Saturday, June 12, 2010

Kenapa mesti mengeluh?


Hari yang indah, pikirku penuh semangat melangkah ke kantor. Langit bersih biru tanpa setitik awan. Pohon hijau meneduhkan rumput yang dipenuhi bunga kuning dandelion. Burung gagak sebesar ayam yang suka main di depan kantorku berlarian saat aku mendekati mereka. Angin begitu segar bertiup seolah setuju, hari ini begitu perfect untuk memulai riset!

Aku membuka komputer, mengecek email dan melirik game bentar. Husy, bentar, kok! Lalu kubuka laptop miniku yang sudah rutin kugunakan dua bulan ini. Aku ingin memenuhi targetku, menulis tesis setidaknya dua jam sehari!

Kulihat paragraf dan sub bab yang masih bolong-bolong di sana-sini. Ah, yang penting sudah dimulai pekerjaan ini, daripada ingin bagus langsung, sangat tidak mungkin. Aku mulai mengetik beberapa kalimat baru saat pintu kantor dibuka...

Terdengar suara "ahhhh...." gaya khas teman sekantorku. Datang dengan nada mengeluh.

Kok 'ahhh' sih? Tiba-tiba aku jadi sedikit emosi dalam hati.

Tetapi sudah jadi kebiasaannya beberapa tahun belakangan ini untuk datang dengan nada khas mengeluh. Tentu saja dalam kondisi normal akan jadi bertanya, what's going on, terus jadilah kemudian setengah jam berikutnya kita akan mendengarkan keluhan demi keluhan dari dirinya tentang berbagai hal. Maksudnya, apa itu ya, supaya aku ikutan freaking out dan tidak fokus pada pekerjaanku lagi?

Aku ingat masa-masa awal datang ke mari. Rasanya semua tidak benar. Supervisor lah, lab lah, teknisi lah, semua-muanya serba membuatku mengeluh. Aku datang ke pojok sana, mengeluh. Datang ke rumah teman, mengeluhkan hal tersebut lagi. Berjam-jam menelpon hubby mengeluhkan hal yang sama. Pokoknya, ngeluh, melulu topiknya.

Saat aku datang berkunjung ke rumah teman untuk kumpul-kumpul, kurasa ngeluh mode, akan ON. Aku sudah mulai satu kalimat tentang supervisorku. Eh, tanpa kusadari, ada teman mulai beringsut duduk di dekat pintu. Kulanjutkan keluhan tentang labku. Eh, teman kedua permisi mo ambil makanan, tapi tidak kembali. Aku masih belum nyadar, masih ngeluh terus tentang hal berikutnya. Teman yang masih sabar nyengir kuda doang, tapi terus berbalik menyapa teman lain. Well, singkatnya, aku tinggal sendiri di dekat setumpuk sandwich, karena tidak ada yang mau makan sandwich atau takut tertular energi negatif keluhan-keluhanku?

Pulangnya aku berpikir keras. Tersinggung juga sih, ditakuti orang seperti itu. Semua punya problem dengan supervisor, riset, etc, tapi kuperhatikan, tidak ada yang curhat di sana. Walau gengsi membludak, aku introspeksi diri. Betapa tidak enaknya menjadi manusia yang kerjanya mengeluh sana-sini. Selain menurunkan semangat diri sendiri, orang lainpun takut dekat-dekatku lagi. Takut tertular aura energi negatif dan ikutan moody, kali!

Nah, sama dengan temanku yang tercinta ini. Setiap dia menghela nafas disertai bunyi keluhan itu, betapa banyak jatuh level semangatnya.

Kalau dia tengah gelisah seperti itu, aku semakin keras menyuruh diriku untuk berusaha bersikap tenang. Masalahnya aku tau, jika aku marah atau naik darah menyuruhnya tenang, maka bisa berakibat buruk, apalagi kalau salah omong. Kupikir-pikir, sebenarnya sikap diamku mungkin membuatnya gelisah. Padahal aku tidak tenang loh, lagi syok malah, karena bingung juga dengan risetku. Tapi ya itu, penampilanku yang tenang akibat sudah pasrah ma Allah itu seperti ingin diruntuhkannya, agar aku ikut gelisah juga. Jika aku gelisah, apakah dia akan menjadi lebih tenang?

Alangkah anehnya hubungan pertemanan sesama wanita! Jika seseorang berada di emergency pilot, apakah kita harus solider turut terjun dalam suasana yang sama?

Setelah tidak dapat mengingatkan ia lagi dengan sabar, maka aku mengambil sikap kalau aku tidak akan turut dalam emergency pilotnya. Aku punya pilihan untuk tetap tenang, tidak terpancing dan meneruskan pekerjaanku. Kukira temanku harus belajar juga bahwa keadaan seperti ini akan dia lewati bersamaku hingga kami lulus, karena aku akan hadir di kantor mengerjakan tulisanku dan menyelesaikan tesisku.

Maaf teman.
Semua kita sedang berjuang, kan. Marilah kita sama-sama menyemangati satu sama lain. Mudah saja, loh. Tetaplah bersikap tenang dan tawakal kepada Allah. Insya Allah kita akan sama-sama sampai di tujuan akhir kita.

Lagipula, apa lagi yang ingin kita keluhkan habis-habisan seperti itu? Toh, masih diberikan Allah kesempatan sekolah di tempat yang indah ini, tidak perlu keluar biaya sendiri, bisa mendapatkan sebuah ilmu baru tiap hari, mendapat pahala karena bekerja keras menuntut ilmu sambil mengurus keluarga, dan masih banyak lagi hal lain yang bisa disyukuri.

Keluhan-keluhan kita itu sungguh membuat hati kita jauh dari bersyukur kepada Allah.

Stop mengeluh, ayo tetap berjalan, walaupun harus terseok-seok dan tertatih-tatih...

Perth,
untuk salah satu teman yang kusayangi di kampus...