Pernahkah kita memikirkan bahwa pada profesi tukang
cuci-cuci itu ada sebuah hikmah yang bisa kita dapatkan?
Istilah ‘tukang cuci-cuci’ bagi cleaner kupelajari dari seorang teman berkebangsaan Malaysia. Memang betul belum ada padanan ‘cleaning
service’ dalam bahasa Indonesia, meski seharusnya berarti ‘jasa pembersihan’.
Orang lebih sering memanggil ‘tukang bersih-bersih’ ketimbang ‘tukang
cuci-cuci’. Jujur saja, aku merasa dampaknya agak berbeda. Kalau dipanggil
‘tukang cuci-cuci’ bukan ‘tukang cuci’, rasanya pekerjaan yang dilakukan lebih
fokus ke cuci-cuci dan kesannya lebih ringan daripada tukang cuci. Tukang cuci
identik dengan cuci pakaian, kalau ‘cuci-cuci’ sepertinya cuma cuci-cuci
permukaan barang. Kesannya pekerjaan mereka jauh lebih ringan, kan… .
Berkat pengalaman berprofesi sampingan sebagai ‘domestic
cleaner’ atau ‘tukang cuci-cuci rumah’ di Perth selama dua bulan, aku belajar
untuk tidak memandang remeh profesi ini. Sebenarnya profesi ini paling mudah
didapatkan di luar negeri, karena tiap orang pasti bisa melakukannya dan selalu
ada lowongan. Gajinya terbilang lumayan (sekitar AUD18-25 per jam), tetapi
untuk standard kehidupan nyaman di Australia tentu saja masih jauh dari cukup. Meski
demikian banyak juga teman-teman yang sedang sekolah doktor tidak sungkan
menjadi tukang cuci-cuci di luar negeri. Selain mendatangkan AUD lumayan, konon
mereka senang banyak belajar hal baru tentang membersihkan. Apalagi ada waktu
luang untuk berhenti memikirkan riset. Ternyata pekerjaan cuci-cuci bisa
memiliki dimensi lain pada akhirnya. Haha.
Tukang cuci-cuci rumahan di Perth agak berbeda. Tentu saja kami
tidak tinggal di rumah tersebut selama 24 jam. Kami hanya cukup datang satu
kali dalam seminggu sekitar 1-2 jam. Pekerjaan pokok adalah membersihkan kamar
mandi, kamar tidur dan ruang tamu, mengelap perabotan, membersihkan dapur,
mencuci piring dan merapikan barang-barang. Semuanya tidak sulit. Membersihkan
kamar mandi hanya memakai penyikat dan cairan pembersih khusus untuk kaca, porselen
dan toilet. Menyedot debu untuk membersihkan ruang tamu dan kamar tidur.
Mengelap perabotan yang disemprot cairan khusus. Piring hanya disusun di mesin
cuci piring. Barang-barang tinggal dimasukkan ke dalam laci. Sangat mudah dan
dijamin cepat beres tanpa mengeluarkan tenaga besar.
Sedangkan kondisi tukang cuci-cuci di Indonesia berbeda jauh
sekali dengan yang kualami tadi. Selain pekerjaan cukup berat, tetapi
pendapatan mereka sangat tidak sebanding dengan tenaga yang telah dikeluarkan.
Benar-benar menimbulkan rasa kasihan. Untuk membantu mereka, kita dianjurkan
sering-sering membagi tip barang beberapa ribu rupiah. Seorang motivator dari
Malaysia (Prof Muhaya) mengingatkan supaya jangan pelit pada orang-orang dengan
profesi demikian. Dibanding belanjaan kita yang beratus ribu atau jutaan rupiah
saat di mal, maka memberikan sepuluh ribu rupiah tidaklah memberatkan. Kasihan.
Kadang untuk mendapatkan ekstra sepuluh ribu saja mereka harus bekerja beberapa
jam. Kalau rajin bersedekah pada para tukang cuci-cuci itu, insya Allah selain
mendapat pahala juga berkat. Ada juga orang tua-tua mengingatkan untuk
rajin-rajin bersedekah saat bersafar (berjalan jauh) guna menolak bala selama
dalam perjalanan. Nah, biasanya para tukang cuci-cuci di toilet
bandara/terminal merupakan orang-orang paling memungkinkan untuk diberi sedekah
saat kita bepergian.
Alhamdulillah, ada pelajaran baru lagi terkait
‘cuci-cuci’ baru-baru ini yang bisa dipraktekkan untuk menghilangkan rasa
‘ujub’/sombong dalam diri.
Ceritanya begini. Siang itu aku dan bu AL, sahabatku, shalat
zuhur di mushalla rektorat kampus. Lantai toilet mushalla itu kotor, penuh jejak-jejak
sandal dan sampah. Biasanya aku sedikit jijik dan langsung menahan nafas
buru-buru menyelesaikan wudhuku di sebuah toilet. Tetapi, ibu AL malah menahanku
bersegera dan mengajak membersihkan tempat wudhu di mushalla. Air ditampung di
ember lalu disiramkan ke lantai. Karena tidak ada pel, bu AL tanpa canggung langsung menggosok-gosokkan kakinya guna
menghapus jejak-jejak sandal tersebut. Aku mengikuti beliau.
Subhanallah. Tidak terlihat sedikitpun rasa jijik dan canggung di wajah bu AL
saat melakukannya. Rasanya tidak banyak orang berpangkat tinggi dan bergelar doktor mau
berbuat demikian. Tidak heran wajahnya selalu bersinar bak purnama.
Pastilah banyak amalan-amalan baik yang sering dilakukan bu AL dalam hidupnya.
Sambil membersihkan kaki untuk terakhir kalinya, bu AL
menceritakan bahwa ia selalu menyempatkan diri membersihkan toilet mushalla jika ada
kesempatan. Untuk apa?
“Siapa tahu bisa menghapus dosa-dosa kecil yang saya lakukan hari itu, kan... mana tau ada sempat rasa sombong di hati atau menyakiti orang dengan lisan tanpa sadar”, ia menerangkan alasannya sambil tertawa-tawa tanpa beban. Yah, mungkin juga dengan cara itu dosa-dosa kecil memang bisa digugurkan...
“Siapa tahu bisa menghapus dosa-dosa kecil yang saya lakukan hari itu, kan... mana tau ada sempat rasa sombong di hati atau menyakiti orang dengan lisan tanpa sadar”, ia menerangkan alasannya sambil tertawa-tawa tanpa beban. Yah, mungkin juga dengan cara itu dosa-dosa kecil memang bisa digugurkan...
Subhanallah… menurut motivator
Malaysia tadi tentang cara merendahkan hati saat kita merasa ada ‘sedikit kesombongan’ dalam diri dengan
harta/keturunan/pekerjaan, etc. Segeralah melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh
di depan kita yang moralnya dapat menurunkan rasa sombong di dalam diri. Mungkin kita bisa cuci-cuci
di toilet, mengeringkan wastafel, mengangkat piring-piring kotor di sebuah
hajatan, memakan makanan yang tidak dihabiskan orang, atau bahkan, membantu
menggosok-gosok lantai toilet mushalla dengan kaki seperti yang dilakukan bu AL...
Masya Allah.
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment