Kami mengitari danau Wakatipu dan menyusuri bagian tepinya. Mata kami dimanjakan oleh pemandangan danau biru terbentang dengan hamparan semak-semak berbunga pink dan kuning menyala di tepinya. Indah sekali pemandangan tersebut, sampai aku memohon pada hubby untuk berhenti sejenak menikmatinya.
Mobil kami lalu menyusuri sungai kehijauan yang bermuara di danau Dunstan. Lagi-lagi aku berhasil membujuk hubby untuk berhenti di tepi sungai itu. Kami menuruni tebing untuk mengambil foto-foto bunga berlatarkan sungai hijau. Beberapa pohon yang tengah berbuah lebat di dekat tempat parkir sempat memberikan kejutan menyenangkan bagiku. Pohon-pohon berbuah peach dan plum muda beraneka warna yang belum pernah kulihat sebelumnya!
Terbayang olehku saat Laura dan Mary, dalam buku ‘Di Tepi Sungai Plum’ (karya Laura Ingalls), memetik dan mengumpulkan beraneka jenis plum masak dari pohon-pohon plum liar yang tumbuh di tepi sungai. Buah-buah itu dijemur, dijadikan selai dan pudding oleh Ma. Belum puas menerka dan mengamati berbagai jenis plum muda di pohon-pohon itu, aku harus menurut pada hubby yang sudah menarikku untuk masuk ke mobil. Ia merengut, karena hobiku melihat bunga dan pohon buah bisa memperlambat perjalanan kami ke Dunedin.
Perjalanan ke Dunedin dapat ditempuh melalui tiga rute. Hari itu, hubby malah memilih jalur tengah yang sebenarnya tidak biasa dilalui orang. Beliau ingin melewati rute yang melalui lokasi syuting Lords of The Rings~ di dekat Minas Tirith, tempat rombongan Aragon dan Gandalf menunggang kuda mereka di LOTR ‘Two Towers’. Awalnya perjalanan tersebut sangat menarik karena penuh pemandangan khas New Zealand, yaitu bukit penuh domba dan sapi-sapi merumput. Kemudian bukit-bukit hijau tersebut berganti bukit dengan semak-semak berwarna abu-abu dan merah jambu.
Setelah itu, dataran yang ditumbuhi pohon-pohon berbunga putih malah membuat anganku melayang-layang kembali, bagaimana rasanya tinggal di sana, bukan sebagai salah satu domba!
Setelah rasanya cukup jauh berjalan, kami tiba di padang rumput yang luas sekali. Jalannya tidak sebagus dan selebar jalan utama. Traktor dan kendaraan pertanian lebih banyak terlihat. Rupanya tempat itu lokasi pertanian juga. Domba-dombanya terlihat lucu diantara rumput-rumput fluffy ini.
Hubby terus memacu mobil ke arah yang diyakininya sebagai tempat lokasi syuting LOTR. Tiba-tiba, hubby menginjak rem mendadak. Ternyata, jalan aspal mulus itu telah berakhir, berganti dengan jalan tanah berbatu. Dengan manyun, kami berdua kembali ke arah datang tadi. Kami tertipu jalur yang diberikan peta dan GPS. Perjalanan ke Dunedin sekarang menjadi lebih lama dari rencana semula. Tapi aku tidak kecewa, karena pemandangan bukit berbunga kuning rimbun terus terlihat sepanjang perjalanan ke sana.
Dunedin, distrik Otago, dapat ditempuh sekitar 5 jam menggunakan kendaraan dari Queenstown. Jika Queenstown dikenal sebagai tempat olahraga ekstrim seperti ski, bungee jumping dan arung jeram, maka Dunedin terkenal dengan pabrik coklat Cadbury-nya! Kota Dunedin terletak di bagian tenggara pulau Selatan. Kota ini terkenal dengan pabrik coklat Cadbury, istana kecil dan University of Otago! Biarpun letaknya terpencil, universitas ini menjadi tujuan utama para mahasiswa untuk mempelajari bidang sains dan sastera. Nama universitas ini begitu lekat di benakku. Ayahku pernah menyebut nama University of Otago beberapa tahun silam setelah kunjungan beliau ke Christchurch. Kota Dunedin sendiri tampak seperti kota-kota kecil khas pelabuhan di Inggris dengan pemandangan bangunan tua dan bersejarah.
Saat tiba di Dunedin, kami langsung mencari masjid satu-satunya yang terletak paling Selatan di negara itu. Mesjid Al Huda berada di Clyeo St, tidak jauh dari University of Otago. Karena mosque barangkali tempat yang paling banyak dicari, sebuah papan penunjuk telah disediakan di ujung jalan masuk lokasi masjid.
Setelah memindahkan barang-barang ke motel, kami mengunjungi Botanic Garden Dunedin. Seperti biasa, aku langsung histeris melihat ratusan jenis bunga berwarna-warni khas negeri empat musim berjejer di sana. Beraneka jenis, warna, bentuk dan bau bunga kunikmati sepuasnya. Untunglah hubby mau bertualang sendiri dengan kamera kecilku dan meminjamkan kameranya yang lebih canggih untuk memotret bunga-bunga. Kelak, aku akan menceritakan Botanic Garden ini di tulisan tersendiri, ya.
Kemudian kami berbalik ke arah pusat kota untuk mengunjungi University of Otago. Aku senang sekali mendapat kesempatan menarik tersebut. Saat mengambil foto-foto bangunan unik di kampus itu, kami bertemu dua orang Malaysian Postgrad Student yang sedang berjalan pulang ke asrama mereka. Aku sempat bertegur sapa dengan mereka, sambil menceritakan petualangan kami di Pulau Selatan dengan singkat. Menurut mereka, meskipun kehidupan di kota Dunedin cukup menarik, tetapi terlalu jauh dari Kuala Lumpur dan sangat dingin di musim dingin.
Kampus University of Otago itu termasuk besar dan penuh bangunan bergaya Victoria. Jika bisa kuliah di tempat ini, pastilah aku sudah mendaftar untuk studi lanjut di sini. Sayangnya Uni of Otago lebih terkenal dengan bidang sains seperti kedokteran, farmasi dan art. Tidak ada fakultas Engineering. Bangunan dengan ciri khas Victorian di Dunedin banyak ditemukan, seperti di Uni of Otago. Tidak heran, karena Dunedin salah satu kota penghasil emas pertama di Pulau Selatan dan sudah ada sejak masa Victorian, sehingga di tempat ini banyak bangunan dengan gaya tersebut, seperti Tower Clock, Railway Station dan Dunedin Castle.
Jika hari belum terlalu sore (pada saat itu sudah pukul 7.30 malam, sebenarnya), kecantikan kompleks kampus University of Otago pastilah terlihat lebih memukau. Sayup-sayup di gedung sebelah tempat kami memotret terdengar suara sopran wanita bernyanyi diiringi piano. Sungguh cocok dengan suasana kampus ini. Persis sewaktu di Shanghai, saat aku melewati bangunan kampus, terdengar lagu berbahasa Cina dengan denting gitar, seperti di sinetron-sinetron Korea. Wuah… seperti ada background musiknya saja!
Sebelum tidur malam itu di motel, aku teringat pemandangan yang membuatku berimajinasi. Saat mobil berhenti di city centre tadi, aku melihat seorang wanita berkerudung, yang sepertinya dari Malaysia, berjalan mendaki trotoar yang menanjak curam. Di bahunya tersandang tas laptop dan tangannya menjinjing sebuah tas plastik berisi makanan segar. Sepertinya ia sedang dalam perjalanan pulang setelah singgah sebentar di supermarket. Hmm, apa yang sedang dipikirkannya, ya? Senangkah ia tinggal di kota dingin ini? Bagaimana rutinitas yang dialaminya setiap hari? Sedihkah ia berada jauh dari keluarganya di tanah air? Ingin masak apa ia malam ini? Aku teringat saat pertama kali tinggal di negeri orang. Seru, sedih, excited, zzzzz….
Pekanbaru,
Rindu bertualang lagi…