14 November
2010
Bunyi
kukuruyuk ayam membangunkan aku di pagi ini. Kupandangi langit-langit bercat
putih bersih tanpa noda di atas sana. Hari terakhir dalam rangkaian petualangan kami di South Island, pikirku. Aku segera bangkit ke kamar mandi untuk berwudhu sebagai persiapan shalat shubuh di penginapan honimun kami di Twizel.
Gus, si
Labrador usil
Selembar
kertas yang ditempel di dinding dapur berbunyi, “Please don’t fee our dog, we promise to feed him very well” berhasil menerbitkan tawaku. Seekor anjing Labrador hitam kelam berkeliaran di
luar sana berlari kian-kemari mengamati segala sesuatunya. Kadang-kadang ia
duduk santai di teras ‘rumah kami’. Aku bergidik ngeri, karena sangat takut
pada anjing. Untuk soal binatang-binatang, aku selalu merasa nyaman bila hubby
di sampingku. Ia dikenal sebagai seorang penyayang binatang. Buktinya, begitu
ia keluar rumah, Gus langsung menyongsongnya~ mungkin minta makan~ dan hubby
tentu saja tidak takut dihampirinya. Gus memang tidak boleh diberi makan. Pemilik
rumah tentulah kuatir anjingnya diberi makanan yang mengandung coklat dan
bawang putih.
Kota Twizel
Twizel
merupakan sebuah kota di daerah pegunungan yang terkenal dengan keindahan
alamnya. Sebuah airport kecil menghubungkan tempat ini dengan dunia luar, yang
sepertinya lebih sering mendatangkan turis-turis kaya. Olahraga terbang layang,
kunjungan turis dengan pesawat terbang ke puncak-puncak salju, peternakan wol
dan ikan salmon di danau merupakan hasil utama daerah ini. Penduduknya tidak
terlalu banyak dan pemukiman terletak cukup jauh dalam radius 40km dari pusat
kota. Siang itu saat kami tengah mengisi bensin, kami dikejutkan oleh suara
sirene yang cukup kencang. Mungkin telah terjadi kecelakaan, karena si pemilik
pom bensin dengan cepat masuk ke toko mengambil topi dan jaket safety lalu
berlari-lari menuji mobil pemadam kebakaran di sebelah pom bensin. Rupanya ia
juga seorang relawan fire brigade, selain pemilik pom bensin yang cukup besar
ini.
Twizel-Mt
John
Giliranku
menyetir hari ini. Hubby sudah cukup kelelahan dan berharap bisa santai sejenak
di bangku penumpang. Pemandangan indah
terhampar di depanku. Pegunungan dengan puncak bersalju, danau-danau biru muda,
semak-semak lupin beraneka warna terang, hutan-hutan cemara dan gerombolan
domba-domba menjadi teman baruku di jalan. Aku bersyukur sekali, ya Allah,
indah sekali tempatnya.
Setelah
satu jam menyetir, kami berbelok menuju Mt John Observatory, tempat planetarium
paling Selatan di belahan bumi ini. Dari brosur yang kubaca, planetarium Mt
John menjanjikan atraksi tersendiri di malam hari, karena kita bisa mengamati
bintang-bintang secara langsung.
Tadinya
kupikir tempat ini tidak terlalu fantastis. Tetapi begitu mobil mendaki jalan
kecil berliku dan memutar gunung, barulah aku menarik nafas dalam-dalam. This
is my first time driving with ‘matic’ car, mendaki gunung lagi. Pokoknya aku
harus bisa! Tekadku dalam hati. Hubby membantu memberi aba-aba. Di tengah
kengerianku, sambil menyetir aku takjub melihat pemandangan dari ketinggian,
yang terdiri dari pengunungan Selatan, danau-danau di sebelahnya dan kota-kota
kecil di tepinya.
Akhirnya
kami tiba di puncak Mt John, pfiuh, dengan selamat! Kukatakan begitu, karena
jalannya sangat kecil, curam, dan kecepatan angin dari samping sangat luar biasa sehingga
dapat membahayakan mobil kecil yang kukendarai. Untuk membuka pintu mobil saja
diperlukan kekuatan besar, karena anginnya betul-betul kencang. Kami
tertatih-tatih menuju sebuah bangunan kafe dengan tempat duduk besar-besar di
tepinya. Aku berseru, ya Allah… luarbiasanya!
Pemandangan
di tempat itu memang luar biasa. Sulit mengatakan bagaimana indahnya,
tetapi silakan lihat foto berikut ini.
Hubby dan
aku mengambil kesempatan untuk menikmati puncak dingin itu. Gedung-gedung
planetarium berkubah tersebut ditutup untuk umum, sehingga kami hanya bisa
berkeliling kafe ini. Sulit sekali berpose dengan baik, anginnya terlalu
kencang! Beberapa orang meminta tolong kepada hubby untuk memotret grup mereka.
Setelah puas dan kedinginan di luar, kami jajan sandwich vegetarian dan teh
jahe di kafe. Sepiring berdua dan segelas berdua… oh, romantisnya (baca: oh,
hematnya!)
Lake Tekapo
Tempat
terakhir yang ingin kami kunjungi ini sangat terkenal dengan resort-resortnya.
Pemandangan di Lake ini sama fantastisnya dengan danau-danau lain. Aku dan
hubby berhenti di tepi lake bersama-sama rombongan lain. Sudah tiba waktu lunch
rupanya. Sepertinya kami akan makan dan shalat zuhur di sana. Dua orang anak
muda mengeluarkan meja lipat mereka dan menyiapkan makan siang mereka. Di
sebelah sana, tiga orang, yang sepertinya ayah-ibu-anak, duduk menghadap
danau sambil memegang sandwich masing-masing.
Tempat ini sangat menyenangkan. Aku berlari kian kemari memotret bunga, danau, semak-semak lupin,
jalan kecil dipagari oleh lupin, lalu kembali lagi mendekati hubby yang sibuk spotting seekor lebah gemuk di semak lupin. Bermain di tepi danau seindah ini mengingatkan aku pada sebuah kejadian dalam buku cerita
Laura, saat mereka sekeluarga berhenti untuk berpiknik di tepi danau Pepin.
Pinggiran danau yang berbatu-batu, berair biru dan banyak semak-semak bunga musim semi,
rasanya persis seperti dalam cerita itu.
Goodbye,
South Mountain
Akhirnya
kami harus ngebut lagi menuju Christchurch. Langit terlihat mendung dan hujan
turun sesekali. Kami berhenti di sebuah spot, melihat ke belakang, deretan
gunung-gunung South Mountain dengan puncak bersalju seolah melambaikan tangan
kepada kami. Aku berharap, suatu hari akan dapat kembali ke sini bersama hubby
atau keluarga besarku. Insya Allah.
Perjalanan
melelahkan
Tibalah
pemandangan membosankan, yang dulu membuatku sangat excited. Padang rumput
hijau dihiasi bola-bola putih (atau domba), bahkan padang rumput kuning yang
dipenuhi sapi-sapi hitam merumput. Kepala kami terasa berat, tetapi perjalanan
harus terus dilaksanakan.
Kami
berhenti sejenak di sebuah kota kecil tetapi penuh turis yang sedang
beristirahat. Di tempat itu ada bangunan toilet yang dipenuhi pengunjung. Aku
berjalan pelan-pelan menikmati suasana, terutama bunga-bunga di depan rumah
penduduk. Mirip suasana countryside di Inggris. English cottage, hmmmh.
Kami
bergantian menyetir hingga tiba di Christchurch sebelum pukul 5 sore. Huahh,
mengantuknya… zzzz
Pekanbaru,
Til we meet again in another 'grand honeymoon journey'
No comments:
Post a Comment