Suatu pagi yang cerah di depan Perth Zoo. Aku tengah berjalan melintasi taman di depan Zoo menuju halte di seberang jalan. Taman itu tidak sepi. Banyak orang berlalu-lalang. Diantara mereka ada juga yang menyapa, “Morning!”. Wah, segar sekali rasanya. Keramahan itu tidak terhenti ketika sudah duduk di halte bus. Seorang wanita berambut pirang dengan dandanan kusut masai berjalan melewati halte. Saat itu aku sudah gelisah, karena biasanya yang berdandan seperti ini tukang minum. Surprise, surprise, waktu ia melewatiku sambil berkata “morning” dengan suara keras, barulah aku tenang. Meski seram, ternyata ia ramah juga!
Begitu mengasyikkannya disapa dengan ramah pagi-pagi, aku jadi ikut-ikutan ramah. Semuanya aku sapa dan teriaki, “Morning!”
Begitulah pengalamanku tinggal di Perth. Rasanya aku lebih sering bertukar sapa dengan orang-orang. Dimulai dengan ‘morning’ atau ‘g’day’, maka suasana sepi tadi berubah menjadi lebih menyenangkan. Artinya, perhatian kecil yang diberikan orang lain membuat hati bernyanyi dan berpengaruh lebih besar pada kehidupan kita di hari itu. Jika hati bahagia, hal sulit tidak terasa demikian, maka bisa ditebak bahwa produktivitas hari itu akan meningkat. Awal yang baik akan memberikan hasil akhir yang baik. Setuju!
Tetapi, tidak setiap hari aku merasakan kemewahan tersebut. Kadang-kadang aku bertemu orang yang cemberut atau pura-pura tidak melihat. Bahkan lebih parah, setelah disapa malah kelihatan marah. Ini membuatku bingung juga. Bukankah setelah berkali-kali mengalami, mereka cenderung ramah pada orang asing ketimbang orang Australia sendiri?
Setelah dipikir-pikir, aku mulai menyadari bahwa tempat di mana aku mendapatkan senyuman dan sapaan tersebut yang sangat menentukan. Jika aku sedang di perumahan elit, besar kemungkinan aku akan mengalaminya. Tetapi saat berada di tempat dengan warga yang taraf ekonominya biasa, maka aku cenderung diabaikan. Penyebabnya bisa dua. Satu, orang-orang kaya pasti sudah biasa berlibur dan bertemu orang-orang asing lebih banyak daripada warga kelas menengah ke bawah. Jadi, mereka tak canggung menyapa orang asing. Kedua, kondisi ekonomi dapat mempengaruhi perilaku. Kondisi kehidupan yang lebih nyaman membuat orang tidak perlu terlalu khawatir terus-menerus dan berakibat positif pada orang lain.
Suatu pagi yang indah di kampus, aku siap-siap meneriakkan salam pada seorang wanita berjilbab dengan dua anak kecil. Aku yakin beliau datang dari Indonesia, melihat jilbab kaus warna coklat yang dipakainya. Dengan wajah gembira dan suara merdu, aku menyapa, “Assalamu’alaikum”, saat kami berpapasan. Sayangnya, ia tidak membalas dan bahkan langsung membuang muka. Masya Allah. Apa rasanya dicuekin seperti itu? Di mana keramahan ala Indonesia yang dipuja-puja oleh orang Indonesia sendiri?
Lama kemudian aku baru mengetahui soal salam yang tidak dijawab itu. Ternyata salam yang kuberikan tetapi tidak dijawab orang tersebut, akan dijawab oleh malaikat. Jika malaikat yang menjawab salam, Insya Allah maka keberkahan diberikan untuk pemberi salam. Semoga saja demikian. Wallahu’alam.
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment