A lecturer, an engineer, a learner, a researcher, a reviewer, a traveller, an adventurer. Love plans and plants.
Thursday, October 27, 2011
Acknowledgement
Sunday, October 23, 2011
Ke New Zealand kami bertualang (bagian 7: Dunedin-Twizel)
Aoraki/Mount Cook, puncak tertinggi di South Island (3754m)
Ssst, sebentar, rumah pertanian? Iya, kami sendiri kaget karena ternyata rumah pertanian itu meskipun terlihat kecil, ternyata terlalu besar untuk dua orang.
Tuesday, October 18, 2011
A super dedicated Dr IC
The Big Blue Shed, tempat penuh kenangan Dr IC. |
Lelaki separuh baya bertubuh besar, tinggi, berambut putih, dan bersuara menggelegar itu selalu terdengar memberi perintah di sana-sini. Walaupun tengah berbicara dengan teknisi di suatu pojok, ia masih sempat memberi petunjuk pada kerumunan mahasiswa yang mengerjakan sampel-sampel mereka di sudut lain.
Menurutnya, banyak hal yang harus diperbaiki walaupun proposal itu sendiri sudah 'readable' (ini poin terpenting, readable!).
Ia bukan pembimbing utama tesisku, tapi sebagai Associate Supervisor ia berhak memberikan masukan-masukan untuk proposal yang sudah kugarap selama 3 bulan itu.
Aku hanya bisa menerima komentarnya tanpa banyak protes, karena riset memang hal baru bagiku dan masih banyak yang harus kupelajari agar riset ini bisa dikerjakan dan sukses.
Disamping itu Dr IC adalah salah satu sesepuh dosen Struktur di Jurusan dengan banyak pengalaman bekerja di proyek sipil, so, kupikir pengetahuanku kemungkinan hanya 0.01% dari pengetahuannya. Tentu saja ia menginginkan riset yang aplikatif, orisinal dan sesuai dengan tujuan akhir kualifikasi level mahasiswa doktoral.
Rasanya setelah keluar dari meeting tersebut aku seperti melihat puncak sebuah menara padahal rasanya aku masih berada jauh di luar pagar menara itu sendiri. Hm.
Peralatan yang dimilikinya untuk riset 'membentang' dari bagian dalam lab Beton hingga di bawah struktur 'Big Blue Shed'. Big Blue, demikian kami memanggilnya, adalah tempat menguji sampel besar seperti balok dan pelat berukuran lebih dari 5 meter dengan alat-alat rumit.
Beliau adalah tipe orang yang super dedicate pada eksperimen dan alat-alatnya, tak sungkan duduk diam di lab berhari-hari tanpa lelah untuk mengutak-utik program dan mengkalibrasi beberapa data logger sekaligus.
Ia seperti sebuah otak dan bagian dari kelengkapan lab, karena pengetahuannya yang sangat luas di bidang teori dan aplikasi telah menjadi rujukan kepada dosen, mahasiswa, teknisi, praktisi dan konsultan-konsultan di lapangan.
Bisa jadi hanya dari sekedar saran keilmuan hingga bantuan tenaga, beliau selalu ada.
Kadang aku heran juga melihat Dr IC mau berkotor-kotor meratakan permukaan beton segar yang baru dicor milik seorang temanku saat ia melewati sampel-sampel tersebut tanpa diminta.
Aku juga sering terkaget-kaget mendengarnya berbicara denganku saat aku sedang fokus mengerjakan sesuatu yang dianggapnya belum tepat, seperti saat pemasangan sulfur cap untuk benda uji tes tekan. Tanganku sampai pegal mengulangi pencetakan sulfur cap pada sampel agar mendapatkan permukaan yang rata sesuai alat kalibrasi.
"Jika tidak, hasilnya kurang akurat karena beban tidak terdistribusi merata di permukaan benda uji. Don't worry, there's always a room for improvement", kata Dr IC, membesarkan hati.
He always pushy, wants things on the spot, crazy' dan segudang kata-kata berbunga (baca: mengerikan) selalu royal dilimpahkan mereka untuknya.
Dirikupun selalu bimbang karena kadang mengidolakan beliau, tetapi kadang setuju dengan para teknisi yang ingin beliau pensiun saja dari lab. Jika sedang dibantu oleh beliau, aku merasa 'friends', sedangkan saat ia memotong jadwalku bekerja di lab dan memakai alat-alat yang kuinginkan, aku langsung mencak-mencak sendiri berharap ia tidak pernah punya rencana tak terduga demikian
Tetapi biar suka tak jelas demikian, ternyata di saat-saat paling tak terduga, Dr IC bisa ada untuk membantuku tanpa perlu diminta secara khusus, padahal beberapa waktu kemudian ia tidak lagi menjadi Associate Supervisorku karena berbagai alasan.
Saat itu teknisi senior sudah pensiun dan ia bersedia membantuku mengambil data terakhir risetku yang telah tertunda selama berbulan-bulan. Dr IC bersedia membantu mengkalibrasi dan mengatur alat-alat tes Modulus of Elasticity tersebut. Lalu kami berdua bekerja sama dengan tenang dan baik menguji semua sampel-sampel dipandu dengan catatan-catatan serta ingatanku yang telah mendapat training khusus dari teknisi senior tersebut.
Padahal jika dilihat dari kondisi fisiknya sekarang, beliau tampak lebih tua, lebih fragile dan lebih lambat dari tahun-tahun awal aku berada di lab. Tampaknya beliau masih tidak mau menyerah dengan keadaan, meskipun umur terus menggerus kecepatan aktivitasnya. Suaranya masih menggelegar di berbagai sudut lab.
Ia pernah mengatakan bahwa kesukaannya pada 'tantangan' dan keasyikan mengajar mahasiswa Teknik Sipil dengan cara berbeda dari semestinya, seperti 'beam competition', demonstrasi pengujian, dan aneka praktek baik di lapangan, bagai ramuan jamu penambah kekuatan serta semangat hidupnya. Semangat itulah yang ingin ditularkannya pada orang-orang di sekelilingnya, pada mahasiswa, dosen dan teknisi. Pada dosen muda seperti aku, ia berpesan agar rajin berinovasi dalam pengajaran dan penelitian, memberikan tantangan-tantangan intelektual pada mahasiswa, sekaligus memperbaiki kompetensi diri agar dapat menjadi pengajar sekaligus insinyur yang profesional di bidangku.
Kulihat matanya penuh kata-kata meski ia sendiri hanya diam saja sambil tersenyum.
Oh, Dr IC, I think I've got you!
Aku hanya bisa membalas dengan senyum sungkan sambil melirik lantai beton di bawahku karena mengerti artinya.
Sudah bertahun-tahun aku melihatnya di lab sejak ia menjadi Associate Supervisor hingga aku selesai studi sekarang. Pada saat bersamaan, bertahun-tahun pula ia melihat kegigihanku bekerja dan berjuang di lab maskulin itu tanpa banyak mengeluh. Aku terus berjalan meski pelan dan banyak sekali tantangan yang harus aku lalui termasuk dari jadwal-jadwalnya yang kadang menghalangi kelancaran pembuatan sampel-sampelku. Bahkan terakhir kali aku harus mengulang eksperimen karena ia menyebabkan listrik satu lab mati saat forklift yang dikendarainya menyenggol instalasi listrik di lab. Oh wow.
Meskipun pekerjaanku memerlukan waktu lebih lama dari orang lain, kuharap dia melihat usaha-usahaku yang tidak sempurna itu sebagai sebuah usaha terbaikku untuk menaklukkan kesangaran perjalanan mendaki menara PhD.
Karena ia sekarang mulai berceramah tanpa ragu soal proyek terbarunya di Kalbarri, daerah pertambangan, padaku, seolah-olah aku seseorang profesional yang sudah lama dikenalnya dengan baik.
Friday, October 14, 2011
Ketika aku... bukan berhenti nge-blog, tapi sibuk hal lainnya
Sejak pulang ke tanah air, aku masih sering nge-blog. Belakangan ini, waktu untuk nge-blog agak berkurang, karena aku sibuk memperbaiki sebuah paper yang telah ditagih publisher dan mempersiapkan keberangkatanku ke Perth.
Kembali ke Perth?
Betul, tetapi hanya beberapa minggu saja. Perjalananku kali ini berkaitan dengan konferensi Concrete11 di Burswood, Perth, 12-14 Oktober 2011; bertemu dengan supervisor mengenai thesis dan tentu saja, menemui hubby tercinta.
So pastilah, ini bukan soal rasa hati yang excited untuk menikmati musim semi di Perth. Tetapi, sepertinya kesempatan baik pula untuk recharge ilmu praktisi di lapangan, sekalian mendapatkan umpan-balik mengenai risetku dari para praktisi beton di Australia. Sudah bukan rahasia umum kalau riset beton geopolimer kerap mendatangkan aura skeptis di mata para praktisi lapangan tadi. Sekarang, who knows, sejak carbon tax akan diterapkan dalam industri di Australia, beton geopolimer bisa jadi alternatif binder yang paling laku di pasaran.
Jadi, apa hasilnya menghadiri conference itu?
Beberapa sesi kuikuti karena berkaitan dengan minat risetku, seperti durability, concrete technology dan geopolymer. Seperti biasa, aku seperti mendapatkan energi baru, apalagi jika ada poin-poin penting yang sangat berhubungan dengan risetku. Trend untuk hitung-hitungan emisi karbon yang dihasilkan industri beton sepertinya sedang naik daun.
Setelah mendapatkan kesempatan presentasi dan dihadiahi berbagai pertanyaan, komentar dan kritikan, aku semakin percaya diri kalau beton geopolimer masih mendapat perhatian besar dari praktisi di lapangan. Semua ini ditandai dengan komentar dan pujian yang masuk mengenai presentasiku, termasuk dorongan untuk tetap menemukan cara untuk memperbaiki sifat-sifat beton tersebut. Beberapa praktisi lapangan yang kukenal memberikan gesture positif mengenai masa depan geopolimer. Dengan sedikit menyesal karena tidak bisa melanjutkan riset beton geopolimer di Australia, aku bertekad akan terus mengembangkan pengetahuanku di bidang potensial ini.
So,
cukuplah laporan pandangan mata dan hati soal konferensi yang membuat diriku tak punya waktu untuk ngeblog dua minggu belakangan ini. Sampai jumpa di tulisan mendatang.
Perth,
Saturday, October 1, 2011
Stop mubazir makanan
“Monggo mbak, dimakan, kalo perlu dihabiskan, ya” ajak temanku itu sambil menunjuk makanan di meja yang telah ditata rapi. Dengan hati berbunga-bunga, aku memandang dua jenis masakan yang sepertinya membuat perutku semakin keroncongan. Maklum, saat itu aku memang belum makan apa-apa. Sebuah kebetulan yang sangat manis, kan? Saat aku berusaha mengisi piringku, tiba-tiba aku nyaris kehilangan selera makan mendengar lanjutan perkataan temanku, “Soalnya mbak, kalo ga dihabiskan, mau dibuang ajah, abis si abang ga suka makanan yang dianget-angetin.”
Begitulah manusia. Saat banyak pilihan, kalau bisa memilih yang lebih enak lagi, tanpa pikir panjang ia akan menyingkirkan yang lama. Sama dalam kasus temanku ini. Begitu dapat kesempatan untuk memasak berbagai makanan enak dari bahan-bahan segar setiap hari, saat makanan bersisa, eh, malah masuk ke keranjang sampah tanpa pikir panjang. Allah sudah pasti marah pada orang yang suka berlebih-lebihan dan mubazir makanan. Pada kasus temanku tadi, aku jengkel mendengar ketidakdewasaan para suami/istri rewel yang ingin makan masakan baru setiap hari padahal makanan sebelumnya masih ada. Lalu hendak dikemanakan makanan lama itu? Disedekahkan pada ulat-ulat dan binatang pengerat di tempat sampah? Tidakkah mereka berpikir kalau Allah mungkin saja menahan rezekinya, karena mereka sering memubazirkan makanan yang ada? Di mana letak barokah dari makanan itu, kalau sebagian dari mereka akan menghuni tempat sampah?
Membuang makanan di bulan suci
Kebiasaan suka membuang makanan seperti ini ternyata lebih sering terjadi di bulan saat kita diperintah menahan lapar dan hawa nafsu. Dengan alasan menghormati orang yang berpuasa, maka beraneka jenis hidangan pembuka hingga penutup disediakan secara berlebihan. Padahal, kita sendiri mengetahui dengan baik kalau seteguk air dan beberapa suap nasi pada saat berbuka sudah cukup menghilangkan rasa lapar tadi. Akhirnya, bahan makanan yang mahal dan makanan yang dimasak dengan susah-payah lebih sering menghuni isi lemari es, lalu pada akhirnya dibuang saja karena takut kadaluarsa. Di negara kaya seperti Dubai UEA, dikabarkan berton-ton makanan dibuang ke tempat sampah setiap malam karena tidak habis dimakan oleh orang-orang yang berbuka puasa. Bukankah lebih baik, jika uang pembeli makanan tadi disumbangkan pada negara-negara Islam yang miskin dan sedang terkena bencana kelaparan. Toh, niat kita mengagungkan orang berpuasa dan berharap mendapat pahala puasa mereka juga akan didapatkan dengan cara demikian.
