Friday, July 2, 2010

Draw a longer line


Seorang teman tercinta pernah bertanya, kok dalam hidup kita ada aja ya, orang-orang yang membuat kita trauma? Maksudku, orang yang annoying, bikin kita sebal dengan pernyataan/pertanyaannya, kurang sensitif ma keadaan kita, dan yang paling ga seru, ya karena orangnya itu-itu juga!

Apalagi kalau semakin kita mencoba menjauhi orang tersebut, maka kok tidak bosan-bosannya masih ketemu juga orang yang bersifat sama. Pendeknya, kesabaran dan kelincahan kita berkelit dicoba-coba terus.

Dengarkan cerita berikut yang dicopas dari Wisdom 2.0:

"A Zen teacher once walked up to a chalkboard and drew a vertical straight line. He then sat down and asked his students to tell him the best way to make the line shorter.

One student said to erase some of the line at the top.
Another suggested erasing some at the bottom.
A third suggested he erase part of the line in the middle.

The master shook his head after each response. The students were confused, wondering.

How else does one make that line shorter?

Believing they had used up all their options, one student said, "We give up. We see no other possibilities!"

Walking back up to the chalkboard, the master drew an even longer vertical line next to the first one.

"This is how you make the first line shorter," he said.

Moral cerita tersebut, dalam tiap hubungan dengan orang lain, mari kita kurangi fokus untuk mengubah seseorang dari kulit luarnya dan bagaimana kita dapat meningkatkan kekuatan diri kita dari dalam.

Ingat cerita 'teman yang suka mengeluh itu, kan?'

Tadinya aku begitu jengkel dengan aksi mengeluh tersebut. Kalau dulu aku pernah mencoba untuk menghindarinya, dengan a) mengerjakan riset di rumah, b) meninggikan suara atau membanting-banting kertas karena jengkel, c) pakai headphone supaya tidak terdengar suara keluhan tersebut, atau d) pasang muka angker biar dia tau aku lagi sebel. Tapi yay, kok semua itu berakhir dengan diriku yang tidak lebih hepi dari semula dan tidak bisa juga konsentrasi dengan pekerjaanku.

Akhirnya aku mencoba melihat hal tersebut sebagai berikut,
satu, mungkin dia memang menyebalkan,
atau yang kedua, mungkin Allah mengajariku agar bisa bersabar dan lebih meningkatkan standar kesabaranku saat ini.
Sehingga, aku bisa
a) cuek saja, atau
b) mencoba menggambar garis yang lebih panjang.
Aha!

Aku kembali mencoba bekerja di kantor walaupun ia ada saat itu, tidak menggunakan headphone, serta berusaha tidak marah-marah lagi dalam hati tiap dia mulai resah sembari berkeluh kesah. Aku mulai menyadari bahwa dia memang suka mengeluh dan keluhannya ternyata tidak perlu selalu ditanggapi. Just, diamkan saja, terus fokus ke ketikanku, bacaanku atau huruf-huruf di depan layar. Aku mencoba tidak menganalisa keluhan-keluhannya lagi. Jika kurasa suaranya atau hummingnya mulai menggangguku, sedapat mungkin aku kembali fokus, fokus dan fokus ke pekerjaanku. Sesekali aku menarik nafas panjang, untuk melegakan kesempitan hatiku ini. Ibaratnya aku sedang menutupi lubang demi lubang dalam hati yang sempat tergali karena rasa jengkelku tadi. That's it!

Lama-lama setelah kupraktekkan, kok rasa jengkel mulai berkurang ya. Aku telah berusaha menaklukkan harapanku untuk mengubah dirinya! Aku mulai menerima keberadaannya dengan lebih arif.

Jadi, daripada sutriss berharap orang lain berubah, kenapa tidak diri kita saja yang berusaha menggambar garis yang lebih panjang, berusaha mengontrol dan mengubah hal yang bisa kita ubah, yaitu diri kita sendiri!

Perth,
good thought!