Sewaktu kecil aku pernah dikucilkan oleh saudara-saudaraku. Herannya, biar lebih kecil, tetapi saudaraku itu berani sekali mendorongku keluar dari lingkaran permainan hingga aku yang lebih besar merasa kecil hati. Saat di SMP, aku ingat-ingat ada juga soal pengucilan ini dari beberapa sahabat dekatku. Terlebih lagi waktu kuliah, aku sempat mengalami perasaan sedih luar biasa karena teman-teman dekatku turut mengucilkanku. Kupikir-pikir, mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak biasa, sehingga orang-orang selain memilih menjauhiku juga malah terang-terangan mengucilkanku.
Pada dasarnya aku punya prinsip yang cukup kaku dalam hidup, misalnya, untuk apa buang-buang waktu rumpi semalam suntuk kalau masih banyak tugas dari sekolah. Aku mau aktif di suatu bidang dan bekerja keras mencoba meraih prioritasku, mengapa pula dicari-cari kelayakan atau ketidaklayakannya menurut standard orang lain. Belum lagi kalau aku tidak bisa ikut-ikutan berbagai klub ekskul karena harus belajar atau lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca berbagai buku, kan aku tidak perlu dianggap kurang gaul dong. Aku juga lebih tenang memiliki rahasia sendiri dan hanya mau berbagi dengan orang yang kupercaya, jadi tidak semua orang mesti tahu urusanku. Yang paling penting, mengapa hanya karena aku tidak suka keseragaman, misalnya orang suka A, lalu aku memilih B, maka karena berbeda aku dianggap sok.
Ishk, ishk, ishk... haha, leganya bisa mengeluarkan uneg-uneg.
Takut dikucilkan karena ingin berbeda dalam menempuh prioritas bukan sesuatu yang bisa diterima banyak orang. Prioritas di sini bukanlah hal negatif ya, tetapi hal positif yang mengantar seseorang pada kesuksesan dan kedekatan kepada Allah SWT. Banyak orang lebih berkompromi dengan keadaan dan mematikan keinginan untuk mengejar impian hanya karena takut dikucilkan orang lain. Jalan untuk menempuh sebuah mimpi memang sangat sulit dan sering terjadi dalam waktu lama. Jika tidak konsisten dan teguh hati maka seseorang akan lebih mudah menyerah dan tidak mau berusaha lagi hingga ke garis tujuan. Pengucilan dari orang lain yang diterima sering membuat orang lekas putus asa, mengira bahwa ia sudah salah mengambil arah langkah dan memilih berdamai dengan keadaan.
Sebenarnya dikucilkan oleh orang-orang di sekeliling kita bisa menjadi sebuah rahmat. Bisa saja hal itu diberikan Allah agar seseorang menjadi lebih kuat dan fokus pada perjalanan menjalani impiannya. Perjalanan sukar itu membutuhkan orang yang kuat dan penuh semangat, sehingga cacian, makian, ketidakpercayaan maupun pengucilan bukan menjadi tantangan bagi mereka. Pengucilan itu adalah sebuah kesempatan untuk mengubah diri dalam kepompong sebelum menjadi seekor kupu-kupu cantik. Bukankah ulat daun diberi Allah kemampuan seperti itu? Maka, dalam pengucilan, kita dapat belajar makna diri, orang lain dan berbagai karunia Allah kepada makhlukNya. Mungkin kita selain bersabar juga perlu bersyukur atas karunia ‘pengucilan’ tadi karena bisa lebih fokus bergerak mengejar cita-cita tadi.
Kemudian, untuk mencairkan batas-batas pengucilan, maka kita perlu belajar menjalin silaturahmi dengan orang yang mengucilkan kita. Biar sakit, perih, gengsi. Ingat bahwa orang yang lebih dahulu mengulurkan tangannya bersilaturahmi kepada orang yang membencinya, maka Allah akan memberikan pahala lebih besar bagi si pengulur tangan pertama. Sungguh adil, bukan? Tetapi jika orang yang mengucilkan kita tidak mau membalas uluran tangan, bahkan berpura-pura diam serta bersembunyi di sebalik topengnya, maka, biarlah. Berilah alasan kepada diri sendiri, bahwa mungkin “ia tidak mengetahui harus bagaimana”, atau “ia perlu waktu untuk menerima keadaan kita”. Dengan begini, rasa kecewa dikucilkan dan tidak disapa kembali oleh orang lain akan berganti dengan rasa tenang, mengetahui bahwa kita telah memiliki kebesaran jiwa untuk berusaha memperbaiki keadaan tetapi si pengucil masih saja berkutat atau berputar-putar di balik kekerdilan jiwanya.
Perth,
Bercermin juga.