Setelah mengalami kesibukan luar biasa untuk mengepak, membuang dan menghibahkan barang-barang ‘koleksi’ di unit apartment kami, aku dan hubby dengan penerbangan berbeda pada akhirnya meninggalkan Perth, pada tanggal 17 Juni 2011.
Pagi itu, aku sempat cemas dan ragu karena mbak A yang bersedia mengantar belum juga datang. Kasihan, sudah menyusahkan beliau. Tetapi aku takut pula berangkat sendirian ke airport, karena di saat winter, matahari baru terbit pukul 7 pagi. Setelah ditelpon, tak lama mbak A muncul tergesa-gesa dan menurunkan aku di airport. Sedih terasa, apalagi saat mengucapkan selamat berpisah dengan mbak A, teman yang sudah banyak mengajariku berbagai hal untuk menjadi wanita dewasa.
Proses check-in tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, tetapi proses di imigrasi membutuhkan kesabaran luar biasa. Antrian masuk terlalu panjang. Tampaknya banyak sekali orang yang memilih penerbangan pagi. Imigrasi yang berlapis-lapis ini menyebabkan ruangan penuh sesak. Setelah dapat keluar dari tempat tersebut, aku segera mencari tempat untuk shalat subuh. Beginilah, berada di negara non-muslim, setiap ada celah kosong harus dapat dimanfaatkan saat waktu beribadah tiba.
Tujuan awal penerbanganku adalah Denpasar, Bali. Di luar dari kru yang sudah pasti berkebangsaan Indonesia, barangkali aku termasuk satu diantara beberapa orang penumpang berwajah Indonesia. Pesawat itu dipenuhi OZ yang siap berlibur di Bali, tempat wisata yang konon murah serta tak jauh dari Perth untuk melarikan diri dari musim dingin. Aku belum pernah mengalami penerbangan yang sungguh meriah seperti ini. Penumpang ribut, menjerit, bercakap-cakap dengan keras serta belasan orang yang bolak-balik ke toilet cukup mengganggu kenyamanan tidur singkatku. Untunglah film ‘Sang Pencerah’ di layar tivi mungil dapat mengalihkan kekesalanku selama perjalanan 3.5 jam menuju Bali tersebut.
Tiba di Denpasar, bandara yang ramai sesak tersebut seperti memberi kejutan pada diriku. Udara panas, tempat keberangkatan domestik yang cukup jauh, kerumunan penjemput dan semuanya terasa berbeda sekali dengan tempat keberangkatanku pagi tadi. Aku cepat-cepat menuju gerbang keberangkatan dan menunggu dengan keringat bercucuran. Setelah sempat panik mencari alat berkomunikasi, aku menemukan internet gratis di samping lounge. Biarpun internetnya super lelet, aku berhasil mengirim pesan ke adik ipar lewat facebook. Entah dibaca atau tidak, yang penting, aku sudah mengirimkan pesan untuk tim penjemput di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.
Biarpun pulang ke Indonesia sangat menyenangkan, tetapi aku mengalami beberapa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan cepat. Beberapa hari di Jakarta ternyata menjadi saat-saat paling memprihatinkan bagiku. Tubuhku yang belum terbiasa dengan udara panas Jakarta, gigitan nyamuknya, hingga udara berpolusinya, membuatku diriku jadi lemas tak berdaya. Belum pernah aku seletih dan selemas itu setelah sekian lama di Perth. Tubuhku seperti sebuah pegas tertekan yang kembali melar, semuanya terasa sakit dan pegal. Tetapi masakan enak dari ibu mertua dan sambutan hangat dari keluarga serta keponakan lucu-lucu dapat membantu diriku untuk pulih dengan segera. Memang dahsyat efeknya, ya, berkumpul dengan keluarga kembali.
Saat mencapai Pekanbaru, aku sudah tidak merasa letih lagi. Walaupun udaranya cukup panas, tetapi hembusan angin selalu dapat mengurangi rasa gerah. Berbeda dengan angin hangat di Perth yang berasal dari gurun, bukannya menambah kesejukan, tetapi menyebabkan udara bertambah panas. Satu hal lagi yang membuatku kaget, adalah lalu lintas super padat dan kemacetan akibat pembangunan jalan layang di tengah kota. Hingga saat ini aku belum berani menyetir sendiri di jalan. Mungkin aku harus pelan-pelan beradaptasi dengan kesibukan lalu lintas sampai berani lagi untuk mengendarai kendaraan.
Hal lain yang membuatku sangat gembira, adalah bermacam-macam makanan lezat bisa dimakan tanpa kuatir akan status kehalalannya di sini. Bolu, jajan pasar, nasi padang, atau makanan rumah, semuanya terasa berbeda dengan makanan yang kumakan di Perth. Tidak salah, kalau teman-teman di luar negeri sempat mengutarakan kerinduan mereka dengan makanan khas Indonesia,begitu mendengarku akan pulang. Mungkin karena rasanya yang sangat khas dan ‘tasty’ dari makanan Barat, selalu mengingatkan kita pada berbagai kejadian dalam hidup.
Wah, begitulah, semoga perjalanan pulang kali ini membawa banyak cerita baru untuk blogku. Aku akan berusaha tetap kreatif dan produktif, meskipun sudah kembali ke kotaku, Pekanbaru.
Pekanbaru,