Satu kata lagi yang kupelajari dari media massa dan
kehidupan sehari-hari adalah ‘pencitraan’. By the way, in English, kata ini
berarti ‘ establishing charisma’. Tetapi dalam bahasa Indonesia kedengarannya
seperti ‘membentuk citra (dengan sengaja)’ ketimbang terjadi dengan alami dan berarti positif.
Sebenarnya sudah lama kegiatan ‘pencitraan’ ini kuperhatikan
dari orang-orang di sekelilingku. Aku ingat seorang teman yang mati-matian
berusaha tampil berwibawa, smart, dan memiliki karisma tertentu. Ada lagi teman
yang berusaha terlihat seperti putri keraton; selalu bertutur kata
lemah-lembut, tidak banyak bicara di antara orang ramai dan bertingkah
keanggun-anggunan. Yang paling lucu, ada saudara yang suka kelewatan kalau memuji-muji
orang lain, memamerkan koneksi dengan pejabat dan selalu meninggikan mutu diri
dalam tiap forum.
Pekerjaan pencitraan ini sendiri memerlukan semacam media
untuk mencapai tujuannya. Jika para politisi membeli media massa untuk
membangun citra mereka, maka orang biasa menggunakan forum lokal di lingkungan
terdekatnya untuk pencitraan diri. Perhatikan berapa banyak orang tampil
berubah saat berada di depan orang ramai. Padahal saat sendirian, ia memiliki watak
asli berbeda.
Tidak jarang untuk mempertahankan citra positif, mereka
tidak segan-segan menggunakan orang lain untuk melakukan pekerjaan yang dapat
mencoreng citra mereka di mata orang lain. Kalau sudah begini, apa bedanya
mereka dengan orang-orang munafik, lain di mulut lain di hati.
Orang-orang ini lupa kalau mereka tidak dapat membangun sebuah
citra secara instan. Citra itu tidak dapat dipoles sedemikian rupa, seolah
sebuah perubahan fisik semata, seperti ganti gaya dengan hanya membeli pakaian,
asesori dan riasan wajah berkelas. Citra itu muncul karena kualitas moral
seseorang. Orang yang bertingkah laku baik, konsisten, professional, kooperatif
serta menghargai kolega dan atasan secara proporsional, tentulah memiliki citra
positif di mata orang lain. Dengan kata lain, citra itu dapat dilihat dari rekam
jejak seseorang.
Citra memang tidak dapat dibikin-bikin. Perhatikan
orang-orang yang kerap melakukan pencitraan, sikap mereka kerap tak konsisten
dengan perbuatan aslinya. Sikap kita sendiripun seharusnya tak berlebihan
dengan orang-orang yang berpikir bahwa pencitraan mereka berhasil. Lambat-laun,
akan muncul sebuah keadaan tak terkontrol yang membuat wajah asli seseorang
dapat keluar dari topeng persembunyiannya. Pada saat itulah kita menyadari
bahwa citra memang sebuah usaha jangka panjang dan bukan hanya proses instan
semata bernama ‘pencitraan’.
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment