“Rob”, kataku pada teknisi yang telah banyak membantuku
dalam mengerjakan riset suatu hari. “Thank you for teaching me so many things”.
Wajah Rob penuh tanda tanya. “For what?” ia bertanya kembali.
“For instance, first, I learned from you, how to be
economical at work. You reused, repaired, and been resourceful with materials
and machines”. Matanya bersinar-sinar dan aku bisa melihat senyum kecil di
wajahnya. “Second, I learned that you’ve never talked anything bad about your colleagues
although they did that to you”.
Senyumnya kian melebar, tapi wajahnya seperti ingin
berkata-kata, tapi akhirnya ia hanya berucap, “Thank’s sweetie”.
That is super true!
Rob yang aku kenal selalu mendapat cercaan, makian,
kata-kata ketidakpuasan dari bawahannya. Mereka seolah tak punya kesan lain
kecuali ia adalah seorang atasan yang tidak bisa berpikir, bertindak lambat,
terlampau hemat dan suka menjilat. Wow, aku tidak pernah bayangkan begitu berat
menjadi seorang Rob.
‘Bad mouth’ inilah yang kuamati pada mayoritas orang sejak
aku kembali bekerja di kampus. Sepertinya mereka telah terpengaruh dengan
budaya mengkritisi oleh politisi mengenai kinerja pemerintah di media massa. Tiap
keadaan dikritisi, dari atasan, suasana kantor sampai rekan kerja sendiri.
Apalagi jika terjadi ketidakpuasan pada seseorang, mereka suka menggosipkan si
teman tanpa perasaan dan menyebarkan kesalahan-kesalahannya. Orang yang tadinya
penuh dengan kebaikan, bisa terdengar berbeda melalui deskripsi egois si
pemilik ‘bad mouth’. Karakter seseorang bisa terbunuh tanpa sengaja saat
orang-orang lain terpengaruh oleh perkataan si ‘bad mouth’.
Itulah dia.
Persis ‘you are what you eat’, maka ‘you are what you say’.
Kata-kata yang kita keluarkan memang mencerminkan isi hati. Orang-orang yang
hatinya sehat, pasti mengatakan hal-hal yang menyenangkan dan membuat orang
lain termotivasi. Orang-orang yang hatinya sakit itulah suka mengeluarkan
kata-kata tidak menyenangkan. Pokoknya kalau berada di dekat mereka, kita bisa tidak
nyaman karena terlalu banyak ‘racun’ yang disebarkan.
Orang-orang yang suka ‘bad mouth’, sebenarnya merasa mereka diri
lebih baik daripada orang lain, entah dari soal penampilan, bakat, kesejahteraan
maupun garis keturunan. Saking tinggi nilai diri mereka, mudah sekali bagi
mereka untuk berkata ‘bad mouth’. Meski memiliki kelebihan, ternyata mereka
tidak mampu asertif dan santai saat menghadapi keadaan, penyimpangan dan
birokrasi yang tidak dapat mereka kontrol. Daripada mengatakan sendiri kalau
mereka tidak puas dengan keadaan dan turun tangan memperbaikinya sendiri,
mereka memilih mengeluarkan ketidakpuasan tersebut.
Aku kagum melihat Rob yang bisa bertahan di tengah situasi
tidak menyenangkan tersebut selama
bertahun-tahun. Bukankah berada di tengah orang yang sedikit-sedikit
menyalahkannya atau menusuknya dari belakang sangat mengerikan? Padahal ia
tidak pernah sekalipun mengatakan hal yang sama dengan mereka. Rob malah
memilih mengerjakan pekerjaannya dan konsisten berbuat daripada melayani
ketidakpuasan yang selalu datang bertubi-tubi. Hanya itu yang bisa ia kerjakan,
membuktikan lewat perbuatan kalau ia tidak seperti deskripsi si ‘bad mouth’. Ia
membuktikan kalau dirinya punya moral dan integritas yang lebih tinggi daripada
orang-orang bermulut busuk tersebut.
Dan, memang hanya itu yang bisa kita kerjakan, yaitu fokus
pada pekerjaan masing-masing serta belajar menahan diri untuk membahas
kekurangan orang lain.
Semoga Allah memberikan ketenangan hati dan kemudahan pada
tugas-tugas kita semua.
Pekanbaru,