mengira kalau penyeberangan dengan Channel Tunnel tersebut ditata dengan sangat serius. Pengamanannya sangat ketat, seolah-olah kami akan memasuki kawasan perang. Berhubung di dalam bus itu hanya ada empat orang berpaspor asing, maka bis harus dihentikan untuk pemeriksaan. Sebenarnya ada dua orang yang paspornya sangat perlu diperiksa untuk masuk Perancis, siapa lagi kalau bukan~ diriku dan mbak S. Prosesnya tidak lama, karena hanya ada empat paspor asing yang perlu diperlihatkan kepada petugas imigrasi. Sebuah bangunan dengan struktur tenda berfungsi menjadi terminal keberangkatan. Di balik bangunan besar itu, aku nyaris terbelalak melihat  fasilitas yang disediakan untuk menyeberangi Channel Tunnel!

Pekanbaru
(to be continued to Part 3)


Sunday, June 17, 2012

Dari Manchester to Paris: Budget tour dan Visa paspor dinas (1)


Hampir tiap saat aku dan mbak S, teman serumah di Manchester, mencermati isi koran gratis di ruang duduk. Saat musim panas menjelang, beraneka tour ke daratan Eropa banyak ditawarkan dengan harga terjangkau kantong student (saat itu 50-80GBP). Setelah cukup lama pikir-pikir, akhirnya mbak S mendapatkan tour 3 hari ke Paris, Perancis, yang paling cocok dengan keadaan kami;  ya kantong, itinerary dan waktu!

Visa Perancis
Berhubung tidak ada konsulat Perancis di Manchester, kami harus mengurus visa di Kedutaan Perancis, London. Saat itu untuk mendapatkan Visitor Visa, kami harus antri pagi-pagi sekali di depan Kedutaan Perancis, karena waktu pemberian visa dibatasi hingga pukul 10 pagi. Jarak Manchester-London sekitar 5 jam dengan bus antar kota yang bertingkat. So, kami berdua berencana berangkat ke London dengan bus pukul 00.05 malam. Berhubung stasiun busnya hanya tetanggaan dengan UMIST, maka aku dan mbak S memilih menginap beberapa jam di lab komputer Sackville St hingga saat keberangkatan tiba.

Setelah menunggu beberapa jam sambil berjuang menahan kantuk, akhirnya kami berdua bisa naik bus. Bus tidak terlalu sepi. Tetapi aku tak ingat apa-apa lagi karena sudah tengah malam dan perjalanan sepertinya berjalan sangat lancar. Aku hanya terbangun beberapa kali saat bus sempat berhenti sebentar di Birmingham dan Milton Keynes. Begitu tiba di Bandara Luton, kami baru sadar sepenuhnya. Matahari telah terbit, dan sebentar lagi bus akan memasuki kota London.

Entah bagaimana caranya (mungkin karena ngantuk, jadi tak ingat), tahu-tahu kami sudah sampai di belakang antrian panjang. Antrian itu telah mengular sampai ke ujung jalan. Dari ratusan orang tersebut, hanya seorang wanita Asia yang mau menyapa kami dengan ramah. Beliau berasal dari Thailand dan menetap di Inggris. Kami sempat mengobrol dengannya sebentar, lalu sibuk mempersiapkan berkas-berkas untuk aplikasi visa.

Saat gerbang dibuka, antrianpun bergerak masuk ke dalam gedung. Semua orang bergegas, karena waktu sangat penting! Untunglah data-data yang kumiliki sudah lengkap, sehingga tidak ada masalah dengan visa kunjungan selama 12 hari tersebut. Biayanya pada tahun 2000 sekitar 16GBP. Sayangnya belakangan baru kuketahui kalau mbak S tidak berhasil mendapatkan visa yang sama. Apalagi masalahnya, kalau bukan paspor dinas (paspor biru) yang juga menyulitkanku dalam bepergian di Australia!

