Sejak
berada di Curtin, sering beredar email permintaan relawan dari beberapa PhD
student yang meneliti tulang, kolesterol, kanker hingga depresi. Iseng-iseng,
suatu hari aku mengikuti kuesioner online mereka tentang depresi. Berhubung
diiming-imingi voucher $50 dari MYER, aku pikir cuman klik-klik doang, ga
sulitlah. Awalnya pertanyaan-pertanyaan sederhana yang mencoba mendiagnosa
tingkat ke-depresi-anku. Lama-lama kok jadi seperti iklan obat??? Pertanyaannya
menjadi “apa yang ada di dalam benak anda melihat obat XXX” saat kuklik,
pertanyaan berikutnya sama, tetapi nama obatnya jadi YYY, dan begitu
seterusnya. Setelah beberapa bulan kemudian, kita dihubungi untuk tes klinik.
Hah, kita mau dijadikan kelinci percobaan, gitu?
Aku ingat seorang sohibku di UK
sempat menghilang berminggu-minggu dari kampus. Saat dia kembali dari
‘liburannya’, wajahnya lebih tirus, matanya cekung tak bercahaya dan
kesensitifannya tampak berkurang. Kupikir kalau dia memang pergi liburan, kok
jadi mengenaskan gitu rupanya? Ternyata setelah ‘dipaksa’, barulah ia mengaku
kalau dia ikut jadi relawan di sebuah
klinik percobaan obat.
Obat yang diuji-cobakan adalah obat
untuk penderita epilepsi.
Hah?
Menurutnya, ia mendapat 500GBP
sekali percobaan. Mereka diinapkan di sebuah klinik, diberi obat tiap hari
selama dua minggu, lalu keadaan mereka dicek tiap hari. Setelah itu, ia
menjalani program ‘detox’ untuk mengeluarkan sisa-sisa obat di dalam tubuhnya.
Innalillahi... aku terkejut
mendengarnya. Pantaslah ia terlihat pucat, sering mengantuk dan kurang sehat.
Menurutnya, semua itu karena efek proses detox obat yang digunakannya. Setelah itu ia merasa sulit untuk konsentrasi
pada pelajaran sehingga harus memperpanjang masa studi.
Sejak itu aku mengerti bahwa
orang kalau kepepet memang bisa melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang
membahayakan dirinya seperti itu. Aku maklum dengan keadaan keuangannya. Tiap
hari ia bekerja di restoran, serabutan jaga toko atau apa saja untuk menopang
biaya hidup di UK. Kasihan sekali
temanku itu, ia pikir uang hasil menjadi kelinci percobaan dapat meneruskan
hidup beberapa bulan. Padahal, kini ia harus membayar mahal efek obat tadi
dengan kesehatannya dan studinya.
Dimana
etikanya?
Tak disangka percobaan
obat-obatan sudah tidak pakai ‘tikus’ lagi, atau ‘kelinci’, malah memilih menggunakan
manusia memiliki hasil yang lebih akurat. Tingkat reaksi gen dalam tubuh
manusia yang berbeda dari binatang menjadikan manusia lebih disukai sebagai
makhluk percobaan. Berbagai obat-obat generasi terbaru banyak ditargetkan hanya untuk molekul tubuh manusia
yang sangat spesifik sehingga memerlukan relawan manusia juga untuk melihat
efeknya.
Target relawan yang mereka bidik
adalah orang-orang seperti temanku itu. Mereka butuh uang, tapi tidak ada
pekerjaan yang menghasilkan uang instan dalam jangka waktu dua minggu. Mereka
menggadaikan tubuh mereka sendiri untuk menerima obat-obatan yang tidak
diperlukan melalui penyakit buatan.
Pada saat melakukan penelitian
yang berhubungan dengan manusia di negara-negara maju, peneliti harus
mengumpulkan pernyataan kepada Ethics Committee. Mereka harus memastikan bahwa
sampel yang dipakai seperti manusia dan hewan terjaga kerahasiaannya dan
kondisinya selama penelitian. Meskipun penelitian untuk obat seperti ini dijamin
oleh Komite Etik, tetapi ada hal-hal tidak etis yang mereka selubungi dari
penelitian terkait. Sampel berupa manusia mungkin mengalami efek samping lanjutan yang
membahayakan diri mereka di kemudian hari. Hal seperti ini harus dipublikasikan
dengan jelas oleh para peneliti terhadap sampel responden mereka.
Hal ini menjadi sebuah pelajaran
bagi diriku untuk tidak membahayakan diri dengan masuk ke dalam program yang
tidak kuketahui dengan jelas dampaknya pada diri. Bukankah kita disuruh
bersyukur dengan menjaga diri sebaik-baiknya? Hal itu termasuk untuk tidak
menggunakan tubuh kita sebagai media percobaan obat-obatan yang belum pernah
diuji-coba pada manusia.
Semoga kita tidak sampai terjebak pada cara instan dan mudharat ini dalam mendapatkan uang. Sedapat-dapatnya, lebih baik bagi kita untuk menghindari program percobaan penerima obat-obat keras seperti ini. Apalagi imbalannya tak
setara dengan efek samping lanjutannya di kemudian hari.
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment