Sering kuamati dari media massa maupun saat berinteraksi dengan teman-teman sendiri, telah terjadi transformasi budaya rumit yang cenderung banyak bicara, suka mencela dan sulit menerima pendapat orang lain. Bahkan yang aneh, jika orang mengajak berbuat kebaikan atau memperingatkan dengan manis malah dicap ‘lebay’. Tuduhan ‘lebay’ ini menurutku, sering tidak rasional dan cenderung lebih emosional. Hanya dikeluarkan oleh orang-orang yang malas berpikir dan menggunakan intuisi mereka untuk menilai kelayakan sesuatu.
Aku pernah mengajak beberapa orang untuk melakukan sebuah kegiatan baik. Mulia, niatnya. Berbagi ilmu pengetahuan dan belajar bersama dalam sebuah wadah sederhana. Semua itu menjadi ladang pahala bagi yang melakukan dan sumber ilmu bagi yang mencarinya. Tetapi, belum lagi pekerjaan itu berjalan lancer, sikapku yang penuh semangat telah dicap ‘lebay’ oleh beberapa orang pengamat. Jujur saja, aku tidak mengerti di mana persisnya aku bersikap ‘lebay’. Sikap antusiasku itu kah yang mengganggu mereka? Jika dipikir, kalau begitu, bukankah mereka cenderung menilai secara emosional ketimbang rasional,? Seorang yang rasional, pastilah berpikir lebih jauh, misalnya, berbagai manfaat bergotong-royong dalam kebaikan untuk menyebar ilmu bagi orang lain.
Mengapa masyarakat kita cenderung cepat sekali memberi label ‘lebay’ bagi orang lain? Apakah kata menyebalkan itu, menjadi sebuah cap baru untuk hal-hal yang tidak disukai secara subjektif? Di mana letak batasannya untuk menggunakan kata ‘lebay’? Suka or tidak suka yang standarnya berbeda-beda bagi tiap orang? Di sinilah letak ketidak adilannya dan ketidakpahaman seseorang jika ia cepat melabeli seseorang ‘lebay’ tanpa mau tahu dulu duduk persoalannya.
Kalau diperhatikan lebih lanjut, ucapan ‘lebay’ bisa dijadikan cara untuk melampiaskan rasa ‘iri tanda tak mampu’. Bukankah orang sering berkata seperti itu untuk orang-orang yang sedang mengumumkan keberhasilan atau menyiarkan kesuksesannya? Daripada berperilaku positif seperti memberi semangat atau mengakui kelebihan, rasanya lebih pas mengatakan ‘lebay’ setulus hati. Jadi, bagaimana Allah mau memberikan rezeki yang sama, jika belum selesai mengambil pelajaran dan berdoa ‘agar diberikan hal yang sama’, sudah bersikap negatif duluan dengan memberi cap ‘lebay’. Masya Allah!
Sebaiknya kita mau berpikir sebelum berkata-kata, baik kepada orang lain maupun diri sendiri soal cap ‘lebay’ ini. Coba aplikasikan pada diri, sukakah diri kita saat mengajak pada kebaikan dan mencoba menginspirasi orang lain, tiba-tiba disebut ‘lebay’? Energi antusiasme yang tadinya menggunung, bisa-bisa runtuh begitu mendengar hal tersebut. Apalagi kalau diri adalah tipe sensitif, yang halus perasaannya. Cap ‘lebay’ itu seolah-olah memberikan kesan negatif pada diri orang itu. Tentu saja tidak ada orang yang ingin terlihat buruk di mata orang lain, kan?
Sebaliknya, daripada sering-sering mengucapkan ‘lebay’ dan mendemotivasi orang lain, belajarlah untuk lapang dada menerima kelebihan orang lain. Jangan merasa kecil hati kalau kita berbeda dari orang lain, karena seperti tulisanku sebelumnya (Karena kamu berbeda, maka kamu istimewa), tiap orang memiliki kelebihan unik yang tidak dapat disamai oleh orang lain. Melihat orang yang mendapat nikmat dari Allah, lihat baik-baik dan mulailah berpikir. Jika ingin seperti dia, berdoalah kepada Allah, lalu bekerja keraslah dengan baik. Jangan tampakkan kekerdilan jiwa kita dengan terlalu sering mengucapkan kata-kata seperti ‘lebay’ secara subjektif. Berbesar hatilah, Insya Allah, saat dada terasa lapang, maka pikiran akan lebih jernih dan langkah terasa lebih ringan dalam hidup.
Pekanbaru,
Stop ucapkan ‘lebay’ tanpa makna!