Kamipun bergegas mengejar bus merah khas London menuju Kedutaan Indonesia. Mbak S harus mendapatkan surat keterangan (semacam exit permit?) untuk aplikasi visa. Kamipun menunggu dengan beberapa orang yang membutuhkan keterangan sama dari Kedutaan. Sambil menunggu, kami mampir di kantin Kedutaan untuk makan siang khas Indonesia. Wah, rasanya sudah lama sekali tidak makan soto ayam dengan citarasa original!

Perlu naik bis yang lain lagi ke Kedutaan Perancis. Nah, di situlah letak istimewanya paspor biru. Urusannya bukan lagi di tingkat Konsuler, tapi sudah menyerempet ke tingkat Embassy! Begitu sampai, kami harus menunggu di ruangan yang bergaya klasik, penuh patung-patung berwarna putih, dengan dinding marmer coklat berkilau. Persis ruang tunggu yang kulihat beberapa tahun kemudian di Sydney Art Gallery. Btw, good newsnya, visa untuk mbak S bisa dikeluarkan. Sedangkan bad newsnya, paspor baru selesai minggu depan! Setelah rembukan lagi, kami memutuskan untuk kembali lagi ke London minggu depan untuk menjemput paspor mbak S. 

(to be continued to Part 2)

Wednesday, June 13, 2012

Happy Birthday to… (me), a VERY special quiet day


Orang-orang punya pilihan dalam merayakan hari ulang tahunnya. Some of them, memilih bersama keluarga dan anak-anak mengadakan piknik dan pesta. But, some of them, tidak takut menikmati hari ultah mereka sendirian. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa dan memilih a very quiet ‘me’ time untuk berkontemplasi. Aku salah satu orang yang memilih ketenangan seperti ini~ bahkan kalau perlu melupakannya…

Soal ultah, well, orang tuaku tidak pernah merayakannya besar-besaran untuk tiap anak. Mungkin sesekali ada momen yang mereka rayakan untuk adik-adik, tapi sepertinya ini bukan kebiasaan keluarga kami. Beberapa teman sangat menikmati pesta-pesta ultah yang disiapkan oleh orang tua mereka. Pada hari itu, kami diundang untuk makan malam menyenangkan di rumah yang telah ditata indah. Teman memakai pakaian tercantiknya memandang kami dengan sumringah. Tumpukan kado-kado dan… oh, kue tart besar yang cukup untuk semua orang terletak dengan manisnya di tengah ruangan. And, the hell was begun… saat kue telah dipotong dan musik dinyalakan… .

Sejak kuliah aku tidak terlalu mempersoalkan bagaimana cara menyambutnya. Ada acara makan-makan atau jalan-jalan bareng teman. Tetapi, lama-lama aku malah tidak melakukan aktivitas apapun, bahkan memilih untuk diam-diam merayakannya sendiri. Aku suka risih berada di antara teman-teman yang khusus datang mengucapkan selamat dan bersikap manis padaku hari itu. Manis karena… aku sedang ultah. Kalau boleh memilih, aku lebih suka kalau mereka selalu bersikap manis seperti itu, bukan di hari ultah saja.

So, apa yang kulakukan saat hari ulang tahun? Aku lebih banyak duduk diam-diam menuliskan muhasabah atau rencana-rencanaku di masa depan. Mungkin aku akan mengutak-utik beberapa jadwal yang belum kukerjakan tahun lalu. Tidak jarang aku hanya jalan-jalan berkeliling sebuah tempat sambil cuci mata. Kadang makan-makan bareng ortu dan adik-adik di rumah dengan masakan buatan mama. Semua diselingi acara membalas sms atau email dari teman-teman yang ingat ultahku. Karena, again, ultah bagiku sangat personal dan pribadi sifatnya. Kuingin hanya untuk  diriku dan orang-orang terdekatku saja.

