Monday, August 5, 2013

Down South Western Australia’s Road Trip: Perth-Albany (1)


Selama empat tahun tinggal di Perth (2007-2011), kami berdua belum pernah jalan-jalan ke bagian Selatan Western Australia, seperti Albany, Denmark, Augusta, Margaret River. Pada awal musim panas 2011 barulah kami mendapat kesempatan untuk menaklukkan rute Perth-Albany-Denmark-Augusta-Busselton-Rockingham-Perth (total 1139km) dalam dua hari dengan si Starlet ijo.

Tipikal jalanan aspal WA
Cukup skeptis juga melihat pemandangan di tepi jalan yang sangat standard dari Perth ke Albany sepanjang 419 km. Jalan lurus mulus tanpa kerutan di aspal, langit biru luas terbentang, padang rumput menguning, semak-semak dengan tanaman drought tolerant (tahan kekeringan), sisa-sisa kebakaran hutan ekaliptus, yang pokoknya berbanding sangat terbalik dengan pemandangan indah-indah di New Zealand. Biar begitu, aku berusaha menikmati perjalanan dengan trik lamaku, yakni memperhatikan bunga-bunga dan menghafal jenis-jenis pohon endemik. Semakin mendekati Albany, vegetasi liar semakin berubah warna dan jenisnya. Kalau di tempat terkering hanya ada pohon rumput (grass tree), pohon ekaliptus dan semak-semak wangi, maka di tempat-tempat sejuk banyak terlihat banksia dan tanaman domesticated Eropa seperti mawar dan bunga-bunga musim semi lainnya.


Kota pelabuhan Albany didirikan pada tahun 1827 dan merupakan salah satu hub penting menghubungkan Kerajaan Inggris dan Australia. Industri utama adalah pertanian, kayu dan paus. Betul, bukan ikan tuna, tetapi ikan paus! Industri penangkapan ikan paus dimulai sejak tahun 1950 dan ditutup 28 tahun berikutnya. Sisa-sisa industri tersebut dapat dilihat di Museum Whale World yang kusesali tidak dapat kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Di pusat kota dapat dilihat beraneka bangunan bersejarah sebagai saksi peradaban di kota pelabuhan pertama WA. 

York Street, Albany
Salah satu tempat keren di Albany adalah menyusuri Marine Drive dan singgah di Viewing Area untuk melihat panorama King George Sound. King George Sound yang dibatasi dua pulau dengan Samudera Antartika dikunjungi berbagai jenis paus seperti Humpback Wales tiap bulan Juli-Oktober. Kita bisa ikut tur ‘Whale Watching’ dan katanya dijamin bisa melihat paus berkeliaran di sekitar tempat itu. Perairan tersebut juga menyimpan bangkai kapal perang, kapal pemburu paus dan kapal pengangkut batu bara yang pernah tenggelam di sana. Perairan ini juga dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman (diving spot). 

King George Sound ke arah Princess Royal Harbour

Aku sangat menyukai pemandangan di King George Sound karena perairan dalam berwarna biru pekat dan hembusan udara sejuk dari benua es Antartika. 

King George Sound ke arah Samudra Antartika



Ada dua tempat yang ingin kami lihat sore itu, yakni Wind Farm dan The Gap.

Berbekal peta besar dari Pusat Informasi Albany, kami menyusuri Frenchman Bay Road hingga ke Selatan. Rumpun bunga merah jambu menghiasi taman di pinggir jalan. Selain itu sepanjang jalan dapat dilihat perairan dangkal biru muda dengan tumpukan kristal putih (bukan pasir) dekat pantainya. Tumpukan kristal putih tersebut, pastilah garam! Sayangnya aku tidak dapat mengecek langsung karena kami harus ngebut ke tempat lain.

 
Taman di tepi jalan Frenchman Bay
Frenchman Bay

Pelajaran ‘energi keberlanjutan’ (sustainable energy) dapat diambil dari kunjungan ke Albany Wind Farm, Tanjung Torndirrup. Albany Wind Farm dibuka pada tahun 2001 sebagai sumber listrik ‘hijau’ untuk kota Albany. Turbin angin (wind turbines) dapat berputar meski kecepatan angin hanya 7 km/jam, dan harus dimatikan saat angin berhembus dengan kecepatan 120 km/jam agar turbin tidak rusak. Angin membantu memutar kedua belas turbin dengan tiga blades (bilah pemutar) sepanjang 35 meter. Teknologi ini cocok digunakan di Albany, karena hanya ada tujuh hari dalam setahun di mana kecepatan angin  tidak dapat memutar blades. Wind Farm direncanakan beroperasi selama 20 tahun dan menghasilkan 1.5 milyar unit listrik atau setara dengan lampu 100W yang dipakai selama 1 juta tahun.

Albany Wind Farm
 
Di bawah lindungan Wind Turbine
Sedangkan menyangkut Teknik Sipil, maka hal terpenting dari konstruksi turbin angin adalah pondasi. Untuk memikul menara setinggi 65 meter dan diameter bawah 13.2 meter tersebut, diperlukan pondasi yang diangkurkan pada kedalaman 16 meter di bawah permukaan tanah agar struktur tetap stabil di tanah pasir. Pondasi dibuat dengan mengecor 420 ton beton. Dibandingkan dengan pondasi onshore (di daratan), maka pondasi turbin offshore (di laut) jauh lebih menantang. Untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai pondasi turbin angin dan bentuk-bentuk kegagalan strukturnya, dapat dilihat pada link berikut: http://www.windfarmbop.com/category/foundations/

Sunset di The Gap, Torndirrup National Park! Hubby memacu si mungil ke Selatan. Tempat itu sebenarnya hanya taman batu-batu granit berukuran besar-besar yang tampak berserakan karena belum sempat diatur. Meski demikian, batu-batu tersebut telah terbentuk sekitar 1500 juta tahun lalu. Untuk menambah faktor ‘wow’, kabarnya tempat ini merupakan bagian benua Australia yang terhubung dengan benua Antartika saat di bumi masih terdapat satu bagian daratan luas bernama Gondwana.

Torndirrup National Park


The Gap
Ada sebuah pelajaran moral dari wisata batu-batuan ala Western Australia ini. Kalau dulu di Wave Rock dan Mulga Cave (klik di sini), kita belajar bahwa angin dapat menggerus batuan secara vertikal, maka di Torndirrup Park dapat dilihat bahwa air memiliki kekuatan lebih besar untuk membentuk permukaan batu-batu tersebut menjadi The Gap dan Natural Bridge. The Gap merupakan hasil erosi air dari Samudera Antartika pada permukaan batu granit sehingga terbentuk kanal dengan dinding tebing setinggi 25 meter.

The Natural Bridge disebabkan oleh arus air terus-menerus menerjang bagian bawah batu sehingga terbentuk lubang besar dan bagian atasnya menjadi semacam jembatan. Di jembatan ini banyak kisah tragis terjadi, sehingga tidak disarankan untuk uji nyali berfoto di atas jembatan. Beberapa orang pernah disapu ombak yang muncul tiba-tiba saat berpose di jembatan. Hingga kini tubuh mereka tidak pernah ditemukan. Innalillahi… tidak worthedlah menyabung nyawa demi sebuah foto.
The Natural Bridge
Senja mulai bergerak turun di Torndirrup National Park. Indah sekali. Batu-batu yang tadi kekuningan berubah menjadi keemasan tertimpa cahaya senja. Subhanallah… ditambah lagi hanya kami berdua di tempat itu.
 
Sunset di The Gap
Saat mengamati cahaya keemasan berpendar di batas cakrawala sambil komat-kamit berzikir, tiba-tiba…

brak, terdengar suara pintu mobil ditutup dengan kencang.

Kemudian seseorang tampak berlari-lari ke arah kami sambil mengacungkan sebuah benda panjang. Suara ranselnya yang berguncang-guncang benar-benar mengusik keheningan tempat kami menikmati keindahan sunset yang baru saja menghilang.

“It’s too late, it’s too late…” teriaknya ke arah kami.

Kitapun bengong dan tidak beranjak dari posisi kita. Dia ini mau ngapain sih?

Ia menyusun benda panjang dan sebuah alat besar di atasnya. Oo, kamera dan tripod. Saat itulah kami baru sadar kalau tadi ia sedang menyesali diri karena terlambat datang memotret sunset. Suara jepretan kencang terdengar berkali-kali dari kamera full framenya, mencari-cari apa yang bisa diabadikan lagi.

Kami hanya bisa tersenyum sangattt lebaar… dan mencoba memaklumi perasaannya.

Susah juga ketinggalan sunset di Albany.

November 2011

Pekanbaru,
Kunjungan ini mesti diulangi…


No comments: