Lionel says:
Lionel Jonathan Louis
Monita Olivia says: oh Lionel, what a happy ending between you and the shoes:)
Aku hanya bisa terkikik geli membaca status temanku yang suka makan dan belanja itu. Hidup di Singapura yang identik dengan surga belanja sudah pasti tidak dapat mematikan nafsu konsumtifnya selama ini. Dari statusnya, bisa kutebak kalau Lionel sedang mencari pembenaran untuk sikapnya yang menyerah kalah pada ‘panggilan’ sepatu di etalase tersebut.
Bagi yang suka berjalan-jalan di mall, pastilah tahu rasanya. Apalagi kalau jalan-jalannya saat awal bulan. Rasanya semua baju-baju, sepatu-sepatu, tas-tas, aksesoris yang terpasang di manekin dengan lembut memanggil-manggil nama kita dari balik etalase, seperti dalam cerita Lionel. Kita berhenti di depan barang-barang itu, lalu diam-diam melirik ke dalam toko. Mata kita terpaut pada barang-barang lain yang ditata apik dan terlihat ‘catchy’ di meja pajangan.
Pelan-pelan kita melangkah ke dalam toko, dan hahaha…
Kita keluar dari toko menenteng dua-tiga tas belanjaan dengan riang.
Tetapi saat tiba di rumah, barulah kita sedikit menyesal. Rasanya kita belum terlalu butuh barang itu.
Familiar, kan?
Penyesalan sering terjadi karena mayoritas barang-barang yang dibeli sebenarnya belum terlalu diperlukan. Gaya belanja impulsif yang dilakukan tanpa pikir panjang tadi hanya semacam terapi emosi sesaat. Awalnya kita merasa gembira saat menenteng tas belanjaan, tanpa menyadari kalau perasaan menyesal belakangan bakal jadi lebih besar dampaknya pada ketenangan batin.
Gaya belanja impulsif ini tidak hanya melanda miss and mas jinjing yang hobi ke mall. Kurasa ibu-ibu maupun aku sering mengalami sendiri gaya belanja impulsif saat ke pasar tradisional. Apalagi saat melihat sayur-mayur yang segar-segar, wuih, biasanya aku mulai main ambil sambil berpikir kalau kami memerlukannya. Buah-buahan beraneka warna untuk snack yang so pasti sehat. Mm, minggu ini barangkali sudah jadwalnya makan seafood (biar tidak sering-sering lalu kena asam urat). Tahu, tempe, sayur asem, wah, wah, seger juga! Hubby cuma bisa geleng-geleng sambil menunjuk keranjang belanjaan, “apa ini ga kebanyakan untuk seminggu?” Ahem, aku pura-pura tidak mendengar sambil bergerak menuju kasir.
Sikap impulsif dalam berbelanja ternyata dapat diperbaiki. Prita Ghozie dalam buku ‘Menjadi Cantik, Gaya, dan Tetap Kaya’ memberikan saran-saran sebagai berikut:
(a) Kurangi acara ngadem di mall atau browsing di online store. Jika rute berangkat kerja melalui kompleks perbelanjaan, usahakan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal lain selain rasa ingin belanja.
(b) Buat daftar belanjaan saat sebelum berbelanja. Periksa isi lemari es dan tempat penyimpanan bahan makanan supaya tidak membeli bahan makanan yang sama berkali-kali.
(c) Buat wish-list untuk barang-barang mahal dan makan di resto mahal. Prita menyarankan agar kita membuat a wish list, semacam catatan keinginan dan saat kita menginginkannya. Kita baru boleh berbelanja satu item di wish list setelah satu bulan. Hanya satu item per bulan.
(d) Bawa uang tunai secukupnya. Jika kita memang sangat ringan tangan saat mengulurkan uang elektronik ke kasir, maka kita harus tega untuk meninggalkan kartu-kartu (debit, kredit, ATM) di rumah.
(e) Gunakan budget saat berbelanja.
(f) Pikirkan baik-baik apakah kita hidup untuk saat ini saja atau masih ada hari esok? Sukakah kita jika setiap bulan uang kita hanya tersisa sedikit saja? Bagaimana dengan rencana-rencana keuangan lain, rumah, kendaraan dan liburan? Kurasa pikiran seperti ini akan cukup manjur untuk mengerem sikap impulsif kita dalam berbelanja.
