Sunday, May 27, 2012

Capek Mendengar ‘Bad Mouth’


“Rob”, kataku pada teknisi yang telah banyak membantuku dalam mengerjakan riset suatu hari. “Thank you for teaching me so many things”. Wajah Rob penuh tanda tanya. “For what?” ia bertanya kembali.

“For instance, first, I learned from you, how to be economical at work. You reused, repaired, and been resourceful with materials and machines”. Matanya bersinar-sinar dan aku bisa melihat senyum kecil di wajahnya. “Second, I learned that you’ve never talked anything bad about your colleagues although they did that to you”.

Senyumnya kian melebar, tapi wajahnya seperti ingin berkata-kata, tapi akhirnya ia hanya berucap, “Thank’s sweetie”.


That is super true!
Rob yang aku kenal selalu mendapat cercaan, makian, kata-kata ketidakpuasan dari bawahannya. Mereka seolah tak punya kesan lain kecuali ia adalah seorang atasan yang tidak bisa berpikir, bertindak lambat, terlampau hemat dan suka menjilat. Wow, aku tidak pernah bayangkan begitu berat menjadi seorang Rob.

‘Bad mouth’ inilah yang kuamati pada mayoritas orang sejak aku kembali bekerja di kampus. Sepertinya mereka telah terpengaruh dengan budaya mengkritisi oleh politisi mengenai kinerja pemerintah di media massa. Tiap keadaan dikritisi, dari atasan, suasana kantor sampai rekan kerja sendiri. Apalagi jika terjadi ketidakpuasan pada seseorang, mereka suka menggosipkan si teman tanpa perasaan dan menyebarkan kesalahan-kesalahannya. Orang yang tadinya penuh dengan kebaikan, bisa terdengar berbeda melalui deskripsi egois si pemilik ‘bad mouth’. Karakter seseorang bisa terbunuh tanpa sengaja saat orang-orang lain terpengaruh oleh perkataan si ‘bad mouth’.

Itulah dia.
Persis ‘you are what you eat’, maka ‘you are what you say’. Kata-kata yang kita keluarkan memang mencerminkan isi hati. Orang-orang yang hatinya sehat, pasti mengatakan hal-hal yang menyenangkan dan membuat orang lain termotivasi. Orang-orang yang hatinya sakit itulah suka mengeluarkan kata-kata tidak menyenangkan. Pokoknya kalau berada di dekat mereka, kita bisa tidak nyaman karena terlalu banyak ‘racun’ yang disebarkan.

Orang-orang yang suka ‘bad mouth’, sebenarnya merasa mereka diri lebih baik daripada orang lain, entah dari soal penampilan, bakat, kesejahteraan maupun garis keturunan. Saking tinggi nilai diri mereka, mudah sekali bagi mereka untuk berkata ‘bad mouth’. Meski memiliki kelebihan, ternyata mereka tidak mampu asertif dan santai saat menghadapi keadaan, penyimpangan dan birokrasi yang tidak dapat mereka kontrol. Daripada mengatakan sendiri kalau mereka tidak puas dengan keadaan dan turun tangan memperbaikinya sendiri, mereka memilih mengeluarkan ketidakpuasan tersebut.  

Aku kagum melihat Rob yang bisa bertahan di tengah situasi tidak menyenangkan tersebut selama  bertahun-tahun. Bukankah berada di tengah orang yang sedikit-sedikit menyalahkannya atau menusuknya dari belakang sangat mengerikan? Padahal ia tidak pernah sekalipun mengatakan hal yang sama dengan mereka. Rob malah memilih mengerjakan pekerjaannya dan konsisten berbuat daripada melayani ketidakpuasan yang selalu datang bertubi-tubi. Hanya itu yang bisa ia kerjakan, membuktikan lewat perbuatan kalau ia tidak seperti deskripsi si ‘bad mouth’. Ia membuktikan kalau dirinya punya moral dan integritas yang lebih tinggi daripada orang-orang bermulut busuk tersebut.

Dan, memang hanya itu yang bisa kita kerjakan, yaitu fokus pada pekerjaan masing-masing serta belajar menahan diri untuk membahas kekurangan orang lain.

Semoga Allah memberikan ketenangan hati dan kemudahan pada tugas-tugas kita semua.

Pekanbaru,



No comments: