Museumdofr Cloppenburg merupakan sebuah museum pertanian lengkap dengan rumah, kandang, kincir angin, dan industri rumah tangga untuk mempelajari sejarah pertanian dan budaya sekitar tahun 1800-1900an.
Sebuah sudut dekat rumah petani miskin di museum Cloppenburg. |
Museum Cloppenburg sendiri terletak di kawasan seluas 20 hektar dengan sekitar 50 buah bangunan terdiri dari rumah pertanian (petani kaya, ekonomi menengah dan miskin), gedung pertemuan, gedung sekolah, tempat ibadah, tempat kerajinan (keramik, peralatan perak, peralatan berkuda, pembuat sepatu, tukang kulit) dan rumah-rumah pelayan. Museum ini sebenarnya dibuka pada tahun 1936 dan direnovasi kembali pada tahun 1962, setelah sempat dihancurkan dalam perang dunia kedua pada tahun 1945.
Rumah petani kaya dan tipikal bangunan toko souvenir, atapnya saja lebih dari 15m! |
Souvenir khas dari clay. |
Kunjungan pertama rombongan kami adalah rumah petani kelas menengah. Dari dalam ruangan tercium asap kayu terbakar yang sangat mengingatkan aku pada rumah gaek-nenek di kampung dulu. Asap bercampur aroma rumput dan bau ternak, benar-benar membantu kami merasakan suasana di rumah pertanian secara langsung. Untuk bahan bakar, mereka menggunakan tanah gambut yang dibentuk menyerupai kayu. Perapian tersebut dinyalakan setiap hari. Sebenarnya aku tidak bisa membayangkan duduk-duduk di sekitar api pada malam hari berkabut asap memedihkan mata demikian, tetapi memang listrik dan gas belum menjadi fasilitas hidup pada masa itu.
Suasana pedesaaan di Cloppenburg dengan tanaman endemik lokasi tersebut. |
Akhirnya kami mengunjungi rumah petani kaya. Untuk petani kaya, aku dan kawan-kawan bisa memahami perbedaannya dengan rumah petani miskin karena memang lebih luas, tertata dan mewah dari rumah petani-petani pada masanya. Persis dalam buku 'Anak Tani' atau 'Farmer Boy' tulisan Laura Ingalls Wilder, aku bisa melihat ruang tamu milik keluarga kaya yang elegan dengan perabotan pilihan serta peralatan makan berselera tinggi.
Ruang minum teh atau ruang keluarga milik petani kaya. |
BMW pada masa itu? *smile* |
Kompleks museum itu memiliki sebuah bangunan untuk sekolah anak-anak. Terletak di samping rumah ibadah, sekolah dengan beberapa tempat duduk memanjang serta kursi tinggi milik guru merupakan interpretasi menarik mengenai suasana ruangan sekolah masa itu. Kami diminta duduk di bangku-bangku yang terbagi khusus untuk anak laki-laki dan perempuan dan seseorang berlagak menjadi guru sambil menunjuk alfabet bahasa Jerman di papan tulis.
Kelas kecil kami yang penuh protes (photo is courtesy of drchawin.com) |
Perjalanan di kompleks tersebut tidak hanya mengunjungi rumah dan sekolah, juga beberapa fasilitas lain seperti kincir angin, pabrik roti, rumah khas petani modern, lumbung penyimpan, gudang, dan kandang ternak. Di akhir kunjungan kami diundang masuk ke dalam cafe di museum untuk mencicipi kue tart khas terbuat dari gandum dan krim segar, mirip cheesecake dengan rasa cherry atau strawberry (aku lupa). Kami juga boleh minum teh khas desa tersebut sepuasnya. Ruangan minum teh itu agak temaram, terkesan sejuk dan nyaman untuk berbincang-bincang dengan kawan-kawan beberapa saat lamanya.
Beberapa orang bersantai dekat cafe sambil mencicipi minuman khas, sedang aku dan sahabatku T-O memilih berjalan-jalan di sekitar kincir dan menikmati cahaya matahari meninggi serta angin musim gugur yang tidak begitu sejuk.
View dari kincir angin tempat aku dan T-O bersantai sore itu. |
Saat melintas di sebuah jalan, aku melihat sebatang pohon sarat dengan buah apel siap dipetik yang menjadi penanda bahwa musim gugur sudah dimulai. Mirip dalam cerita-cerita yang selalu kubaca dalam buku-buku Laura atau penulis empat musim, musim gugur merupakan saat petani bekerja keras mengumpulkan, mengawetkan, dan menyimpan hasil panen untuk dinikmati saat musim dingin hingga musim semi menjelang. Cerita-cerita yang kerap kubaca sedari kecil kini jelas tergambar dalam kunjunganku ke museum desa Cloppenburg. Kehidupan petani merupakan filosofi sebuah siklus hidup. Dimulai dari menanam benih, menyiangi, memupuk, merawat, memanen, dan menikmati hasil panen pada akhirnya nanti merupakan simbol-simbol aktivitas dalam perjalanan hidup seseorang di bumi ini.
Pekanbaru,
Alhamdulillah.