Jaman SMP dulu, aku suka bete ma cowok cakep. Soalnya, mereka bikin kita rajin melirik aja, sih. Apalagi kalo tipikal Cover Boy MODE, yang imut-imut, tinggi, putih, alamak, standar banget! Tapi, aku sebenarnya ga tahan ma cowok cakep bukan karena mereka cakep, doang, tapi karena...
Kalau diingat-ingat, aku bete mungkin karena ga ada cowok cakep naksir aku. Maklum, dengan modal kecantikan 'segini', plus rambut teratai (kata Tommy, thanks banget, man!), kulit coklat kehijauan (bukan jamuran) dan suara keras bak preman angkot, sudah pastilah aku lebih cocok jadi pelatih paskibraka daripada model kebaya.
Faktor penampilan yang jauh dari level mereka, bikin aku selalu ditolak sana-sini saat aku ingin hang out dengan para cover boy tersebut. Bukannya ninggiin mutu, tapi ngerendahin mutu mereka, dong. Panteslah jika suatu hari, ada seorang cowok cakep yang terlihat mengejarku (mungkin aku berhutang padanya), setelah aku berhenti mengeluarkan dompet (bukan membayar hutang, ngeluarin KTP), dia bilang, kalo cowok cakep kayak dia ga sudi 'jadian' denganku. Bukan main panas sekali hatiku dengan lagak si cowok tadi. Sejak itulah, aku alergi hang out dengan cowok-cowok cakep apalagi yang (sok) cakep tapi memang cakep! Pfuh!
Akhirnya aku suka hang out ma cowok biasa-biasa aja, tapi nyenengin. Apalagi kalo tuh cowok agak-agak kuper, aneh-aneh wae dan selalu kena abuse teman-temannya, wah, aku kepengen banget jadi teman mereka. Mungkin aku ketemu teman senasib, atau aku selalu berpikir positif, di balik kesulitan ada kemudahan, serta di balik temen ancur gini ada hal-hal positif yang tidak kita ketahui dan bikin kita kagum. Dua jempol untuk rasa empatiku tersebut. Tapi memang kuakui, mereka banyak membuka mataku, bahwa dunia tidak selalu milik orang-orang bertampang kece yang selalu mendapat kemudahan karena mereka lebih enak dipandang. Banyak juga orang-orang biasa tersebut memiliki berbagai kelebihan unik yang banyak berguna untuk orang lain. Justru, karena sulit mendapatkan segala sesuatunya, maka kita yang sederhana dan ga dipandang ini lebih kekeuh berusaha. Kita berusaha keluar dari segala keterpurukan dan rata-rata menjadi tidak kuatir dalam berjuang. Subhanallah... apa jadinya konsep survival of the fittest yang mungkin ga nyambung dengan konsepku tadi.
Yang paling seru juga waktu aku ketemu artikel berikut:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/07/tampan-dan-mapan-bukan-pilihan/
yang intinya pria tampan dan mapan tidak terlalu diimpikan wanita menjadi suami idaman. Soalnya, karena mapan dan ehem, tampan, mereka juga disukai banyak wanita lain, jadi agak-agak kuatir kalo-kalo dia akan 'sulit setia'.
By the way, ngapain aku membahas cerita ga penting ini ya? Soalnya beberapa hari lalu aku mendengar sendiri, cowok yang kukira sama normalnya dengan kami walaupun mungkin sedikit lebih kece, ternyata ga jauh beda dengan cowok-cowok cakep yang kukenal dulu. Dia kira aku mau ngobrol dengannya karena dia 'the most good looking man' di lab. Huh, aku mencibir sendiri. Maaf ya jeung, standar amat sih, kamu!
Perth,
CW, sok cakep, ah... norak!
Kalau diingat-ingat, aku bete mungkin karena ga ada cowok cakep naksir aku. Maklum, dengan modal kecantikan 'segini', plus rambut teratai (kata Tommy, thanks banget, man!), kulit coklat kehijauan (bukan jamuran) dan suara keras bak preman angkot, sudah pastilah aku lebih cocok jadi pelatih paskibraka daripada model kebaya.
Faktor penampilan yang jauh dari level mereka, bikin aku selalu ditolak sana-sini saat aku ingin hang out dengan para cover boy tersebut. Bukannya ninggiin mutu, tapi ngerendahin mutu mereka, dong. Panteslah jika suatu hari, ada seorang cowok cakep yang terlihat mengejarku (mungkin aku berhutang padanya), setelah aku berhenti mengeluarkan dompet (bukan membayar hutang, ngeluarin KTP), dia bilang, kalo cowok cakep kayak dia ga sudi 'jadian' denganku. Bukan main panas sekali hatiku dengan lagak si cowok tadi. Sejak itulah, aku alergi hang out dengan cowok-cowok cakep apalagi yang (sok) cakep tapi memang cakep! Pfuh!
Akhirnya aku suka hang out ma cowok biasa-biasa aja, tapi nyenengin. Apalagi kalo tuh cowok agak-agak kuper, aneh-aneh wae dan selalu kena abuse teman-temannya, wah, aku kepengen banget jadi teman mereka. Mungkin aku ketemu teman senasib, atau aku selalu berpikir positif, di balik kesulitan ada kemudahan, serta di balik temen ancur gini ada hal-hal positif yang tidak kita ketahui dan bikin kita kagum. Dua jempol untuk rasa empatiku tersebut. Tapi memang kuakui, mereka banyak membuka mataku, bahwa dunia tidak selalu milik orang-orang bertampang kece yang selalu mendapat kemudahan karena mereka lebih enak dipandang. Banyak juga orang-orang biasa tersebut memiliki berbagai kelebihan unik yang banyak berguna untuk orang lain. Justru, karena sulit mendapatkan segala sesuatunya, maka kita yang sederhana dan ga dipandang ini lebih kekeuh berusaha. Kita berusaha keluar dari segala keterpurukan dan rata-rata menjadi tidak kuatir dalam berjuang. Subhanallah... apa jadinya konsep survival of the fittest yang mungkin ga nyambung dengan konsepku tadi.
Yang paling seru juga waktu aku ketemu artikel berikut:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/07/tampan-dan-mapan-bukan-pilihan/
yang intinya pria tampan dan mapan tidak terlalu diimpikan wanita menjadi suami idaman. Soalnya, karena mapan dan ehem, tampan, mereka juga disukai banyak wanita lain, jadi agak-agak kuatir kalo-kalo dia akan 'sulit setia'.
By the way, ngapain aku membahas cerita ga penting ini ya? Soalnya beberapa hari lalu aku mendengar sendiri, cowok yang kukira sama normalnya dengan kami walaupun mungkin sedikit lebih kece, ternyata ga jauh beda dengan cowok-cowok cakep yang kukenal dulu. Dia kira aku mau ngobrol dengannya karena dia 'the most good looking man' di lab. Huh, aku mencibir sendiri. Maaf ya jeung, standar amat sih, kamu!
Perth,
CW, sok cakep, ah... norak!