Kalau
mendengar orang-orang mengeluh soal ‘menunggu’, biasanya aku suka senyum
sendiri. Sudah lama aku merasa kegiatan ‘tunggu-menunggu’ bukanlah sebuah
gangguan, melainkan segmen waktu paling produktif dalam hidup. Kenapa ya?
Belajar menunggu karena kondisi
Untuk
mencapai lokasi tempat SMA kami berada di Rumbai, maka aku dan teman-teman
harus naik bis selama satu jam dari perumahan di Minas. Paling-paling kegiatan
kami hanya sebatas mengobrol, main game, mendengarkan musik atau tidur-tiduran.
Setelah beberapa lama kami bisa membaca tanpa pusing di atas kendaraan, barulah
waktu perjalanan di atas bis menjadi lebih produktif. Beberapa orang memilih
membaca atau menghafal pelajaran dari buku catatan. Persiapan ulangan dua atau
tiga hari kemudian praktis lebih banyak dilakukan dalam perjalanan tersebut.
Teman-teman yang suka belajar di atas bis biasanya mendapatkan ranking tinggi
di kelas. Inilah yang kunamakan ‘produktif’ saat menunggu.
Aku juga
belajar untuk produktif saat menunggu keberangkatan kereta api dari stasiun
Gambir, Jakarta, ke stasiun Tugu di Yogyakarta. Setiap kembali dari liburan
Idul Fitri, biasanya pesawat yang kutumpangi akan tiba sekitar pukul 11 pagi di
Jakarta. Setelah Idul Fitri, antrian pembelian tiket di stasiun tersebut tetap
panjang. Aku pernah antri pada pukul 11 pagi untuk membeli tiket kereta yang
berangkat pukul 7.30 malam. Walhasil aku menunggu lebih dari 8 jam di stasiun
hingga waktu keberangkatan. Bagi orang-orang, membuang-buang waktu di stasiun
pastilah membosankan dan melelahkan. Tetapi bagi orang seperti itu, kesempatan
menunggu dapat menjadi ajang mencari kenalan baru, belajar bersosialisasi
dengan sesama penunggu, saat untuk menyusun rencana perkuliahan di semester
baru, hingga mengamati orang-orang yang menjadi sumber inspirasi dalam
tulisan-tulisanku di diary.
Saat
menunggu antrian di bank, di dokter, restoran, bengkel atau kuliah dari dosen
juga bukan waktu paling membosankan bagi diriku. Seperti yang kukatakan di atas
tadi, saat menunggu adalah waktu paling produktif. Biasanya untuk
mengantisipasi saat menunggu, aku menyediakan sebuah majalah untuk dibaca dalam
tas. Apalagi pada masa kuliah di Yogya, aku sedang getol-getolnya membiasakan
diri membaca Reader’s Digest untuk latihan bahasa Inggris. Biarpun Reader’s
Digest membuat kantuk semakin menjadi-jadi, aku selalu berusaha menamatkan
sebuah artikel untuk melatih ‘Reading Comprehension’ dan menambah my ‘English
sense’. Suatu ketika, aku bahkan mendapat pinjaman buku menarik dari seseorang
di pesawat, karena ia melihatku begitu khusyuk membaca sebuah majalah Islami di
ruang tunggu keberangkatan.
Produktif saat menunggu dan ditawari
pekerjaan
Pekerjaan
yang paling kusukai adalah membuat rencana saat menunggu. Berbekal sebuah buku
planner, aku menuliskan semua hal-hal yang ingin kulakukan, termasuk
mengevaluasi hal-hal yang tidak sempat kukerjakan. Membuat kerangka paper atau
outline sebuah tulisan juga lebih banyak dihasilkan pada saat menunggui
mahasiswa yang sedang ujian/mengerjakan lab. Dengan begitu, ketika acara
menunggu berakhir, aku sudah punya draft atau semacam langkah-langkah yang
perlu dilaksanakan untuk pekerjaanku saat ini.
Hebatnya,
kebiasaan produktif menunggu sambil membaca, belajar atau membuat rencana ini
pernah membuahkan hasil tawaran pekerjaan. Saat itu aku dan hubby sedang
menunggu di sebuah bengkel di Perth. Paper yang ada di tanganku sebetulnya
sebuah petunjuk cara pengujian korosi untuk tesis. Tulisannya kecil-kecil dan
sangat membosankan untuk dilihat. Tetapi aku bertekad untuk menghabiskan
beberapa lembar petunjuk tersebut saat mobil selesai diservis.
Tiba-tiba,
seorang tuan di sampingku yang dari tadi sibuk memainkan hapenya menyapa dan
menanyakan tentang paper di tanganku. Dengan sopan aku mengatakan kalau paper
itu adalah standar pengujian korosi dari ASTM untuk tesisku. Iapun
bertanya-tanya tentang kuliahku, hasil yang kuperoleh selama ini dan apa punya
rencana untuk berkarir di Australia. Ia adalah seorang Manager di sebuah
perusahaan besar di Australia. Menurutnya, mereka sangat membutuhkan seorang
Civil Engineer. Jika lulus nanti, kenapa aku tidak mencoba saja melamar ke
perusahaan mereka? Ia bersedia menjadi mentor kalau aku berminat.
Setelah
mengucapkan terima kasih untuk perhatiannya, aku cuma bisa terbelalak dan berusaha menenangkan diri. Hubby yang berada di pinggir tempat duduk sana hanya dapat melihatku
dengan pandangan penuh tanda tanya. Setelah tuan itu pergi mengambil mobilnya,
barulah aku menceritakan apa yang terjadi tadi kepada hubby.
Menunggu itu sebenarnya sebuah
rahmat
Sejak itu,
aku yakin acara menunggu bukanlah waktu yang tersia-sia diberikan Allah untuk
tiap manusia.
Pertama,
masa menunggu sebenarnya waktu kosong yang tersedia untuk mengejar ketertinggalan
kita dalam berbagai hal. Biasanya kita punya banyak rencana, tetapi karena
tangan kita hanya dua (bukan Cinderella, ya), maka sisa-sisa rencana tersebut
bisa dikerjakan di waktu menunggu itu. Misalnya menghafal pelajaran, menambah
vocabulary, atau menyelesaikan sebuah artikel yang belum sempat dibaca kemarin.
Kedua,
waktu menunggu juga dapat digunakan untuk berzikir dan membaca/menghafal
surat-surat pendek. Nasihat ini sering kuamalkan saat berada dalam perjalanan,
misalnya naik pesawat. Saat mengantri di bank yang super panjang dan lama juga
bisa dipakai untuk berzikir. Bulan Ramadhan lalu, aku melihat seorang bapak tua
di depanku sedang komat-kamit seperti berzikir. Tanpa sadar, mulutku
ikut-ikutan komat-kamit, lalu berzikir seperti beliau.
Ketiga,
menurut pengalamanku, waktu menunggu juga bisa digunakan untuk kontemplasi atau
merenung, menulis diary, menyusun rencana dan membuat evaluasi hal-hal yang
telah kita kerjakan selama ini. Seringkali ide-ide terbaik untuk paper dan
artikelku berasal dari saat penantian yang tidak pernah kurasa membosankan.
Sebenarnya
banyak sekali hal-hal bisa kita laksanakan pada saat-saat ‘menunggu’ tersebut. Jadi, be productive saat menunggu, jangan
biarkan waktu yang sangat berharga itu hilang begitu saja.
Pekanbaru
Saat mengingat seorang teman yang menyia-nyiakan waktu 'menunggu'
2 comments:
Good mon,
Paling nggak, di perjalanan, aku main sudoku yg mengasah otak.
betul, do, biasanya aku tiga kali lebih produktif kalau belajar di tempat umum. apa ini sindrom 'riya', berbuat hanya di depan khalayak? haha...
Post a Comment