Monday, May 23, 2011

Ke New Zealand kami bertualang (bagian 5: Haast-Queenstown)


Malam itu kami tidur dengan nyenyak di Haast lodge, meskipun suara dengkur tetangga sangat keras! Aku baru menyadari hal itu saat terbangun untuk shalat subuh. Mumpung masih pagi, aku cepat-cepat memasak sarapan dan bekal makan siang di jalan. Hanya ada seorang mbak dari Eropa yang sedang berskype-ria di common room dekat dapur. Sepertinya tempat ini penuh orang-orang dari Eropa, karena mayoritas dari mereka berkomunikasi dengan bahasa Jerman, Perancis atau Swedia, tadi malam. Dapur itu lengkap dengan peralatan memasak, kulkas besar, pantry lebar, kompor dan colokan listrik di sana-sini. Sepertinya, lima orang bisa memasak bersama di sana tanpa perlu berebutan alat dan fasilitas.


Baru pukul 8 pagi saat aku dan hubby berangkat meninggalkan Haast, sedangkan tamu-tamu lain sudah berangkat lebih pagi lagi. Tempat ini mirip daerah tropis di Sumatera Barat dengan hutan lebat, gunung berselimut halimun dengan puncak bersalju tipis, sungai-sungai kecil dangkal kebiruan dan berbagai ukuran air terjun. Benar-benar asli pemandangan Indonesia.

Menurut poster yang sempat kubaca di ruang umum Haast Lodge, sebenarnya tempat tersebut adalah hutan prehistoric yang tidak pernah dieksploitasi besar-besaran. Berbagai jenis hewan seperti ikan, capung dan burung memiliki bentuk khas tersendiri. Burung Kiwi, misalnya, burung nocturnal yang aktif di malam hari, banyak ditemukan di hutan tersebut. Lumut yang tak pernah kulihat sebelumnya, menutupi sebagian besar tanah-tanah di samping jalan setapak. Persis hutan-hutan yang masih ada perinya!

Meskipun alamnya beda tipis dengan Sumatera Barat, tetapi aku mengacungkan dua jempol untuk fasilitas bagi turis. Pertama, fasilitas umum seperti toilet terawat, bersih, kering, air sejuk dan ada kertas tisunya! Tempat ini biasanya berada dekat area piknik atau kemping lengkap dengan meja-bangku kayu. Tadinya aku sempat kuatir soal satu ini, tapi, syukurlah di sepanjang jalan, papan tanda male/female, tempat duduk plus pohon serta gambar tenda banyak ditemukan.


Kedua, tempat-tempat menarik untuk dikunjungi diberi penunjuk yang jelas. Awalnya, kami sering melihat mobil-mobil berhenti di tepi jalan dan penumpangnya berbondong-bondong menuju suatu tempat, yang kelihatannya seperti tepi sungai atau air terjun. Setelah diperhatikan, umumnya mereka berhenti di tempat dengan papan penanda berwarna hijau, yang berisi nama atraksi dan jarak tempuh berjalan kaki. Begitu tiba di tempat tersebut, biasanya ada papan informasi singkat mengenai tempat menarik lengkap dengan sejarah penemuannya.

Sebenarnya peta mengenai tempat-tempat menarik itu bisa didapatkan di ivisitor (pusat informasi turis) dan penginapan. Sayangnya aku baru mengetahui hal itu dalam perjalanan pulang ke Christchurch. Untunglah hubby yang setiap malam memasukkan informasi ke GPS sempat mengamati tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. So, I won’t feel too bad ketinggalan beberapa hal! Berikut adalah tempat menarik seperti Haast Gate, sungai dengan air kebiruan dan batu-batu besar tertata artistik.


Perjalananpun harus diteruskan, karena kami ingin tiba di Queenstown sebelum maghrib. Setelah meninggalkan kawasan tropis, vegetasi mulai berubah. Hutan lebat semakin jarang, padang rumput dan gunung lebih banyak terbentang. Hutan pinus lebih banyak terlihat. Persis dalam game ‘Transport Tycoon’, pikirku.

Tiba-tiba kami berada di tepi sebuah danau besar! 

It’s a lakeside driveway! Jalan di tepi danau Wanaka! Wuhu! Had a good feeling, melihat danau biru luas bertepi barisan gunung. Melihat pemandangan serupa ini, aku ingat kunjungan isi cerita ‘time machine’ di Gondola Christchurch, tentang sejarah terjadinya New Zealand. Barisan gunung dan ratusan danau sebenarnya hasil letusan puluhan gunung berapi masa prehistoric. Tidak heran barisan gunung dan danau yang terbentuk diselingi kawasan datar subur begitu memukau.

Belum sempat menemukan tempat untuk melihat Wanaka dari dekat dengan teliti, sebuah danau lain telah membentang di depan mata. Danau ini sepertinya lebih dangkal dari Wanaka. Di tepi danau terdapat banyak padang rumput sehingga pemandangan domba dan sapi merumput lebih sering terlihat. Tanaman lupin liar berwarna kuning yang tumbuh berkelompok juga turut menambah asri tepi danau Hawea. Aku yang sudah tidak sabar ingin berhenti menghirup udara danau, meminta hubby berhenti sejenak. Girang sekali melihat bunga-bunga tersebut. Again, belum sempat berimajinasi soal bunga dan danau ini, hubby mengajak bergegas, karena Queenstown masih jauh.

Setelah menyusuri tepi danau Hawea, kami diarahkan (bener loh), GPS menuju sebuah kota kecil di tepi Wanaka. Kota ini cukup unik, ramai dan penuh turis asing. Saat itu sudah pukul 12 dan hubby memutuskan untuk istirahat makan siang di sana. Lagi-lagi GPS menunjukkan jalan ke atraksi menarik, yaitu, tepi danau Wanaka! 

What a delightful surprise for me! 

Di tempat ini, kita bisa makan siang di pasir ataupun bangku-meja yang terdapat di tepi danau. Pemandangan yang ada, sungguh, luar biasa! Coba lihat dan beri nilai ya!

Kali ini kami sangat serius ingin tiba di Queenstown lebih awal dari rencana. Tetapi karena GPS menunjukkan jalan lain, bukan jalan umum yang biasa digunakan turis, kami sampai di daerah perbukitan. Bukit/gunung tersebut bukan dari pohon, tetapi batu-batu dan ribuan rumput-rumput fluffly yang memang khusus hidup di dataran tinggi. 

Aku belum pernah melihat tempat seindah ini! Kami berhenti di tepi sungai bening untuk berfoto. Melihat lingkaran rumput bekas api unggun di tepi sungai, tampaknya bukan hanya kami saja yang pernah berhenti di sini untuk menikmati pemandangan.


Setelah meneruskan perjalanan beberapa saat kemudian, kami baru menyadari kalau saat itu kami di puncak gunung! Saatnya berhenti kembali untuk menghirup udara segar dan memotret alam. This is awesome! Bukan kami saja yang berpikiran demikian, tetapi beberapa mobil juga berhenti di belakang. 

Bahkan dua orang wanita malah duduk di bawah pohon gosong ini sambil membaca dan minum kopi, tak terganggu dengan suasana sekelilingnya. Melihat gunung hijau di sebelah sana, sekilas warna biru dan bukit coklat penuh padang rumput, Subhanallah, aku terus bersyukur.


Aku dan hubby tidak hanya berpose di belakang gunung, tapi juga rela jalan berjongkok di pinggir tebing untuk memotret bunga Edelweiss. Lihatlah hasilnya!


Anyway, tempat tersebut ternyata merupakan area ski di musim dingin. 

Cardrona ski area pada musim semi penuh dengan pohon dan semak berbunga kuning, tetapi merupakan gunung landai bersalju di musim dingin. Dari tempat ini, kita harus melalui jalan ala kelok empat-puluh-empat danau Maninjau dari puncak gunung tadi untuk mencapai Queenstown. Wow, pemandangan super amazing disamping jalan bagus dan lebar menambah nilai plus bagi negeri kecil ini! Aku sudah tidak heran lagi kalau orang mau jauh-jauh datang dari Eropa ke negeri paling ujung di belahan Selatan bumi ini.