Btw, saking sibuknya dengan studi saat ultah beberapa tahun lalu, aku sampai lupa berapa umurku tahun ini. Serius! Aku baru tahu kalau tahun ini umurku …th (disensor yah), lebih muda satu tahun dari yang kuperkirakan! What a superb discount! Meski lupa umurku, aku tidak lupa lho, untuk bertingkah laku sesuai umur, yah minimal sedikit lebih jaim, karena after 35yo sudah masuk kategori tante-tante kan.

Lagipula, ternyata ada faktor lain yang membuat diriku bisa lupa usia sendiri. Yang jelas, bukan karena sudah tua. Tetapi, karena sebenarnya ada lho yang disebut ‘umur biologis’? Itu lho, umur sel-sel tubuh kita yang berkaitan erat dengan kesehatan fisik dan mental. Umur faktual boleh muda, tapi umur fisk yang tidak dijaga bisa lebih tua dari sebenarnya. Jadi, jangan heran, kalau ada orang yang usianya baru 35 tahun, tapi sudah seperti 45 tahun, atau, kalau misalnya umurku sekarang 40 tahun, tapi umur biologisku 30 tahun, wouldn’t it be nice?

Nah, jadi tahu kan sekarang, kenapa aku sering melupakan umurku sendiri? Soalnya, kalau bertemu orang-orang, apalagi saat berada di luar negeri, mereka kerap menyangka kalau umurku belum lagi 30 tahun. Meski salah, tentu saja aku menerima hal itu dengan senang hati. Artinya, usia faktual memang tidak perlu dirayakan, karena usia biologis lebih menyenangkan untuk diingat-ingat. Hehe…

Pekanbaru,
Sedikit kontemplasi di ultahku hari ini dengan kue ultah dari Bank Syariah Mandiri, hehe…

Sunday, June 10, 2012

Ketika aku… baru mengerti arti ‘hanya menipu diri sendiri’


t-s by
Sudah berkali-kali hubby mengingatkan aku untuk tidak ngemil coklat berlebihan. Kandungan lemak yang tinggi dari mentega dan minyak pencampurnya tersebut tidak ‘friendly’ bagi wanita, meskipun ada istilah ‘chocolate is a women’s best friend’. Diam-diam, demi my ‘guilty pleasure’ itu,  aku masih suka mengudap coklat yang diumpetin dengan rapi di kulkas. Hingga suatu hari tanteku yang mendengar hal itu mengatakan bahwa aku tengah menipu diriku sendiri.

Ceritaku tentang coklat tadi, sebenarnya membuat aku sadar bahwa itu adalah my guilty pleasure. Tambahan lagi komentar tanteku soal menipu diri tersebut, kuakui sangat benar. Sudah tahu kalau makan coklat berlebihan membuat berat badanku bertambah, tetapi tak bisa dilakukan terang-terangan, aku memilih jalan diam-diam. Apa bedanya, terang-terangan dan diam-diam kalau begitu? Toh, berat badanku akan tetap bertambah. Karena itu, tuduhan ‘menipu diri sendiri’ tersebut dialamatkan padaku, meski tak rela, aku bisa menerimanya.

Sebagai wanita, kita punya banyak ‘guilty pleasure’. Bukan berbau ‘aneh-aneh’ ya… (maaf konteksnya tidak begitu di blog ini). Tetapi, sesuatu yang dilakukan diam-diam walaupun sebenarnya kita tidak boleh atau sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi. Apalagi ya, yang dimaksud, kalau bukan tentang makanan? Kegemaran makan segala macam makanan tanpa pengendalian diri, sudah jelas itu guilty pleasure. Wanita, sebenarnya punya keterbatasan pengendalian diri, apalagi kalau menyangkut soal makanan. Tidak sedikit stori diet yang gagal, karena kurang disiplin menjaga makanan. Maunya kurus tapi tidak mau dibatasi dalam mencicipi segala rupa makanan dan camilan. Maunya kurus, tapi tidak mau exercise untuk mempercepat penurunan berat badan. So, gimana mau kurus, kan?

