Friday, January 30, 2015

Museumdofr Cloppenburg

Mengunjungi open-air museum adalah salah satu pengalaman unik dalam hidupku, mungkin hal yang sama juga dirasakan oleh teman-teman baru dari UNILEAD. Siang itu setelah kuliah selesai, kami dibawa oleh pengelola program menuju lokasi museum yang terletak sekitar satu jam naik bis dari Oldenburg. Perjalanan ini dilakukan pada bulan September 2014 di Jerman.


Museumdofr Cloppenburg merupakan sebuah museum pertanian lengkap dengan rumah, kandang, kincir angin, dan industri rumah tangga untuk mempelajari sejarah pertanian dan budaya sekitar tahun 1800-1900an. 

Sebuah sudut dekat rumah petani miskin di museum Cloppenburg.

Museum Cloppenburg sendiri terletak di kawasan seluas 20 hektar dengan sekitar 50 buah bangunan terdiri dari rumah pertanian (petani kaya, ekonomi menengah dan miskin), gedung pertemuan, gedung sekolah, tempat ibadah, tempat kerajinan (keramik, peralatan perak, peralatan berkuda, pembuat sepatu, tukang kulit) dan rumah-rumah pelayan.  Museum ini sebenarnya dibuka pada tahun 1936 dan direnovasi kembali pada tahun 1962, setelah sempat dihancurkan dalam perang dunia kedua pada tahun 1945. 

Rumah petani kaya dan tipikal bangunan toko souvenir, atapnya saja lebih dari 15m!

Souvenir khas dari clay.
Sebelum memasuki museum pertanian yang sebenarnya, kita diajak melihat-lihat koleksi milik petani berupa peralatan makan, furnitur, jam dinding, hiasan dan aneka barang-barang lain di entrance hall yang menjadi toko souvenir sekaligus pusat budaya. Aku mengagumi koleksi-koleksi antik berupa furnitur yang bernilai tinggi serta memiliki desain unik. Kami bisa berjalan-jalan atau berlarian di lorong museum tersebut seperti kanak-kanak, sambil mengamati aneka laci, pajangan maupun lemari-lemari kayu penyimpan pakaian. Gedung itu sendiri spektakuler. Atapnya menjulang tinggi ke atas, dan ternyata memiliki tiga lantai!


Kami mengelilingi museum tersebut bersama seorang tour guide wanita. Bahasa Inggrisnya rapi dan jelas sekali. Ia menceritakan sejarah tanah pertanian dan mulai menerangkan bangunan-bangunan yang kami lihat satu-persatu. Pada masa itu, harga babi ternak untuk bahan pangan sangat mahal, sehingga orang memiliki kandang khusus untuk hewan itu. Ia menceritakan cara membuat plester dinding dari lumpur dan ijuk supaya kuat. Orang-orang terdahulu suka mengukir ayat-ayat kitab agama mereka di atap rumah. Mereka memiliki filosofi tersendiri untuk membuat atap yang menjulang tinggi tersebut.

Kunjungan pertama rombongan kami adalah rumah petani kelas menengah. Dari dalam ruangan tercium asap kayu terbakar yang sangat mengingatkan aku pada rumah gaek-nenek di kampung dulu. Asap bercampur aroma rumput dan bau ternak, benar-benar membantu kami merasakan suasana di rumah pertanian secara langsung. Untuk bahan bakar, mereka menggunakan tanah gambut yang dibentuk menyerupai kayu. Perapian tersebut dinyalakan setiap hari. Sebenarnya aku tidak bisa membayangkan duduk-duduk di sekitar api pada malam hari berkabut asap memedihkan mata demikian, tetapi memang listrik dan gas belum menjadi fasilitas hidup pada masa itu.


Suasana pedesaaan di Cloppenburg dengan tanaman endemik lokasi tersebut.
Rumahnya sendiri sangat tipikal. Kamar-kamarnya yang lebih mengejutkan. Kecil-kecil dan seperti tidur dalam lemari saja! Sepertinya hal itu wajar-wajar saja, karena bahan bakar untuk menghangatkan tubuh seperti kayu bakar atau batu bara bisa sangat mahal. Dengan konfigurasi seperti itu, mereka memerlukan sedikit ruangan untuk bersempit-sempit dan tidur dengan nyenyak tanpa perlu kedinginan. Ruang tidur pelayan terlihat lebih baik karena menyerupai kamar pribadi. Tetapi para pelayan tidak punya sumber penghangat yang merupakan barang mewah di rumah petani karena kamar mereka letaknya sangat jauh dari perapian. Kamar paling dekat dengan sumber penghangat tentu saja ditempati oleh petani dan istrinya. Kemudian anak-anak mereka sesuai dengan usianya.

