Thursday, September 6, 2012

Maka, Pintar-pintarlah...


Saat mendiskusikan kenakalan seorang keponakan kecilku, semua yang ada mendesah khawatir. Ia memang suka bikin onar. Tapi memarahinya selain tidak membuatnya jera, hanya akan mengecilkan hati orang tuanya. Hingga kini, sulit juga membiarkan sesuatu tergeletak begitu saja tanpa diusik atau disembunyikan olehnya. Akhirnya seorang ipar mengingatkan bahwa keonaran si kecil dapat dihindarkan, asal kamipun mau pintar-pintar. Maksudnya, jika tak mampu mengatasi kenakalan si kecil, maka kami sendiri yang tidak boleh sembrono keluar kamar tanpa menguncinya.

Saran sang ipar itu melekat kuat di benakku. Apalagi setelah beberapa lama berdomisili kembali di Indonesia, aku sering kena masalah karena masih juga tak pintar-pintar. Mungkin aku terbawa kebiasaan gaya hidup di tempat mukim sebelumnya. Misalnya saat tinggal di Australia, tiap ada masalah dengan barang atau jasa, maka pihak yang dikomplain akan memberikan solusi atau pengembalian. Aku tidak perlu khawatir dengan penyerobotan atau penipuan, karena semua jelas dan sesuai aturan hukum. Cukup hanya memberitahukan, masalah segera ditindak lanjuti. .Meskipun berstatus sebagai seorang pemukim tak tetap, mereka tak mau mempermainkan. Hukum memang berkuasa.

Tetapi di sini, aku punya pengalaman sedikit menyesakkan dada di tempat perawatan kecantikan dan beberapa orang dokter. Setelah cukup lama menggunakan sebuah produk, akhirnya wajahku sedikit masalah. Dokter klinik yang dulu menerimaku hanya bisa bilang, “Memang begini resikonya”, tanpa memberi solusi apapun. Lah, kalau pasien sudah memberitahu begini, mbok ya ada jalan keluarnya. Si dokter hanya bisa tersenyum prihatin. Setelah diingat-ingat, sepertinya sebelum perawatan sang dokter pernah menyarankan agar aku tetap meneruskan perawatan wajah seperti biasa. Maksudnya, tetap menggunakan busa pembersih sama seperti 24 tahun yang lalu. Sayangnya, saat itu ‘kepintaran’ku melorot karena terlalu bernafsu punya wajah kinclong bak artis Korea. Memang wajahku lebih berkilau, tapi hanya untuk 6 bulan saja.

Banyak kisah-kisah lain yang menuntut situasi pintar-pintar ini. Orang-orang yang kehilangan koper mereka saat penerbangan, harus berani menerima resiko tersebut. Sudah tahu tata kelola bandara masih morat-marit, berani meletakkan barang berharga di koper berarti harus rela kalau kehilangan. Letakkan barang-barang berharga dan bawa secukupnya saja dalam tas kabin. Sedangkan di koper, letakkan barang-barang yang tidak akan kita sesali saat koper tak ditemukan. Jangan sampai harus menyerah untuk memberikan koper tersebut kalau tak lewat keamanan gerbang untuk boarding. Pintar-pintar menganalisa situasi. Letakkan dahulu di koper atau kirim via titipan kilat. Kalau sempat hilang, keluhan hanya bisa disampaikan, ditampung, tapi tak tahu bila dapat penyelesaiannya.

Biar jengkel, hidup di tempat yang tak ada hukum kuat ini memang harus pintar-pintar. Jika otoritas saja tak laku, apalagi hukumnya. Jika uang bisa memperdaya semua orang, maka tak ada yang bisa menegakkan hukum. So, sebelum meneken kontrak proyek yang besar atau terlibat sebuah kegiatan kerjasama, ada baiknya pikir-pikir sekeras mungkin dahulu. Pikirkan seberapa besar mudharatnya dan apa yang dapat mengontrolnya kalau terjadi sebuah pelanggaran. Saat hukum di sinipun tak akan mampu mencegah orang tersebut untuk menzalimi dan memperdayai kita, maka tinggalkan pekerjaan itu. Pintar-pintarlah. Jangan pernah mau terlibat di dalamnya.

Pekanbaru,

No comments: