Gambar didownload dari mstrust.org.uk |
“Saya sungguh tidak berbakat dalam bahasa Inggris, bagaimana
mau sekolah ke luar negeri” kata seorang teman pada suatu siang. Ia mengatakan
kalau ia bisa kembali ke bangku SD untuk belajar bahasa Inggris, maka ia ingin
sekali melakukannya. Ia terdengar seperti kehilangan sebuah harapan besar.
Tiba-tiba seorang teman lain mendatangi grup dadakan kami, saat si teman tadi masih meneruskan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya saat
menggunakan bahasa Inggris.
Beberapa orang masih mendengarkan dengan sepenuh hati,
hingga teman yang baru datang berkata, “Yah, susah itu kalau udah tidak
berbakat. Maunya hal-hal seperti ini dipelajari sejak kecil. Lagipula kalau
tidak ada keperluan sekolah di luar negeri, pastilah tidak bisa, walaupun sudah
ikut segala macam kursus,”
Mendengar hal itu, sebenarnya aku super gemes padanya.
Bukannya berusaha memberi dukungan pada teman, ia malah memperburuk kemungkinan
yang ada. Tanpa mempedulikan kata-kata negatif si teman, aku langsung menghibur
temanku yang tidak bisa bahasa Inggris tadi.
“Tidak apa, pak. Selama masih ada kemauan, Insya Allah ada
jalan. Bapak ga perlu kembali ke SMA untuk belajar bahasa Inggris.”
Mereka semua memandangku seolah tidak percaya. Masa sih, ada
caranya?
“Iya,” lanjutku buru-buru sebelum keduluan sama si teman
negatif. “Bapak dan Ibu terjun aja langsung memakai bahasa Inggris tanpa harus
pusing dengan segala tenses dan segudang aturan yang memusingkan”.
Aku terus berkata tanpa mempedulikan sanggahan teman negatif
yang berusaha memberikan pandangan. Aku tidak boleh kalah cepat, pikirku.
“Sekarang, tujuan bapak-ibu untuk belajar bahasa Inggris kan
hanya untuk masuk sekolah. Perlunya IELTS atau TOEFL saja kan?” pancingku.
Mereka mengangguk.
“Maka, fokuslah pada usaha-usaha untuk menaikkan nilai
IELTS, jangan pikirkan hal-hal lain seperti harus banyak vocab dulu, bisa
speaking dengan lancar atau lancar dulu menulis essaynya,” kataku panjang
lebar.
Si teman negatif terbahak setelah menghembuskan asap
rokoknya ke arah kami. Ia tidak percaya
soal itu. “Kalau prioritasnya masih belum sekolah, biasanya ga bakalan naik
nilai TOEFLnya”, sanggahnya.
Waduh, tidak sopan amat sih? Gerutuku dalam hati. Tapi aku
tidak peduli dengan reaksinya. Teman-temanku ini butuh semangat dan trick, jadi
aku harus berbagi informasi kepada mereka, apapun yang terjadi, pikirku.
“Bapak-ibu hanya perlu untuk menaikkan nilai IELTS, jadi
fokus saja sama soal IELTS. Jangan belajar semuanya, cuma hal-hal yang perlu
dilakukan untuk menaikkan skor IELTS saja,”
Teman-teman terlihat ragu. Hm, pastilah mereka tidak tahu
komponen IELTS itu apa saja.
“Itu saja tidak tahu, gimana bisa lulus ya” si teman sok
negatif menertawakan teman-teman lain.
“IELTS itu ada Listening, Reading, Speaking dan Writing”. Teman-temanku
mengangguk-angguk.
“Reading is okay, cuma perlu trik untuk cara membaca dan
menjawab. Kalau Listening, perlu latihan agar mudah menangkap kata-katanya.
Sedangkan Speaking, perlu berlatih setiap hari, minimal 30 menit dengan sparring partner. Soal writing, perlu
sedikit strategi, tapi ada cara yang paling mudah”, kataku sedikit penuh
misteri.
Teman-teman semakin tertarik mendengar kata-kataku.
“Untuk writing, guru saya di IALF Jakarta mengatakan,
gunakan saja trick fast track. Maksudnya,
kita pelajari dulu tipe-tipe essay yang biasa keluar di ujian IELTS Academic.
Lalu, tiap essay dibedah. Perhatikan pola-pola penulisan dan alur argumennya.
Kemudian, latih ingatan kita dalam menggunakan kalimat-kalimat yang sesuai
dengan tipe essay.”
Aku harus berhenti sejenak agar teman-temanku dapat mencerna
semua kata-kataku.
“Tidak usah rumit-rumit, gunakan contoh satu essay terbaik
untuk panduan, lalu gunakan saja caranya”, sekilas aku teringat kata temanku si
jenius Iwan Hwan mengenai tekniknya dalam mempelajari cara menulis essay untuk
IELTS. Persis dengan teknik dari guruku di IALF.
Aku semakin menikmati suasana itu. Tanpa kami sadari, si
negative thinker sudah meninggalkan grup diskusi. Teman-temanku lalu riuh
bertanya soal-soal yang berhubungan dengan IELTS tadi.
==============================================================
Itulah yang terjadi siang itu.
Pikiranku tertuju pada si teman yang dari dulu masih saja
tidak berubah kelakuannya. Hobinya memandang sesuatu secara terbalik dari orang
lain cukup mengganggu. Padahal kualitas seseorang terlihat dari
ucapan-ucapannya pada orang lain. Suka mengecilkan harapan orang, menertawakan
usaha orang, menganggap semuanya sulit untuk orang, sampai mengatakan bahwa
orang lain tidak akan sukses, sudah pasti keluar dari mulut seorang negative thinker sejati.
Apa alasannya untuk berbuat seperti itu, akupun tidak
mengerti. Yang kutahu, orang-orang seperti mereka sebenarnya memiliki kepicikan
hati, sulit melihat orang lain senang dan senang melihat orang dalam kesulitan.
Mereka membungkus diri dengan label ‘kami cuma berusaha rasional’.
Actually, mereka
terperangkap dalam jiwa tak berdaya karena tidak bisa melakukan hal yang sama.
Daripada semakin menderita melihat orang lain lebih maju dari dirinya, ia lalu berusaha
menyetop keinginan orang lain dengan ucapan-ucapan negatifnya.
Aku sendiri sebenarnya sangat bahagia bisa mengalahkan
omongan dan aura negatif yang disebarkan oleh temanku tadi. Rasanya sudah lama
sekali aku ingin super pandai bersilat lidah agar dapat melawan omongannya. Tapi sebenarnya, teknik melawan secara tidak
langsung dengan tetap tenang membangun semangat kawan-kawan tak kusangka lebih
ampuh ketimbang melawannya sendiri secara langsung.
Buktinya ia ngacir tanpa permisi.
Hopefully.
Pekanbaru.