Akhirnya kami mengunjungi rumah petani kaya. Untuk petani kaya, aku dan kawan-kawan bisa memahami perbedaannya dengan rumah petani miskin karena memang lebih luas, tertata dan mewah dari rumah petani-petani pada masanya. Persis dalam buku 'Anak Tani' atau 'Farmer Boy' tulisan Laura Ingalls Wilder, aku bisa melihat ruang tamu milik keluarga kaya yang elegan dengan perabotan pilihan serta peralatan makan berselera tinggi. 

Ruang minum teh atau ruang keluarga milik petani kaya.

BMW pada masa itu? *smile*
Rumah tersebut juga dilengkapi dengan ruangan-ruangan khusus untuk bekerja, ruang makan, ruang keluarga, dapur besar, dan ruang pelayan. Dari pintu belakang rumah, bisa dilihat kebun luas penuh tanaman bunga dan sayur-sayuran. Mirip cottage garden di rumah Kapten Cook, Melbourne dalam post ini.  Sewaktu keluar dari rumah, rombongan diajak melewati ruang depan yang mirip garasi karena berisi beberapa buah gerobak-gerobak besar berjejer di sana. Melihat itu, kawanku berkata sambil menunjuk tiap gerobak, "this is MerC, BMW, Ferrari, Rolls Royce..." dan haha, kamipun tergelak membayangkannya. 

Kompleks museum itu memiliki sebuah bangunan untuk sekolah anak-anak.  Terletak di samping rumah ibadah, sekolah dengan beberapa tempat duduk memanjang serta kursi tinggi milik guru merupakan interpretasi menarik mengenai suasana ruangan sekolah masa itu. Kami diminta duduk di bangku-bangku yang terbagi khusus untuk anak laki-laki dan perempuan dan seseorang berlagak menjadi guru sambil menunjuk alfabet bahasa Jerman di papan tulis. 


Kelas kecil kami yang penuh protes (photo is courtesy of drchawin.com)
Ruangan sangat gaduh, karena beberapa kali 'sang guru' terhenti tidak tahu cara melafalkan alfabet tersebut. Berkat bantuan Project Leader yang asli Jerman, beberapa alfabet yang sangat menantang lidah dan ingatan kami karena bentuknya tidak relevan berhasil diteriakkan. Hari itu kelas tersebut dipenuhi gelak tawa dan protes-protes kecil dari siswa-siswanya. Aku tidak bisa membayangkan suasana gaduh tersebut di masa Laura menjadi guru. Konon, kalau seorang siswa gelisah dalam kelas, maka dengan lirikan tajam sang guru, ia harus sudah duduk tenang lagi tanpa bergerak.



Perjalanan di kompleks tersebut tidak hanya mengunjungi rumah dan sekolah, juga beberapa fasilitas lain seperti kincir angin, pabrik roti, rumah khas petani modern, lumbung penyimpan, gudang, dan kandang ternak. Di akhir kunjungan kami diundang masuk ke dalam cafe di museum untuk mencicipi kue tart khas terbuat dari gandum dan krim segar, mirip cheesecake dengan rasa cherry atau strawberry (aku lupa). Kami juga boleh minum teh khas desa tersebut sepuasnya. Ruangan minum teh itu agak temaram, terkesan sejuk dan nyaman untuk berbincang-bincang dengan kawan-kawan beberapa saat lamanya. 


Beberapa orang bersantai dekat cafe sambil mencicipi minuman khas, sedang aku dan sahabatku T-O memilih berjalan-jalan di sekitar kincir dan menikmati cahaya matahari meninggi serta angin musim gugur yang tidak begitu sejuk. 

View dari kincir angin tempat aku dan T-O bersantai sore itu.





Kami berdua kadang menyukai suasana sepi sambil bertukar cerita tentang hidup, semangat, dan filosofinya. She's like a sister to me. Lagipula, apalagi yang diinginkan saat itu selain berada dekat dengan orang-orang tercinta sambil menikmati kecantikan alam di Jerman? Aku sempat berpikir tentang orang-orang terdekatku di berbagai belahan penjuru bumi, sedang apa mereka sekarang?


Saat melintas di sebuah jalan, aku melihat sebatang pohon sarat dengan buah apel siap dipetik yang menjadi penanda bahwa musim gugur sudah dimulai. Mirip dalam cerita-cerita yang selalu kubaca dalam buku-buku Laura atau penulis empat musim, musim gugur merupakan saat petani bekerja keras mengumpulkan, mengawetkan, dan menyimpan hasil panen untuk dinikmati saat musim dingin hingga musim semi menjelang. Cerita-cerita yang kerap kubaca sedari kecil kini jelas tergambar dalam kunjunganku ke museum desa Cloppenburg. Kehidupan petani merupakan filosofi sebuah siklus hidup. Dimulai dari menanam benih, menyiangi, memupuk, merawat, memanen, dan menikmati hasil panen pada akhirnya nanti merupakan simbol-simbol aktivitas dalam perjalanan hidup seseorang di bumi ini.