Saat ini aku tengah dalam proses penurunan berat badan dengan bantuan teknik akupuntur. Aku memilih cara pelangsingan seperti ini, agar termotivasi menurunkan berat badan di bawah pengawasan dokter. Terapi dilaksanakan dua  sesi per minggu dengan total sesi 12 kali. Untuk menunjang program ini, maka aku harus diet cukup ketat. Pagi hari hanya makan satu potong roti dan sepiring buah-buahan. Siang hari makan dua sendok nasi dengan sayuran dan ayam/ikan rebus. Malam hari, hanya makan sayur atau buah. Tidak boleh makan gorengan, cemilan krupuk, soft drink, dan so pasti coklat juga diharamkan. Untuk membantu diet dan akupuntur, aku harus olahraga 1 jam per hari.

Awalnya semua berjalan lancar, tapi lama-lama kok neg makan ayam rebus dan ikan rebus? Akhirnya aku jadi modifikasi menu dan banyak makan buah-buahan. Karena sibuk bekerja, aku suka ogah-ogahan berolahraga. Alhasil, tiap datang terapi, berat tubuhku mengalami sindrom yo-yo, kadang naik, kadang turun. Hasil seperti ini tentu tidak diterima oleh dokter, yang mengingatkanku dengan halus supaya mulai serius menurunkan berat badan dan tidak ngemil kalau malam.

Tetapi hal itu tidak hanya terjadi pada diriku saja! Diam-diam, di ruang tunggu dokter, beberapa pasien mengaku kalau mereka tidak melakukan diet dan olahraga seketat anjuran dokter. Berat badan mereka juga suka naik-turun tak terkendali. Nah, sudah jelas aku dan mereka, sama saja kan? Kami semua telah menipu diri sendiri. Berharap uang yang dikeluarkan dan teknik akupuntur dapat membantu kami langsing secara instan tanpa perlu pengorbanan keras.

Kadang-kadang kalau diingatkan dokter mengenai hal itu, kami akan mengatakan:
“duh, kenapa ya, kok berat badan saya bisa naik?” dengan ekspresi pura-pura terkejut.
Padahal kami mengetahui persis apa saja yang masuk ke dalam mulut beberapa hari yang lalu, berapa lama kami berolah raga dalam sehari dan… bergidik membayangkan betapa sesungguhnya kami telah menipu diri sendiri!

Kuakui, kalau aku memang tidak pernah belajar dari komentar tanteku itu. Dan kuakui kini terasalah benarnya, saat mendapatkan berat badan yang kuimpikan makin terasa jauh dari harapan. Maka, sebelum semuanya menjadi bubur,  semua harapan dan biaya yang dikeluarkan menjadi sia-sia, aku bertekad untuk menghadapi semua kesulitan dalam proses ini. Psst, tanpa menipu diri sendiri lagi, dong.

Doakan, ya!

Pekanbaru,
Diet fisik ternyata dipengaruhi ‘mind set’ juga ya…


Sunday, June 3, 2012

Dandan dong...


pengajian-muslimah.blogspot.com
Wahai teman-temanku, plis deh, terima aku apa adanya…” kataku sambil mengikik dalam hati. Aku ngikik karena geli sebenarnya. Rasanya sulit mau tersinggung~ saat seorang rekan kembali mengkritik penampilanku yang dinilainya kurang gaya.

Dulu aku pernah bertanya pada miss M teman kerjaku di library, mengapa ia memakai pakaian yang itu-itu saja (baca: kemeja krem gombrong) saat bekerja. Miss M bilang, singkat saja, “because… I want to work, I want to be comfortable at work”. 

