Cerita ini untuk seorang teman baikku, karena aku seperti
melihat diriku yang lama saat setelah cukup lama mengenalnya.
Egois sekali, rutukku dalam hati. Tidak mampu menenggang
perasaan orang lain. Memperlakukan orang sesuai moodnya sendiri. Tiba-tiba
marah, tiba-tiba gelisah, tiba-tiba mendiamkan orang di sekelilingnya. Tidak menghormati
orang lain jika ada pikiran sendiri. Rasanya tidak mungkin ada orang yang betah
berlama-lama dengannya. Tidak heran, sebab itu dia sering terlihat sendirian.
Seperti itulah kiranya diriku beberapa belas tahun lalu. Sepertinya
hidupku hanya berputar pada pekerjaan, perform, perform, dan perform. Semuanya
kusukai, kuteliti, kuperbaiki dan kupersembahkan. Aku merasa lebih bermanfaat
dengan sebuah cara tersebut. Sampai-sampai aku membawa laptop dan printer ke
ruang tidur. Hanya karena khawatir kehilangan waktu mengerjakan sesuatu yang
kukira berguna dalam hidupku.
Tetapi di sisi lain, aku menjadi seorang fakir kasih-sayang.
Pekerjaan dan kesibukan tidak habis-habisnya telah menggerogoti keinginan untuk
berbuat baik pada orang lain dan memberikan mereka kasih sayang. Rasanya lebih
banyak kehilangan teman daripada mendapatkannya. Padahal aku bukanlah seseorang
yang kaku. Hanya karena pikiran burukku bahwa kalau bergaul dengan orang tidak
baik akan meracuni secara negatif, maka aku memilih tidak bergaul dengan
mereka.
Apa yang didapat?
Kasihan sekali. Rasa was-was dan penuh prasangka karena buta
mata hati. Kesempatan-kesempatan baik berkumpul dan mempelajari orang lain
banyak terlewatkan begitu saja. Hidup hanya sebuah dimensi yang bermanfaat bagi
diriku sendiri. Sulit mendapatkan penerang saat semua hanya ‘me-me-me’ saja.
Aku jatuh dalam perangkap jalan sunyi super sepi dan menutupi kehilangan dalam
diri dengan bekerja lebih keras lagi.
Saat titik jenuh telah tercapai, aku mengedarkan pandangan
dan melihat kehidupan inspiratif beberapa kawan dekat. Mereka orang-orang baik,
suka berbagi dan menyenangkan orang lain dengan hal-hal sederhana. Seringkali
mereka harus mengorbankan kepuasan dan target pribadi demi menolong orang lain.
Mereka selalu ada untuk siapa saja yang membutuhkan. Tidak segan-segan
mengulurkan tangan dan berbagi nasehat pada orang-orang di dekatnya. Jarang
menjauh saat diperlukan dan jarang mendekat jika hanya menginginkan sesuatu.
Aku melihat hal lain yang tidak pernah kuduga. Meski mereka sangat sibuk dengan
membantu orang-orang, tetapi mereka tetap bisa menyelesaikan target pribadi
sesuai waktu. Sepertinya Allah membantu mereka karena mereka suka membantu
orang lain dengan ikhlas.
Di situlah kuncinya. Semua bantuan untuk orang lain
dilakukan secara ikhlas karena ingin mendapatkan ridha Allah. Bukan karena
ingin mendapatkan pengakuan manusia lain. Tetapi murni karena menyayangi Allah
dan ingin mendapatkan ridha atau persetujuan dari Allah. Sama seperti saat kita
menginginkan ridha dari orang yang kita hormati dan kagumi.
Kini aku tidak mau kehilangan kesempatan membantu satu
orangpun dalam konteks kebaikan. Secara perlahan, beraneka cahaya menyinari
kepribadianku. Hidupku tidak satu dimensi lagi. Ada dimensi keluarga,
sanak-saudara, teman-teman, tetangga, mahasiswa dan masyarakat. Semua membuatku
jauh lebih sibuk, tetapi anehnya pada saat yang sama tidak menyulitkan
pekerjaan dan target yang ingin kucapai. Pergaulan dengan berbagai tipe orang
memperkaya sudut pandang, pemahaman dan perbuatan sehingga aku menjadi semakin
sabar serta toleran dengan perbedaan-perbedaan. Aku tidak menghindar lagi dari
hal-hal menyesakkan tetapi berkawan dengan semua keadaan.
Kuharap temanku tidak berpikir aku tengah menyindirnya.
Tetapi, ini kutulis sebab aku menyayanginya karena Allah. Aku hanya ingin dia insyaf
dan belajar dari kesalahanku sebelumnya.
Pekanbaru,
2 comments:
Serasa belajar filsafat ya mbak... hehee
I think so...:)
Post a Comment