Agak di luar kebiasaan sebenarnya, hari itu aku jadi
penasaran dengan dua orang mahasiswi. Wajah mereka kerap cemberut, terlebih
lagi saat aku mengomando tiap orang untuk mencoba soal di papan tulis.
Kuperhatikan, tiap aku mengatakan waktu atau cek, maka wajah-wajah tadi tampak
lebih masam dari sebelumnya. Aku sampai tidak sabar sendiri ingin menegur
mereka saat itu juga.
Kesempatan itu datang pada pertemuan berikutnya. Kupikir
momen terbaik untuk berani adalah saat kita sedang fokus pada sebuah hal
sehingga reaksi negatif yang diterima tidak terlalu mengganggu suasana hati.
Pelan-pelan kutepuk punggung kedua mahasiswi tersebut lalu meminta mereka untuk
menemuiku setelah kuliah berakhir. Kulihat mereka sedikit kaget dengan
panggilan mendadak tersebut.
Keduanya duduk di depanku dengan sedikit canggung. Siapapun
dipanggil mendadak tanpa merasa melakukan sebuah kesalahan tentu saja perlu
merasa demikian. Tetapi aku sudah siap dengan senyuman sangat lebar
sampai-sampai bibirku yang cukup kering terasa pecah-pecah. Tidak perlu
khawatir, kataku ramah. Ibu hanya ingin kalian melakukan sesuatu.
“Ibu hanya ingin kalian berdua lebih sering tersenyum”.
Mereka berdua melongo.
“Iya, ibu ingin
kalian rajin tersenyum di kelas ibu.” Lanjutku tanpa merasa bersalah.
“Pasalnya, setiap melihat kalian cemberut saat mengerjakan
soal-soal latihan, ibu merasa tidak enak hati. Padahal anda berdua kan sedang
belajar, menuntut ilmu, tetapi malah terlihat tersiksa. Kalau demikian,
bagaimana ilmu itu bisa dipahami dan dikuasai, apalagi diamalkan? Sedangkan
kalian berdua terlihat tidak menyukainya.”
Begitu alasanku.
Kedua mahasiswi tersebut tersenyum malu-malu.
“Yak, demikian. Ayo senyum yang lebih lebar lagi,” aku terus
menyemangati.
Kami semua tertawa. Sungguh, kedua wajah cemberut yang tidak
kusukai tersebut mendadak berubah lebih manis.
“Perbanyak senyum saja di dalam kelas ibu,” pesanku lagi.
“Kalau rajin tersenyum, Insya Allah hal-hal yang terasa
sulit akan terasa lebih ringan. Apalagi kalian berdua sangat rajin belajar,
mengapa harus merusak semangat dengan cemberut-cemberut tersebut. Lagipula,
kalau anda berdua tersenyum, ibu di depan akan lebih senang dan bersemangat
mengajar anda. Bisa ya?”
Mereka menganggukkan kepala. Lalu permisi untuk keluar
kelas.
Hah, pikirku. Ternyata menjadi dosen tidak hanya harus
pandai memberikan kuliah dan menyemangati mahasiswa. Mengajari mahasiswa untuk
tersenyumpun, kadang kala harus dilakoni.
Pekanbaru,
Ssst, salah seorang dari mereka terlihat lebih manis sejak
rajin tersenyum di kelasku. Disamping itu ia jauh lebih modis dalam penampilan
dan coba tebak, ternyata dapat A!