Monday, May 9, 2011

There must be a way



Kupandangi sisa abu terbang yang telah menggumpal keras dalam tong plastik tempat penyimpanan. Cuma tinggal satu tong saja, atau sekitar 50kg. Untuk menyelesaikan risetku, aku butuh sekitar 250kg lagi. Ingin rasanya menangis mengingat jawaban yang diberikan manajer lab tadi pagi. Mereka telah memesan abu terbang tersebut, tetapi pihak Ash Australia membutuhkan waktu cukup lama untuk mengumpulkan, mengepak dan mengirimkannya, karena mereka tidak dapat mengirim dalam jumlah kurang dari 500kg, setidaknya 2 ton. Untuk sementara, aku mungkin harus menunggu sekitar 3-6 bulan lagi, yang artinya harus fleksibel dengan jadwal risetku.


Keesokan harinya aku menemui Rob, seorang teknisi lab senior yang cukup akrab denganku. Ia mencoba menenangkanku.


“I’m sure there must be a way, Monita”, katanya dengan nada meyakinkan.


“We’re gonna try to contact them again, to ask wether they can provide you with 250kg of fly ash now or not. In the mean time, just do as much as you can, and hopefully thing’s are going to be sorted out in a best way”.


Dengan lesu akupun minta diri.


Sambil terus berjalan kembali ke lab, aku berpikir-pikir, hmm, benar sekali apa yang dikatakannya, “There must be a way”…


Bukankah Allah telah berfirman, “Di balik kesulitan ada kemudahan”… kalau ada kemudahan, berarti ada semacam jalan keluar ya? Baiklah, aku tidak boleh menyerah, Insya Allah ada jalan keluar dari kesulitan ini.


Tiba-tiba pikiran positif tadi terasa seperti sebuah semangat baru. Aku lebih baik tetap melaksanakan rencanaku daripada berkeluh-kesah memusingkan kapan abu terbang akan datang. Aku akan terus membuat sampel, seolah-olah tidak ada hal besar yang terjadi. Semua rutinitas membuat sampel dimulai: membuat bahan kimia, menyiapkan cetakan beton, menakar kerikil, pasir dan abu paling berharga yang pernah aku miliki. Setiap hari aku datang mengerjakan persiapan itu, sampai akhirnya dua minggu kemudian, sampel-sampel dari setengah tong abu terbang yang tersisa menghiasi tempat penyimpanan di ruang perawatan.


Tetapi biarpun semangat begitu tinggi saat pembuatan sampel di bagian pertama, pembuatan sampel bagian kedua malah membuatku kembali tertekan. Setengah tong abu terbang terasa begitu berharganya melebihi tumpukan uang dan emas bagiku saat itu. Aku harus hati-hati sekali agar tidak membuang-buang satu gram abu terbangpun. Semua harus dilakukan dengan cermat agar aku tidak perlu mengulang pembuatan sampel tadi. Tiga bulan menunggu tadi, bisa jadi enam bulan, dan… baiklah, baiklah. Aku tidak mau berpikir negatif kembali. Semoga Allah memberikan jalan keluar lebih cepat sehingga tidak ada penundaan lagi dalam pembuatan sampel.


Rutinitas mempersiapkan ‘batch’ berikutnya dimulai kembali. Seteliti dan sehati-hati mungkin semuanya aku kerjakan. Sekali salah, tidak ada jalan untuk kembali. Karena, apa mau diperbuat, abu terbangnya akan habis! Penundaan berarti keterlambatan dan ketergesa-gesaan di kemudian hari. Saat inipun belum pasti hasilnya seperti apa, karena material ini begitu sensitif, memerlukan cara dan perlakuan khusus agar dapat terbentuk. Belum pernah setekun itu aku berdoa, terutama pada saat pembuatan sampel, apalagi dengan persediaan abu terbang terakhir yang mungkin... aku tidak dapat melanjutkan.


“There must be a way” suara Rob, si teknisi senior menyemangatiku.


“Allah akan memberi kemudahan, jika kita yakin seperti itu”, suara suamiku terngiang di telinga.


Suatu hari, aku baru saja selesai memindahkan puluhan sampel yang baru ke dalam ruangan ‘curing’. Tiba-tiba secara mengagetkan, Rob muncul di depan pintu dengan wajah berseri-seri, “Come on, come on” tangannya memberi kode untuk keluar ruangan.


“I’ll show you something”.


Ia berjalan di depanku tergesa-gesa tanpa mengatakan apapun. Daripada pusing menebak, aku memutuskan ikut saja dengan Rob dan meihat apa yang ingin ditunjukannya.


“Look what I’ve found!” ia membuka pintu ruangan penyimpan. Lima belas ember plastik berwarna putih berukuran sedang yang disegel tersusun rapi di pojok gudang.


“Yes?” Aku melihat Rob dengan wajah penuh tanda tanya.


“Your fly ash! I’ve just found eleven buckets full with fly ash from the last batch. Helen ordered them; unfortunately it arrived a kind of bit late so she can’t use it. So, they’re yours!”


Jika aku bisa pingsan, mungkin sudah dari tadi karena tidak dapat menahan luapan kegembiraan dan kelegaan dari dadaku ini! Subhanallah, Alhamdulillah… terima kasih, Allah!


Tak bisa berkata-kata, aku hanya melihat Rob dengan rasa haru sambil berterima kasih. Menurut Rob, semua ember itu ditemukannya secara tidak sengaja tadi pagi saat ia mencoba mencari beberapa ‘spare part’ di gudang. Saat melihat tumpukan ember itu, ia kembali teringat bahwa Helen, salah seorang postgrad pernah memesan tambahan abu terbang. Rob mengira Helen telah memakai semua simpanannya, tetapi kebetulan ia tidak pernah menggunakannya karena risetnya harus selesai beberapa bulan lalu. Yah, begitulah, selama ini abu terbang tersebut hanya duduk diam di gudang tanpa ada yang mengetahui nasib mereka.


Subhanallah, bukan main, bantuan Allah ini! Jalan keluar bagi kesulitanku! A way… akhirnya!


Sambil berjalan kembali ke lab untuk membereskan sisa-sisa pekerjaan hari itu, rasanya beban berat yang menghiasi rongga dadaku selama sebulan ini telah lenyap. Sungguh bersyukur, karena sudah ada jalan keluar tidak disangka-sangka dan memang tak ada yang menyangka.


Sebelas ember berisi abu terbang seberat 20kg per ember, sama dengan 220kg, cukup untuk digunakan untuk saat ini! Insya Allah, pembuatan sampelku tidak tertunda dengan bantuan dari Allah itu. Aku juga betul-betul bersyukur untuk satu hal lagi! Allah tetap memberi semangat agar aku tidak putus asa dan tetap bekerja menyelesaikan semuanya, sehingga sekarang tidak kehilangan waktu!


Perth,