Prita ada di www.zapfin.com
Pekanbaru,
Monita Olivia says: oh Lionel, what a happy ending between you and the shoes:)
Aku hanya bisa terkikik geli membaca status temanku yang suka makan dan belanja itu. Hidup di Singapura yang identik dengan surga belanja sudah pasti tidak dapat mematikan nafsu konsumtifnya selama ini. Dari statusnya, bisa kutebak kalau Lionel sedang mencari pembenaran untuk sikapnya yang menyerah kalah pada ‘panggilan’ sepatu di etalase tersebut.
Bagi yang suka berjalan-jalan di mall, pastilah tahu rasanya. Apalagi kalau jalan-jalannya saat awal bulan. Rasanya semua baju-baju, sepatu-sepatu, tas-tas, aksesoris yang terpasang di manekin dengan lembut memanggil-manggil nama kita dari balik etalase, seperti dalam cerita Lionel. Kita berhenti di depan barang-barang itu, lalu diam-diam melirik ke dalam toko. Mata kita terpaut pada barang-barang lain yang ditata apik dan terlihat ‘catchy’ di meja pajangan.
Pelan-pelan kita melangkah ke dalam toko, dan hahaha…
Kita keluar dari toko menenteng dua-tiga tas belanjaan dengan riang.
Tetapi saat tiba di rumah, barulah kita sedikit menyesal. Rasanya kita belum terlalu butuh barang itu.
Familiar, kan?
Penyesalan sering terjadi karena mayoritas barang-barang yang dibeli sebenarnya belum terlalu diperlukan. Gaya belanja impulsif yang dilakukan tanpa pikir panjang tadi hanya semacam terapi emosi sesaat. Awalnya kita merasa gembira saat menenteng tas belanjaan, tanpa menyadari kalau perasaan menyesal belakangan bakal jadi lebih besar dampaknya pada ketenangan batin.
Gaya belanja impulsif ini tidak hanya melanda miss and mas jinjing yang hobi ke mall. Kurasa ibu-ibu maupun aku sering mengalami sendiri gaya belanja impulsif saat ke pasar tradisional. Apalagi saat melihat sayur-mayur yang segar-segar, wuih, biasanya aku mulai main ambil sambil berpikir kalau kami memerlukannya. Buah-buahan beraneka warna untuk snack yang so pasti sehat. Mm, minggu ini barangkali sudah jadwalnya makan seafood (biar tidak sering-sering lalu kena asam urat). Tahu, tempe, sayur asem, wah, wah, seger juga! Hubby cuma bisa geleng-geleng sambil menunjuk keranjang belanjaan, “apa ini ga kebanyakan untuk seminggu?” Ahem, aku pura-pura tidak mendengar sambil bergerak menuju kasir.
Sikap impulsif dalam berbelanja ternyata dapat diperbaiki. Prita Ghozie dalam buku ‘Menjadi Cantik, Gaya, dan Tetap Kaya’ memberikan saran-saran sebagai berikut:
(a) Kurangi acara ngadem di mall atau browsing di online store. Jika rute berangkat kerja melalui kompleks perbelanjaan, usahakan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal lain selain rasa ingin belanja.
(b) Buat daftar belanjaan saat sebelum berbelanja. Periksa isi lemari es dan tempat penyimpanan bahan makanan supaya tidak membeli bahan makanan yang sama berkali-kali.
(c) Buat wish-list untuk barang-barang mahal dan makan di resto mahal. Prita menyarankan agar kita membuat a wish list, semacam catatan keinginan dan saat kita menginginkannya. Kita baru boleh berbelanja satu item di wish list setelah satu bulan. Hanya satu item per bulan.
(d) Bawa uang tunai secukupnya. Jika kita memang sangat ringan tangan saat mengulurkan uang elektronik ke kasir, maka kita harus tega untuk meninggalkan kartu-kartu (debit, kredit, ATM) di rumah.
(e) Gunakan budget saat berbelanja.
(f) Pikirkan baik-baik apakah kita hidup untuk saat ini saja atau masih ada hari esok? Sukakah kita jika setiap bulan uang kita hanya tersisa sedikit saja? Bagaimana dengan rencana-rencana keuangan lain, rumah, kendaraan dan liburan? Kurasa pikiran seperti ini akan cukup manjur untuk mengerem sikap impulsif kita dalam berbelanja.
Semoga bermanfaat ya.
Prita ada di www.zapfin.com
Pekanbaru,