Caila, benar juga. Kuperhatikan rekan-rekan lain yang bekerja di lib tidak ada yang overdo, kelewatan dandan. Bahkan Mrs L, si manajer lib sering terlihat dalam balutan rok-blus berwarna sederhana, sepatu pantofel dan tidak jinjing tas apa-apa kecuali ranselnya. Supervisorku, miss N, tidak pernah lepas dari sepatu keds dan cardigan polos butut. No harm! Tetapi, saat mereka menghadiri acara di luar tempat kerja, barulah mereka berdandan habis-habisan. Kita tidak akan pernah melihat mereka seperti itu di tempat kerja.

Sementara di Indo, aku kaget melihat orang-orang menggunakan busana yang lebih pantas untuk menghadiri kondangan ketimbang bekerja. Apa tidak gatal dan gerah, ya? Bayangkan, panas-panas begitu mereka menggunakan baju-baju tanpa kerutan berwarna menyala dilengkapi tas dan sepatu tak kalah kinclongnya. Sepertinya, yang ingin ditampilkan adalah semakin bermerk tampilan seseorang, semakin tinggi level kesejahteraannya. Pendeknya, tambah gaya, tambah mudah menarik perhatian dan penghargaan dari orang lain. Astaghfirullah…

Tentang diriku sendiri, bukan sekali ini caraku berdandan dikritik orang lain. Saudara dekat, teman dekat, nenek, sampai rekan kerja yang semuanya wanita punya pikiran begini. Aku sebaiknya mengganti busana dan cara berjilbabku, agar terlihat pas dengan profesiku saat ini. Penampilanku saat ini dinilai culun, kurang merepresentasikan seseorang yang titik-titik di bidangnya, tidak mencerminkan uang di kantong, dsbnya, yang tak perlu diceritakan lebih lanjut.

Btw, aku punya interpretasi macam-macam lho, mengenai masukan mereka tadi. Pertama, aku pikir mereka ingin diriku terlihat lebih cantik dan tidak itu-itu saja~ supaya penampilanku lebih kinclong.
Kedua, sepertinya mereka tidak menerimaku apa adanya~ mereka menilaiku dari apa yang kupakai ketimbang apa yang telah kuhasilkan di tempat kerja.
Ketiga, mereka mungkin tidak tahu, bahwa kenyamanan dalam bekerja itu lebih penting~ ketimbang aneka polesan di bagian luar yang tidak nyaman untuk bekerja.
Keempat, aku yakin mereka tidak mengetahui atau mempersoalkan bahaya ‘tabarruj’, yaitu berhias berlebihan yang dapat menggoda lawan jenis di tempat kerja~ ini termasuk hal yang sangat dibenci Allah.
Kelima, orang banyak lupa bahwa ‘kecantikan hati’ lebih penting daripada ‘kecantikan fisik’~ wanita santun lebih dicintai Allah daripada wanita pesolek.
Wallahu’alam…

Sebenarnya aku tak peduli-peduli amat dengan penampilanku, asal kombinasi warna baju dan jilbabnya sesuai, model dan bahannya enak dipakai tanpa kepanasan. Aku tak pernah suka hal yang sama dengan orang lain, apalagi kalau hal itu sedang digandrungi peminat mode. Aku suka prinsip teman-teman kerjaku di lib, yang tidak menonjolkan penampilan untuk mendapatkan perhatian. Lagipula, dalam bekerja kita harus mengutamakan kenyamanan, supaya kinerja tidak terganggu. Masalah orang melihat kita sebelah mata atau apalah dengan dandanan kita, tidak perlu ditanggapi berlebihan. Hanya orang-orang berilmu dan menghargai orang bukan dari tampilan fisik saja yang  dapat memahami hal-hal seperti ini.

Jika besok masih saja ada orang yang mengkritik caraku menggunakan jilbab dan pakaian-pakaianku, maka aku akan tertawa keras-keras seperti ini… ‘hahaha…’ tanpa menjelaskan apapun.

Kuharap mereka memahaminya, (baca: I don’t care whatsoever, madam…).

Pekanbaru