Pekanbaru,
Alhamdulillah.

Wednesday, January 14, 2015

Ridha dan Ketenangan Hati

Seingatku, salah satu nasehat terbaik yang pernah diberikan oleh seorang sahabat pada saat aku sedang kalut (baca: galau) dalam mengerjakan PhD adalah untuk belajar bersikap ridha terhadap apa yang sedang kuhadapi.

Pada saat itu, seperti sering yang kuceritakan dalam berbagai dimensi, mungkin sudah ribuan kali aku mengeluh soal riset, supervisor, kehidupan, etc. Temanku tersebut juga menceritakan kesedihannya mengenai suatu hal. Tidak heran waktu itu jadi ajang curhat bareng yang sebetulnya tidak boleh sering-sering dilakukan karena hanya merusak semangat. Tetapi, dia cepat sadar dan berucap, "macam mana lagi ye, redha saje laa..."

Dituliskan dalam kitab Ihya Ulumudin (Imam Al Ghazali), ridha itu adalah pintu Allah Ta'ala terbesar. Barang siapa menemukan jalan ke situ, maka itu adalah derajat dan pangkat tertinggi.

Sedang dalam kitab La Tahzan (Dr Aidh Al-Qarni), ridha adalah pintu gerbang beragama. Siapapun yang bertaqarrub kepada Rabb-Nya, yang senang dengan petunjuk-Nya, yang tunduk kepada perintah-Nya, dan yang berserah diri kepada hukum-Nya pasti telah melewati pintu gerbang tersebut.

Allah berfirman, "Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya"
QS. Al-Bayyinah: 8

Sesungguhnya kita tidak bisa memilih selalu bahagia dan senang dengan keadaan hidup tanpa melupakan bahwa Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Maha Suci Allah yang lebih mengetahui, lebih bijaksana, lebih agung dan lebih tinggi dari semua makhluk. Allah juga maha mengetahui hal gaib, rahasia dan akibat dari segala hal. Oleh karena itu keridhaan kita menerima sesuatu yang menyedihkan sebenarnya sudah menjadi harga mutlak. Pasalnya manusia tidak diberi hak untuk memilih takdir hidupnya. Allah yang menentukan semuanya.

Sikap ridha seorang hamba terhadap apapun keputusan Allah, menyebabkan Allah ridha kepada hamba tersebut. Karena Allah ridha, maka sekecil apapun amalan kita, Insya Allah akan diterima Allah. 

Keridhaan memiliki hubungan dengan ketenangan hati.  Jika kita tidak ridha, maka hati kita akan sakit, tidak tenang, mudah bergejolak, cemas dan selalu terganggu. Sedangkan keridhaan memberikan ketenangan, ketegaran, kejernihan dan pengendalian hati sehingga rasa gembira, aman dan damai tercipta dalam hati seseorang.

Itu berarti, seseorang telah mencapai nikmat tertinggi dari Allah, berupa ketenangan hati, yang membawanya membuka pintu surga dunia, sebelum pintu surga akhirat dibuka pada akhirnya.

Subhanallah.

Pekanbaru,
Kiamat kecil di hatiku ini, cepatlah berlalu...

Tuesday, January 6, 2015

Tahun-tahun berjalan (2012-2014)

Ssst, kalau tahun 2012 lalu dalam hidup aku nobatkan jadi 'tahun administrasi', lalu tahun 2013 adalah 'tahun traveling',  maka tahun 2014 adalah 'tahun internationalization and networking'. 




Pada tahun 2012, karena terlalu banyak data administrasi pribadi yang harus diurus untuk jurusan, fakultas, universitas dan DIKTI, aku jadi sadar kalau rumah kami membutuhkan ruangan arsip! Bayangkan, aku harus menata ulang data diriku sejak Sertifikasi Dosen, pengisian BKD, IKD, SIPKD, SKP (untuk kepanjangannya silakan browsing saja ya) sampai kenaikan pangkat di DIKTI. Kelemahannya, adalah kehabisan waktu untuk melakukan hal tersebut, tetapi kekuatannya, adalah punya rekam jejak yang sudah rapih dan tinggal diteruskan saja.

Untuk tahun 2013, berhubung cukup banyak perjalanan ke beberapa kota dan negara (ada empat: Australia, Jepang, Singapore-Malaysia) untuk beraneka urusan  dari soal pribadi, akademis sampai soal administrasi KUI. Tahun 2013 adalah tahun yang indah sekali karena banyak acara wira-wiri. Most of the time berkaitan dengan urusan sekolah hubby, konferensi, jalan-jalan grand honey moon, ketemu alumni Australia, dan teman-teman pengelola KUI dari empat universitas besar. Pada tahun ini aku belajar tentang networking melalui Facebook, apalagi karena waktu tersedia untuk melakukan semua perjalanan sangat singkat, sehingga kenalan-kenalan dekat sangat membantu untuk mendapatkan jadwal pertemuan dengan bos-bos mereka.

Sedangkan tahun 2014, aku melakukan pekerjaan berat berjudul 'belajar Internasionalisasi' dari Yogyakarta, Bandung, Jerman, dan Medan selama beberapa bulan, sampai-sampai aku lupa fokus utama adalah riset geopolimer! Meski demikian, aku bersenang hati karena tahun ini aku bertemu banyak sekali teman-teman dari perguruan tinggi di dalam dan luar negeri, berkenalan, berbincang tentang kehidupan dan mendapatkan motivasi dari seleb-seleb yang kutemui  sepanjang perjalanan (seleb peneliti terkenal, rektor-rektor universitas, mayor di Jerman, pengelola beasiswa Australia Awards, penulis sastra beken, dan seorang mantan menteri perdagangan). Alhamdulillah.

Semoga tahun 2015 akan menjadi tahun lebih menyenangkan dan penuh inspirasi.

Pekanbaru,

Friday, January 2, 2015

Ketika aku... memikirkan tentang Resolusi (2015)

Setiap tahun baru Masehi datang, nyaris semua orang memiliki resolusi baru di kepala mereka. Sayangnya semua resolusi itu jarang berlanjut setelah bulan Januari selesai. Bak seorang pelari marathon yang ambruk sebelum mencapai garis finish.


Mengapa sebuah resolusi sulit dijalankan?

Aku punya beberapa alasan soal ini.

A) Resolusi tersebut cukup ambisius
Beberapa orang seperti lupa mengukur kemampuan diri mereka saat membuat resolusi. Kadang-kadang suatu hal penting untuk menunjang resolusi tersebut malah belum selesai dilakukan atau belum mulai sama sekali. Orang-orang belum banyak pengalaman, tidak bisa mengukur dukungan lingkungan dan kemampuan pribadinya biasanya terjebak dalam hal seperti ini. Contoh resolusi yang cukup ambisius adalah ingin S3 di tahun 2015, tapi skor bahasa Inggris belum mendekati level diinginkan.

B) Resolusi tersebut tidak sesuai dengan keinginan pribadi
Herannya, ada orang yang terlibat dengan ambisi orang lain tanpa mereka sadari. Biasanya mereka hanya melihat orang lain sukses dalam suatu bidang, lalu ingin melakukan hal yang sama tanpa ada pertimbangan masak-masak apakah hal tersebut cocok dan sesuai dengan keinginan pribadi. Ketika menemukan masalah, mereka tidak sabar dan cenderung menganggap diri mereka tidak sesuai dengan resolusi tadi. Orang-orang yang tidak suka berkaca dari pengalaman pahit orang lain, tetapi hanya suka kesuksesan saja tanpa mau susah payah bisa digolongkan dalam kategori ini. Sebagai contoh, banyak orang ingin sukses berjualan online di tahun 2015. Sayangnya mereka enggan belajar membaca kebutuhan pasar, cara berdagang online yang menguntungkan, maupun menyadari bahwa memiliki jaringan luas untuk memasarkan dagangan mereka sangat diperlukan.

C) Resolusi tersebut tidak spesifik
Sesuatu yang tidak spesifik, pasti akan sulit dicapai. Spesifik di sini berupa tujuan yang detil, waktu pencapaian yang detil maupun hasil akhir yang ingin dicapai secara detil. Mayoritas orang yang membuat resolusi semacam ini tidak bisa mengukur waktu yang dibutuhkan untuk sebuah pekerjaan.Untuk membuat resolusi yang spesifik, kita perlu membuat ukuran yang ingin dicapai. Misalnya pada tahun 2015 ini aku ingin menulis 2 paper internasional di Jurnal A dan B, diterbitkan bulan Mei dan September, dengan topik durabilitas dan geopolimer.

D) Resolusi tersebut jumlahnya banyak dan sangat spesifik
Sebagai seseorang yang suka detil, aku tidak bisa membuat perencanaan tanpa timeline yang juga sangat detil dan njlimet. Kemudian jumlahnya juga banyak, sehingga tidak jelas fokusnya secara garis besar. Terus terang, hanya 70% saja dari perencanaan tercapai, bahkan kadang di bawah itu. Untuk orang-orang sepertiku, harus menahan diri dari membuat perencanaan detil yang banyak dan memilih prioritas mana yang harus dilakukan serta relevan dalam hidup. Ingat, bahwa bisa bekerja dengan tenang dan beribadah kepada Allah lebih penting daripada mengerjakan begitu banyak tanggung jawab dan tidak bisa melaksanakan resolusi-resolusi tersebut.

Pekanbaru,