Sikap mubazir di negara-negara maju
Negara-negara maju juga terkenal sebagai pembuang makanan terbesar di dunia. Setiap hari penduduk diperkirakan membuang bahan makanan segar dan masakan yang masih layak tanpa merasa bersalah. Padahal kegiatan memproduksi makanan seperti pertanian, industri dan retail menggunakan 70% dari total produksi bahan bakar dunia. Jumlah makanan yang dibuang penduduk duniapun mencapai 8.3 juta ton makanan setiap hari. Kebiasaan membeli bahan makanan secara impulsif lalu disimpan di tempat penyimpanan tanpa pernah digunakan paling banyak berkontribusi pada kegiatan mubazir ini. Aturan dari restoran-restoran kelas atas yang tidak membolehkan pegawainya membawa pulang sisa makanan lezat ikut memperburuk keadaan. Dengan menyesal, setiap hari para pegawai dapur harus membuang dan menyaksikan berbagai jenis hidangan dibuang begitu saja ke dalam tempat sampah.
Jika mau melongok tempat sampah di belakang supermarket, setiap hari tumpukan buah-buahan kelewat matang, sayuran tidak segar dan makanan hampir kadaluarsa menghuni tempat itu. Tidak semua orang bisa mengambilnya dengan alasan keamanan. Kontras dengan keadaan tersebut, sering diberitakan bahwa orang-orang tua para pensiunan malah ada yang kelaparan karena tunjangan pemerintah terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka. Beberapa organisasi sosial di Australia pernah diberitakan mencoba mengatasi hal tersebut dengan mengambil dan mendistribusikan bahan makanan layak dimakan. Beberapa orang relawan berkeliling restoran menjemput makanan yang bersisa setiap hari, maupun memilih bahan makanan yang masih bisa diolah di tempat sampah. Kemudian mereka mengantarkan makanan tersebut ke rumah-rumah panti jompo, orang-orang terlantar maupun mengolahnya menjadi kompos dan pupuk organik. Informasi ini dapat dilihat di situs givenow.com.au (give food) or secondbite.org
Mencoba untuk tidak mubazir
Suatu ketika, nenekku melihat ibu tengah mencuci bekas tempat menanak nasi. Dengan telaten, ibu mengumpulkan bekas-bekas nasi yang jumlahnya hanya segumpal kecil di saringan. Gumpalan kecil nasi bersih itu dimasukkan kembali ke dalam beras yang telah dicuci dan siap ditanak. Nenek sampai terharu melihat sikap hemat ibu tersebut. Toh nasi itu tidak terlihat maupun terasa lagi di dalam tumpukan nasi matang. Sikap demikian dipuji nenek sebagai salah satu sebab seorang hamba akan disayang oleh Allah SWT.
Keahlian menyimpan dan mengolah makanan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan jejak dan bekas lalu dibuang sia-sia. Persis prinsip di rumah makan Padang! Hemat seperti itu bukanlah pelit. Itu namanya ‘elegant economy’, yaitu berusaha menghemat melalui modifikasi yang masih punya nilai manfaat. Untuk tips menghemat bahan makanan dapat dilihat di situs-situs seperti lovefoodhatewaste.com.
Jadi, stop mubazir makanan. Mari kita memasak secukupnya atau secara kreatif mengolah makanan tersisa menjadi makanan baru. Jangan sia-siakan makanan yang begitu sulit ditumbuhkan, diperoleh dan dibeli itu, ya.
Pekanbaru,
-
Semoga ini bisa jadi point untuk introspeksi diri bagi diriku dan teman-teman lain. Kuakui, diriku kadang suka sombong, padahal tidak memili...
-
Perth termasuk tempat beriklim Mediterranian, maksudnya memiliki musim panas yang kering dan curah hujan tinggi di musim dingin. Monaco, Rom...
-
Soal kucil-mengucilkan ini sering kita alami, kan? Kadang-kadang hati jadi panas membara mengingat perlakuan tidak adil dari teman-teman ata...