Tuesday, June 30, 2015

Khawatir

Beberapa minggu lalu aku bertemu seorang teman yang baru saja mendapatkan rezeki dari Allah, sekolah ke luar negeri. 

Setelah mengucapkan selamat dan rasa bahagia atas prestasinya tersebut, kami mulai membahas tips-tips sekolah di luar negeri.

Berhubung aku punya beberapa masukan penting, dimulai dari persiapan keberangkatan, proses studi, manajemen publikasi sampai manajemen waktu studi, termasuk traveling, sudah kusampaikan. 

Tetapi, pernyataan teman berikut yang membuat aku sedikit shock:
"Saya khawatir nanti pengalaman yang menimpa bapak AB dan ibu (sambil menyebutkan namaku) dengan pembimbing akan terjadi pada saya saat sekolah..."

Wow, pikirku sedikit tersinggung *tepok jidat*.

Rasanya kesulitan waktu studi sudah bagian dari perjuangan tiap orang yang menjalaninya, lalu mengapa langsung menunjuk ke kami yang bermasalah tersebut ya? 

Lalu, apakah tidak bisa melihat akhir manis dari perjuangan berdarah-darah itu kini? Sedangkan teman yang mengalami pengalaman 'horror' (bukan film hantu) saat sekolah itu malah berhasil sebagai salah satu peneliti berbakat tingkat internasional dan sekarang berkiprah di level nasional. 

Sambil sedikit sesak, aku merasa pengalaman selama studi S3 itu sangat berharga sekali, terutama untuk pengembangan diri, kreativitas serta sikap mentalku. Hal itu membantu sekali saat mengajar dan membimbing mahasiswa di lingkungan kampus.

Well, aku jadi penasaran bagaimana cerita studi temanku ini nanti.

So, setelah menarik nafas panjang lebar, dalam dan agak lama, aku baru berani mengatakan:

"Pak, perjalanan studi S3 itu sangat heroik. Tidak sepatutnya bapak sangat khawatir mengalami kejadian kami tadi, karena pasti ada saja kesulitan lain yang akan dialami dan tidak sama persis tetapi level menyakitkannya hampir sama. 

Beberapa teman yang sangat bangga dengan kelancaran tesis, ternyata mengalami masalah dengan keluarganya yang cukup menyita waktu dan menambah panjang lama masa studi. Sedangkan orang yang selama studi banyak masalah dengan teknis penelitian/pembimbing/non teknis lain, kadang tidak ada masalah dengan keluarga. 

Insya Allah akan terjadi sesuatu, tetapi jangan khawatir, karena kita sedang diuji, dan pasti kita harus bisa menghadapinya karena studi S3 bukan main-main. Jika memang bisa mengambil sisi positif dari perjuangan heroik itu, Insya Allah kita akan lebih kaya pengalaman dan bijaksana".

Subhanallah... speechless saye...


(source: https://www.facebook.com/sheikhmuizbukhary/photos/a.500310050056452.1073741829.500118550075602/824941647593289/?type=1&theater)

Pekanbaru,

Friday, June 26, 2015

"Being Stubborn since..."

Judulnya sangat catchy. 

'Being stubborn since...', sepertinya sih sudah nama tengahku. 

Aku sering menggunakan cerita ini untuk meningkatkan motivasi mahasiswa bimbingan. Sebab, selalu ada saja orang yang berusaha mengubah pikiran mereka untuk tidak mengerjakan tugas akhir yang sulit dibawah bimbinganku. Menurut mereka, nyaris setiap hari ada saja orang yang mengomentari sesuatu untuk menjatuhkan mental dengan dalih realistis dan memakai logis. Padahal mengerjakan penelitian tidak harus sesuai dengan kriteria siap untuk diaplikasikan, apalagi ini hanya sekelas S1. 

Biarlah mereka belajar meneliti dan menikmati prosesnya, teman-teman. Just let them work in peace. Why don't just you do your own work?

So, about 'being stubborn since...", ceritanya begini. 
Setelah beberapa kali kuamati, ternyata aku tidak begitu cocok bekerja dalam tim yang orang-orangnya suka menggurui dan banyak celoteh. Apalagi kalau orangnya suka mengkritik diriku terus-menerus seolah-olah dirinya saja yang paling mengetahui. Padahal cuma mengetahui, belum jadi ahlinya pula (ada kredibilitas di bidang itu). Kadang-kadang, apa yang diberitahukannya tadi sebenarnya datang dariku, cuman lupa mensitasi sumbernya, barangkali. 

Begini, aku sering diajari untuk begini-begitu (suatu tugaslah ya) oleh orang tersebut. Sebenarnya cara tersebut cocok untuk suatu masa dulu, saat aku masih belum sekolah. Tetapi sejak sekolah lagi, ada banyak cara sebenarnya, dan berbagai cara tersebut sudah diajarkan sebagai budaya oleh sekolah kami. Kami hanya tinggal mengikuti rutin dan memodifikasi alurnya saja. Tidak perlu harus sama persis, yang penting target akhirnya tercapai. Itulah warna budaya universitas negeri maju yang kuaplikasikan dalam bekerja. Nah, beliau sepertinya lupa bahwa ilmu dan metode itu bisa didapatkan dari mana saja, dan bukan hanya dirinya yang mengetahui hal tersebut sehingga tidak perlu mendoktrin orang untuk mengikuti metodenya. 

Belajar untuk 'being stubborn since...', akhirnya menjadi salah satu cara bagiku mengatasi rasa tidak enak. Mungkin idenya didengarkan, tapi lebih sering tidak tertarik menjalankannya. Toh, kita juga punya prinsip sendiri dalam bekerja dan rutin yang sudah dikembangkan untuk memecahkan sebuah masalah. Prinsip dan ritme yang sudah disesuaikan dengan cara kita sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman kita akan suatu pekerjaan. Apalagi kalau cara-cara tersebut kurang etis, misalnya sedikit licik, berbohong, menggiring sesuatu menjadi 'abu-abu' untuk mendapatkan tujuan kita dengan lebih cepat.

Tetapi, kalau metode itu bagus dan terbukti dapat diandalkan, apalagi kalau datang dari ahlinya yang berpengalaman, maka tidak diragukan lagi... aku pasti mendengarkannya baik-baik dan menjalankannya.

Btw, just let me work in peace. Save your energy, and why don't just do your own work?

Rahasia 'being stubborn since...' ini yang selalu menyemangatiku dalam bekerja. Betul, setiap orang perlu punya prinsip kuat untuk sukses dan jangan suka mengekor orang saja. Tidak perlu membantah, senyum, dan tetap bekerja sesuai pengetahuan dan pendirian kita. Insya Allah nanti tinggal buktikan bahwa 'hasilnya beda'.

Pesan dari Mufti Ismail Menk:
"Some people dislike you because your strength shows up their weakness. As long as your conscience is clear, learn to ignore them".

Jadi, abaikan saja mereka yang suka mengomentari dan menggurui itu...

Pekanbaru

Monday, June 22, 2015

Share something meaningful to other people

I got a bouquet of tulip from one of former student when I arrived in Amsterdam last February.

That was a very nice gesture because of two things:
First, to receive a bouquet of tulip buds from Netherland, a country which is famous with tulip, was totally impressive!
Second, to honor me as a former lecturer and my arrival in Netherland, which was really meaningful. 

So, I brought that bouquet back to Indonesia. In the next few days, the flowers have been blooming, until they look like in this photo:



It was really difficult to keep them cheerful and beautiful in this hot-humid tropical country for a very long time. 

I kept them in an a-con room, but it wouldn't be long before they have started to shrink and decay. 

I cannot imagine how I could make it more meaningful now. 

To honor this beautiful memory, I got an idea. 

I gave some stems to current students, who were cheerfully kept the flowers for another few days. 

Some of them even kept the flowers in the fridge. This was very thoughtful. 

But, the original idea was not to extend the age of those flowers to make it more meaningful. 

I just simply wanted them to touch the tulip! To make them feel the tulip is real... the tulip does exist!

It become more meaningful now if this could be a motivation for them to work hard on their projects so they could finish them with a flying colors... 

or, to start planning to study in Netherlands or everywhere in the world.

Insya Allah,

Pekanbaru.

Saturday, June 20, 2015

Banyak manfaatnya


Jika ditanya mengapa jadi pengajar, aku juga tidak mengerti mengapa Allah mengaruniakan jalan ini kepadaku. Setahuku, hobi mengajar adik dan teman-temannya sewaktu masih kecil telah menjadi modal untuk mengetahui bakat terendam ini. Lainnya, kesukaan belajar sesuatu yang baru dan menyukai dunia kampus membuatku tidak keberatan menjadi pengajar. 

Apalagi suatu rahasia besar yang baru kuketahui saat baru menjadi pengajar, adalah 'jika ingin menguasai sesuatu, maka ajarkanlah hal tersebut kepada orang lain'. Artinya, sebelum kita bisa mengajarkannya kepada seseorang, kita harus mengetahui suatu pelajaran baru dapat mengajarkannya. Sukur-sukur, karena terlalu sering diajarkan, kita bisa mengamalkannya. Tetapi rahasia terbesar

Setelah beberapa lama mengerjakan hal ini, aku bisa mengatakan kalau saya sangat menyukai menjadi seorang pengajar. Mengajar seperti aktor dan aktris sedang berakting, bisa mengatakan apa yang diketahui dan membaginya kepada audiens seperti mahasiswa. Apalagi tipikal diriku yang suka sekali berbagi informasi kepada orang-orang yang ingin mengetahuinya.

Mengajar seperti memberikan tempat bagi diriku yang suka meluahkan pengetahuan. Tiap pengajar juga mendapat kesempatan untuk selalu memperbarui ilmu mereka lewat belajar, membaca, seminar dan konferensi. Hal ini kurasakan sebagai sebuah kekayaan melimpah yang tidak dapat digantikan oleh apapun. 

Betapa menyenangkannya mengetahui kalau bunga lupin ternyata beracun, bangunan tinggi mengambil filosofi bambu hingga kepakan sayap burung hantu yang tidak berisik menginspirasi kipas mesin komputermu? 

Betapa menyenangkannya bisa memberikan info bahwa kapal Independence of the Seas memiliki setara dengan gedung 18 lantai dan dapat memuat 6000 penumpang~ mungkin sama menariknya saat orang bercerita tentang kasus politik terbaru dalam berita televisi.

Ada hal lain yang membuat diriku suka mengajar di kelas, yaitu tiap pertemuan dengan mahasiswa selalu memberikan berbagai ilmu tentang orang lain. Sama seperti orang-orang disekitarku, mereka memiliki berbagai macam kepribadian. Lewat pengalaman berinteraksi, aku belajar bahwa ada cara-cara tertentu untuk menghadapi mereka. Selain itu, aku suka sekali menyemangati mereka dalam bidang tertentu. 

Senang sekali rasanya kalau bisa menyemangati seseorang yang sebenarnya mampu, tetapi tidak memiliki pegangan, sehingga dengan sedikit dorongan mereka bisa sukses. Kita sendiri, yang telah pernah melewati jurang dan gunung berduri, dapat menginspirasi mereka bahwa masa-masa sulit itu bukan hanya milik mereka sendiri. Jika sudah begini, biasanya setelah memberi semangat pada orang lain, aku merasa jauh lebih bersemangat dalam melakukan pekerjaanku.

Banyak, kan, manfaatnya?

Thursday, June 18, 2015

Time Management Skill


I always try to improve my time management skill.

As we suspected before, this is the most important skill to get things done or to produce quality works.

It is also the essence of life as a muslim, i.e. using the allocated time effectively, 
as the time that passes will never return and the time also that will bring us closer to death.

The Prophet ṣallallāhu 'alayhi wa sallam (peace and blessings of Allāh be upon him) said: ”Take advantage of five matters before five other matters: your youth before you become old; your health, before you fall sick; your wealth, before you become poor; your free time before you become preoccupied, and your life, before your death.” (Narrated by Ibn Abbas in the Mustadrak of Hakim & Musnad Imam Ahmad. Sahih)

A good time management skill depends on plan, routine, focus and priority.

These are our weaknesses, because we don't have measurable plan, don't establish routine, fail to focus and difficult to prioritize the most important task.
In my search, I've found that at least we could use two methods of improving all elements for our time management skill. I try to work with limited principles to avoid overrated confusion. 
The first is Pareto analysis. 
Many experts use this concept in Project Management to help them to organize time for the most important tasks. 
Pareto Analysis is a statistical technique in decision-making used for the selection of a limited number of tasks that produce significant overall effect. It uses the Pareto Principle (also known as the 80/20 rule) the idea that by doing 20% of the work you can generate 80% of the benefit of doing the entire job.
(https://www.google.com/search?q=Pareto+analysis&ie=utf-8&oe=utf-8)

We just decide on pursue the task/work package that has a greater impact on our project. By prioritizing the task, we hope for a great benefit of doing the job. 

For example, we do need a Project Action Plan for every big project. It consists of background, objectives, timeline, risk assessment, stakeholder assessment, etc. We make a plan to save us on wasting time on trying to find our direction towards the goals.

If we cannot do this project this year, we must plan to do this next year. Don't rush to finish and acquire everything, just do the task at different stage of our life (this reminds me of Prof Pellert in Berlin).


The second useful method is Podomoro Technique. 
The aim is to have a plan, routine and focus on our work in some increments of time. 
To do it, we need to break our plan into several short sessions, then take a short and scheduled break.  
How to do it:
Set 25 minutes to work on our task, then have a 5 minutes break. 
Use a timer to remind us for the set time. 
Use 3-4 x 25 minutes for each big task without distraction (no wifi, etc), and give 15-20 minutes break. 
(https://www.focusboosterapp.com/the-pomodoro-technique)

This method is really awesome. 
For someone who always find it is difficult to focus and keep myself present in doing a big task, I've found it effective to reduce my to do list very quickly. 

Pekanbaru,

Wednesday, June 10, 2015

Being Ethical


Sometimes we forget about this issue, especially when we're facing moral dilemmas circumstances. 

The temptation to do something unethical or crossing over the line started when:

we're too enthusiastic to reach our goals,

we might be too afraid of being different from everyone else's,

we really want to speed the process,

we trap on our marginal thinking (purpose: is to evaluate whether something has greater benefit than its original cost)

and many more reasons. 

However, my lecture, the guru of Project Management in Germany, Prof Frank Fischer, has reminded us to stay ethical at work despite facing uncertainty, ambiguity and instability. 


The people who sacrifice their life integrity by breaking rules "softly" will also end up of paying a big cost in their life, eventually. 


Prof said, as a good leader, we must not get involved or influenced by the unethical attempts by people around us. 

If we have to choose, just take an ethical but slow and lonely path, because... gradually the efforts will be built up into a masterpiece. 

The truth will reveal that the winner is always the person with high integrity. 

Pekanbaru,

Saturday, June 6, 2015

Book: A Traveller's Alphabet of Essential Places

Image result for a travellers alphabet of essential places I'm in the middle of reading a book by David Dale.


This book is about a collection of his journeys in many landscapes of ideas. 

He pointed few places where he experienced political journey, religious pilgrimage, artistic journey, scientific investigation, psychoanalytic journey, scent exploration, musical progression in various countries and cities from Europe to Asia and Australia. 

He talked about talented and influential people, such as van Gogh, Vivaldi, Karl Marx, or Archimedes even Frank Llyod Wright and their background and interaction with the world. 

David Dale tried to lock the topic in one single key word: 'darshana'. 
It means 'the mysterious ecstasy generated in the presence of a holy place'. 

He was just want to find the darshana at those places he has visited. 

And, he wrote the experiences to help readers to understand the modern world from the history point of view.

It made me think about my own terminology during traveling. 

Landscape? Building? Bridge? Wisdom? Lowly people? Flowers (as usual)? or any other thing?

Pekanbaru,

Tuesday, June 2, 2015

Tetap baik

Sungguh benar bahwa saat diri memiliki 'kekuatan' atau 'power' untuk memutuskan sesuatu, kita malah harus sangat lebih dekat kepada Allah dan berhati-hati sekali, sebab, selalu ada kesempatan bagi syaitan untuk menjerumuskan ke dalam perangkapnya...



Dahulu sekali saat masih kuliah, aku pernah mendapatkan nasehat bagus dari seorang teman dekat (teman yang kostnya dekat...). 

Sebenarnya aku sedang bingung karena ada salah paham cukup besar antara aku dan teman lain. 

Aku sedang berpikir-pikir enaknya mau bersikap seperti apa. Habis, tadinya kita baik-baik sih, tapi terus ada 'sesuatu' sehingga aku jadi malas bertemu dia lagi atau tidak mau baik seperti biasa ke dia. 

Padahal kami biasanya saling curhat dan memberi. Apalagi kalau pulang ke daerah masing-masing, pasti ada saja oleh-oleh dari sang teman, dan aku juga pasti membawakan sesuatu untuknya. 

Nah, si teman yang kostnya dekat tadi, setelah mengerti soal itu dengan bijak mengingatkan:
"Kalau kita pernah baik pada seseorang, sebaiknya jangan berubah sikap kita pada dia... kamu harus tetap baik pada dia. Paling tidak, supaya dia tetap ingat kalau kita memang orang yang baik..."

Well, nasehat yang dalemmm banget, yah. 

Baiklah, aku akan berusaha! 

Hmm, sebenarnya ada beberapa masalah kalau aku tidak konsisten mau baik pada sang teman.

Pertama, aku sudah niat mau memberikan dua bungkus keripik melinjo yang sudah kupesan, dan beberapa bungkus camilan lain saat dia pulang kampung nanti.

Kedua, aku tidak ingin ada ganjalan kalau ingin berbuat baik padanya di kemudian hari. Semua itu untuk kebahagiaan hidupku juga. Mengapa harus pikir-pikir kalau mau berbagi sesuatu. Cape, kan?

Ketiga, apakah berbuat baik itu hanya karena ingin dikenang sebagai orang baik? Bukankah lebih baik tetap baik seperti tidak ada masalah sebab fitrah diri yang ingin melakukannya? Mengapa harus pikir-pikir bersikap seperti apa setelah ada masalah? Allah melihat dan memberikan pahala untuk kebaikan itu, tanpa kita harus merasa ingin diingat jadi orang baik.

Pekanbaru,