Hah, banyak amat, seruku dalam hati saat melihat beberapa teman dengan wajah kusut membawa beberapa gulungan gambar di tangan
mereka. Tugas mingguan, delapan gambar dalam seminggu, teman dekatku berkata.
Delapan gambar seminggu! Pastilah para calon arsitek itu
harus punya bakat menggambar untuk menyelesaikan semua tugas dengan baik dan tepat waktu.
“Sebenarnya kak, apakah kita perlu punya bakat dalam
menggambar untuk masuk Arsitektur?” tanyaku pada seorang senior dari
Jurusan Arsitek suatu hari. Aku masih belum bisa membayangkan apa
jadinya tugas-tugas tanpa bakat tersebut. Lagipula aku
tahu ia pintar menggambar, karena tugas-tugasnya kerap menjadi contoh di
papan pajangan.
“Tidak juga sih,” jawabnya.
“Semua orang sebenarnya bisa
belajar menggambar, tetapi kalau ia punya bakat, maka gambar yang dihasilkan biasanya
terlihat lebih hidup”.
Oh, jadi itu
bedanya. Orang tak berbakat juga bisa menghasilkan gambar yang bagus,
tetapi si berbakat kalau bisa mengeksploitasi kejeliannya, maka ia
menghasilkan gambar yang jauh lebih menyentuh.
Si pintar yang tak
pernah bertanya
Ada sebuah kejadian lain lagi soal bakat yang cukup membekas
dalam hatiku. Hal ini terjadi antara kami para peserta tutorial dengan dosen
Statistika.
“Saya tahu ada satu dua orang di kelas kalian yang sangat pintar dan hasil kuis mereka selalu sangat memuaskan” lanjut beliau.
Kamipun saling berpandangan dengan wajah penuh tanya.
“Sayangnya, mereka tidak pernah datang bertanya pada saya, padahal kalau mereka mau berdiskusi dengan saya...” ia kemudian tidak melanjutkan kata-katanya. Siapapun itu, aku turut menyesal karena kalau temanku mau datang, siapa tahu ia bisa mendapatkan nilai sempurna dalam mata kuliah ini, sesalku.
Jurus dua golok
Soal bakat vs ketekunan juga disinggung dalam buku Ranah 3
Warna (karangan Ahmad ‘Negeri 5 Menara’ Fuadi). Hal ini berkaitan dengan ‘jurus
dua golok’ yang diajarkan oleh Kyai mereka di Pondok. Dalam jurus ini digunakan
dua macam golok yang untuk memotong sepotong tongkat kayu. Golok pertama
berkilau, tajam dan sering diasah. Sedangkan golok kedua karatan, tumpul dan
sudah pasti sebaiknya diasah dahulu sebelum digunakan oleh sang Kyai.
Sang Kyai mendemonstrasikan bahwa golok yang sangat tajam tadi jika tidak digunakan sebagai mana mestinya dan asal-asalan, ternyata tidak dapat memotong sebilah kayu tadi. Sedangkan golok tumpul plus karatan yang digunakan dengan serius, terus-menerus dengan irama konsisten malah pada akhirnya membuat tongkat kayu terpotong. Tentu saja perlu waktu lebih lama untuk memotong kayu dengan golok tumpul, tetapi jika si golok tajam tak serius memotong maka ketajamannya tadipun tidak terlalu berguna.
Kyai tersebut mengajarkan lewat jurus dua golok, bahwa orang yang tidak terlalu berbakat tetapi selalu serius dan tekun berusaha dalam mengerjakan sesuatu pada akhirnya akan menuai hasil memuaskan juga.
Sang Kyai mendemonstrasikan bahwa golok yang sangat tajam tadi jika tidak digunakan sebagai mana mestinya dan asal-asalan, ternyata tidak dapat memotong sebilah kayu tadi. Sedangkan golok tumpul plus karatan yang digunakan dengan serius, terus-menerus dengan irama konsisten malah pada akhirnya membuat tongkat kayu terpotong. Tentu saja perlu waktu lebih lama untuk memotong kayu dengan golok tumpul, tetapi jika si golok tajam tak serius memotong maka ketajamannya tadipun tidak terlalu berguna.
Kyai tersebut mengajarkan lewat jurus dua golok, bahwa orang yang tidak terlalu berbakat tetapi selalu serius dan tekun berusaha dalam mengerjakan sesuatu pada akhirnya akan menuai hasil memuaskan juga.
Meskipun
orang berbakat akan menghasilkan produk yang lebih ‘berkilau’ daripada si tak
berbakat, tetapi keberhasilan akhir mereka tergantung dari keseriusan dan
ketekunan mereka sendiri.
Tidak hanya
mengandalkan bakat saja
Berdasarkan cerita di atas, maka mudah dimengerti kalau
untuk berhasil, tidak murni hanya menggunakan bakat saja. Asal seseorang mau
mencari jalannya, tekun berusaha dan tidak gampang menyerah, maka ia akan
mendapatkan imbalan setimpal, yaitu sebuah kesuksesan.
Oleh karena itu, kita
harus berhenti berkata pada diri kita maupun kepada orang lain kalau kita tidak
berbakat dalam melakukan sesuatu.
Prof Habibie
pernah mengakui kalau dirinya hanyalah orang yang tekun berusaha dan
bukan
termasuk orang jenius (buku Habibie dan Ainun). Untuk ukuran orang
sekaliber beliau, kurasa, pengakuan
ini hanyalah bentuk kerendahan hati beliau saja. Saat mengambil doktor
di Jerman, meskipun waktunya banyak dihabiskan saat bekerja paruh waktu,
seperti merancang gerbong kereta api ringan, ia tetap bisa lulus dengan
nilai cemerlang. Sepertinya, ia lebih suka dikatakan
sebagai orang yang tekun dan giat berusaha ketimbang seorang super
jenius di
bidangnya. Hal ini menunjukkan, bahwa bakat semata bukanlah satu-satunya
penentu kesuksesan, tetapi juga ketekunan dan keseriusan.
Bagi adik-adik mahasiswa atau teman-teman yang mengatakan ia
tidak berbakat di suatu bidang, sebaiknya mereka meralat pola pikir anda. Kita
tidak selalu harus berbakat dalam suatu bidang, lalu baru dapat terjun ke
dalamnya. Insya Allah berkat ketekunan dalam berusaha, kita bisa juga kok meraih impian dalam hidup.
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment