Sebenarnya aku tidak terbiasa mendengarkan orang lain berbagi isi hati. Aku memang menghindari hal-hal seperti itu agar tidak terjebak pada ‘prejudice’ atau bias terhadap seseorang. Tetapi, akhir-akhir ini, setelah aku belajar ‘mendengar’, ternyata sikap bias tadi cenderung berkurang. Aku merasa lebih bahagia dan bersyukur.
Tadinya aku bukan orang baik hati yang selalu punya waktu untuk mendengarkan orang lain. Aku selalu sibuk sendiri, tak punya waktu untuk bersosialisasi lebih karena selalu merasa harus fokus pada pekerjaan dan studi. Bagiku, mendengarkan keluhan, uneg-uneg bahkan gosipan tentang orang lain akan menyebabkan aku tidak bisa objektif menilai seseorang. Apa yang dikatakan orang biasanya membuat aku berpikir keras untuk menentukan sikap, bayangkan, begitu kakunya diriku! Hitam atau putih, itu saja yang ada di pikiranku.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan seorang teman OZ yang sedang mengambil Master of Psychology di Curtin University. Tadinya aku ingin curhat kepadanya, karena aku merasa nyaman dengan statusnya sebagai seorang psikolog. Tetapi belum sempat mengeluarkan uneg-uneg, aku telah disalipnya. Ia mulai cas-cis-cus tentang hubungannya dengan sang pacar. Kebetulan saat itu aku punya saran untuknya. Saat aku ingin gantian menceritakan masalahku, ia kembali memotong dan curhat soal hal lain. Walhasil, pada hari itu aku sukses mendengarkannya, tapi tidak punya kesempatan berbagi masalahku.
Kejadian itu berulang lagi dengan dua atau tiga teman yang sama tahun lalu. Mereka sepertinya lebih berminat menceritakan kondisi mereka, ketimbang mendengarkan curhatku. Setelah berburuk sangka, berpikir apa cara berceritaku membosankan atau hidupku kurang menantang bagi mereka, akhirnya aku memutuskan untuk belajar mendengar sajalah. Daripada sakit hati dan tenggorokan mengulang-ulang kisahku yang tak juga dianggap serius oleh teman-teman, mungkin lebih baik mendengarkan kisah mereka saja.
Sebenarnya mendengar itu sangat mudah. Tinggal tutup mulut, buka panca indera dan menghayati tiap perkataan dari mereka. Sesekali untuk menunjukkan kalau kita mengerti, beri tanggapan singkat. Barulah jika mereka bertanya, aku memberikan beberapa solusi atau analisa berdasarkan pengetahuan, lengkap dengan referensinya. Hehe, itu kalau aku mengerti persoalannya. Jika tidak, aku memilih mendengar saja, lalu mencoba menenangkan atau membuat si pencerita merasa nyaman.
Bukan main, setelah banyak mendengarkan curhat dan keluhan teman, bukannya aku tetap bias, tapi aku malah belajar memahami orang lain. Jika seseorang yang dulunya kukira tangguh, ternyata bisa rapuh juga. Orang yang kukira hidupnya biasa-biasa saja, ternyata sungguh luar biasa. Ada juga teman yang merasa hidupnya sungguh luar biasa, tetapi tidak bisa mempesona diriku. Dengan diam saja, ternyata aku malah jadi bisa belajar banyak hikmah, punya waktu merenung dan mensyukuri tiap kekurangan-kelebihan yang kumiliki. Nilai plusnya, kemampuan mendengar membuatku dapat memahami berbagai konflik yang dialami manusia tanpa harus menghakimi mereka sedemikian rupa. Yang kuperlukan hanya mau ‘mendengar’, lalu berdasarkan pemahamanku tentang masalah mereka membantuku bersikap lebih fleksibel dalam menghadapi sesuatu. Dan so pasti, aku merasa jauh lebih bahagia, karena sekarang aku lebih mengerti duduk suatu masalah dengan diam mendengarkan. Rasa syukurku juga bertambah, karena dengan mendengarkan masalah pelik yang mereka hadapi, aku mengerti kalau yang kualami dalam hidup tidak selalu buruk untukku.
Jadi kawan, tunda keinginan untuk selalu menjadi pembicara tunggal dalam tiap acara pertemuan dengan teman-teman. Duduklah diam-diam, perhatikan, dengarkan, apakah di sekitar kita ada orang yang memerlukan ‘telinga kita’, lalu motivasi atau kesejukan kata-kata. Mudah-mudahan lewat sikap perhatian kita lewat mendengar tadi dapat membantu meringankan hati mereka yang berat, meningkatkan empati dan menguatkan persahabatan kita dengan mereka. Bukankah muslim yang baik itu, adalah yang bermanfaat bagi orang lain?
Insya Allah.
Pekanbaru,