Tiba di Queenstown, kami langsung menuju penginapan, Shotover Holiday Park. Kami memilih cabin, dengan fasilitas umum bersama-sama. Tempat ini asri, kecil, unik, jauh dari pusat kota Queenstown. Untuk mencapai pusat kota, kita mesti melewati jalan berkelok di tepi bukit dengan pemandangan arung jeram Shotover Jet yang terkenal di dunia. Tempat ini pastilah sungguh romantis di musim gugur, pikirku, sambil mengamati deretan pohon pinus dan pohon-pohon semusim di sepanjang bukit. Kubayangkan warna-warna emas, kuning, merah, oranye, wow, aku harus kembali ke sana suatu hari nanti di musim gugur!

Queenstown dapat diamati dari Bob’s Peak, puncak tertinggi yang dapat dicapai dengan gondola. Tampaknya tempat ini seperti pusat internasional mini, karena puluhan orang berbagai bangsa menggunakan bahasa mereka dan hiasan bendera berbagai negara ada di tempat masuk. 

Saat naik ke gondola, aku yang berduaan saja dengan hubby di dalamnya malah sempat gamang. Samasekali tidak romantis, karena posisi gondola yang kelewat curam. Perjalanan mengerikan ini terasa sangat lama. Di bawah sana kuamati jalan setapak dengan beberapa tiang untuk penerangan secukupnya, membuatku menyadari, jika terjadi kemacetan gondola, para turis di atas sana harus siap turun bukit melalui jalan setapak tersebut.


Kota Queenstown yang terletak berdampingan dengan danau Wakatipu (Wak Kena Tipu, kata teman-teman Malaysia), merupakan pusat olahraga dan kegiatan alam di pulau Selatan, New Zealand. Di sinilah bungey jumping, arung jeram, ski, trekking, golf, dan berbagai aktivitas olahraga ekstrim lain tergantung musim dilakukan orang dari berbagai negara. 

Pusat kotanya penuh dengan toko peralatan olahraga dan berbagai paket tour ke daerah jelajah sekitar Queenstown, seperti Milford Sound. Toko-toko tempat makan dan menjual bahan makanan bahkan buka selama 24 jam. Saat berbelanja, aku menemukan tumpukan indomie goreng di antara berbagai jenis makanan internasional di sana. Ikut excited juga, karena indomie goreng rupanya memang pantas memiliki citarasa internasional (seperti ceritaku tentang Mirre dahulu). Sedikit informasi, bagi yang ingin berkunjung langsung ke Queenstown, sekarang ada penerbangan langsung dari Melbourne, loh ke situ!

Bob’s Peak memiliki restoran formal dengan pemandangan kota dan danau Wakatipu. Tiap hari, kelihatannya puluhan orang datang menggunakan tur dari berbagai negara menikmati makanan di resto berkelas tersebut. Turis-turis lain menyempatkan diri mencoba atraksi khusus atau sekedar mengeksplorasi Bob’s Peak. Aku dan hubby menemukan banyak spot menarik untuk berfoto, menikmati bunga sakura bermekaran sambil melihat pemandangan million dollar danau Wakatipu.

Sudah hampir pukul 8 malam, tetapi langit masih terlihat cerah seperti waktu sore hari. Biar begitu, semakin banyak orang datang ke Bob’s Peak. Beberapa orang Jepang yang tampaknya sedang mengikuti sebuah konferensi di Queenstown, tergesa-gesa berjalan ke arah puncak bukit. Tak lama, aku melihat lebih banyak lagi peserta konferensi berbagai bangsa yang masih menggunakan badge nama berdatangan ke Bob’s Peak. Aku dan hubby berdiri rapi di pinggir menanti gondola mereka yang kini telah kosong.

Perth,