Akhirnya tibalah giliranku untuk
bertemu kedua pewawancara beasiswa ADS 2006. Salah seorang Profesor
berasal dari University of South Australia, sedangkan pewawancara lain adalah
pejabat BPPT. Wawancara tentu saja dilakukan dalam bahasa Inggris.
Awalnya mereka menanyakan hal-hal umum dan seputar studi
S2 dahulu di Manchester. Lalu mereka ingin mengetahui rencana risetku di
Australia nanti. Kutunjukkan
lembar rencana riset, dan diagram sinergi program riset dengan tujuan
program ADS.
Mereka mengajukan pertanyaan tentang ketersediaan fasilitas dan
hubunganku
dengan calon supervisor. Kemudian, mereka ingin mengetahui prestasiku di
bidang
kerja.
Aku bersyukur karena telah memiliki ‘bekal’ bukti fisik di dalam
berbagai folder yang telah kususun berdasarkan jenis pengalaman kerjaku.
Setelah
beberapa lama akhirnya aku baru bisa tersenyum saat melihat kedua
pewawancara mengangguk-angguk
sambil melirik satu sama lain. Sedari tadi mereka ingin melihat tingkat
ketahananku diganyang pertanyaan sedemikian rupa. Akhirnya kata
‘sanggup’ dan
‘Insya Allah mampu’ yang kuberikan cukup untuk meyakinkan mereka kalau
aku bisa
menyelesaikan PhD.
Tak terasa lebih dari 30 menit berlalu aku
diwawancara oleh kedua orang tersebut. Benar-benar rekor ujian lisan
terlama yang pernah kualami dalam hidup, dan juga wawancara terlama hari itu di antara semua
peserta.
Saat aku keluar dengan wajah lega, semua rekan-rekan di
luar ruangan bergegas menyalamiku. Entah karena aku terlalu lama di
dalam sana, atau apalah, yang penting aku menghargai sekali perhatian
mereka. Bapak pewawancara dari BPPT malah keluar ruangan lalu meminta
kartu namaku dan menyerahkan kartu nama beliau. Beliau mengatakan, jika
lulus dari PhD nanti, beliau berharap aku menghubungi beliau. Aku malu
sekali. Teman-temanku menaikkan alis mereka sambil tersenyum menggoda.
Kita lihat saja saat aku lulus nanti, kataku dalam hati.
Setelah wawancara besar selesai, tes IELTS dimulai.
Rasanya tingkat kepercayaan diriku melesat
drastis setelah mendapatkan pengalaman positif saat wawancara tadi.
Biarpun aku merasa sangat mengantuk karena baru saja memakan obat pereda
flu, semua soal YES, NO, NOT GIVEN, berhasil juga
kuselesaikan. Mungkin karena topik Reading
yang diberikan banyak berkisar soal Science
dan Technology, sehingga tidak
terlalu membutuhkan waktu lama untuk memikirkannya. Bagian IELTS yang paling
kukuatirkan, yaitu Speaking dan Writing juga terasa lebih mudah kali
ini. Apa pengaruh obat flu dan rasa kantuk atau karena aku sudah pasrah?
Tetapi
di kemudian hari, saat ujian IELTS setelah program EAP kami hadapi, salah
seorang teman dengan skor tertinggi mengatakan bahwa soal-soal untuk tes IELTS
saat saringan tidak sesulit soal tes yang kami kerjakan IALF Jakarta. Biar
begitu, syukur Alhamdulillah, semua tahap dalam seleksi beasiswa ini telah aku
selesaikan. Setelah berbulan-bulan berusaha, sambil menunggu hasilnya inilah saatnya
berdoa jauh lebih sungguh-sungguh agar Allah memberikan hasil yang memuaskan.
English Academic Preparation di IALF Jakarta
Bulan Februari 2006, aku
mendapatkan pengumuman kelulusan tahap wawancara dan IELTS, serta surat
undangan untuk datang ke IALF Jakarta. Program EAP (English Academic Preparation) disponsori oleh ADS untuk
mempersiapkan kemampuan bahasa Inggris dan persiapan keahlian dalam studi di
Australia akan kuikuti 8 minggu. Kelas Eight Weeks (8 minggu) ini diadakan untuk pelamar yang
masih memiliki kelemahan dalam bidang Writing
dengan skor rata-rata di bawah 6.0. Bersama ratusan teman yang telah berada di
IALF Jakarta dalam program berbeda, aku dan teman-teman baru sekelas bergabung dalam berbagai kelas yang
dikelola IALF secara profesional. Setiap hari selama 8 minggu kami diberi
materi Writing, Speaking, Reading
termasuk Culture Shock.
Pada saat itulah, kerja keras di waktu
sebelumnya mulai berbuah manis.
Kami dengan cepat terbiasa untuk rutin belajar
bahasa secara mandiri. Hampir setiap pagi
aku datang lebih awal bersama beberapa orang lain, duduk menghadap tape recorder, mencoba berlatih Listening. Siang hari setelah waktu
istirahat dan makan siang, aku membaca buku dan majalah yang tersedia di
perpustakaan IALF. Sore hari, kadang kami memilih belajar selama satu-dua jam
bersama-sama teman lain untuk menjadi partner Speaking mereka.
Sedangkan pada malam hari di tempat
kos, aku akan menghabiskan koran Kompas yang secara khusus kulanggan sendiri untuk
menambah wawasan dan memperkaya bahan argumentasi untuk Writing. Setiap hari Sabtu dan Minggu, kadang aku lebih suka menghabiskan
waktu di kamar untuk berlatih Writing
part I dan II. Pendeknya waktu
yang ada harus dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan keahlianku di
keempat bidang terutama Writing.
Alhamdulillah, saat berjuang itupun
kami sedang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, sehingga kurasakan
begitu banyak kesempatan untuk khusyuk berusaha dan berdoa. Aku tidak ingin
gagal pada tahap akhir proses panjang mendapatkan beasiswa ini. Tentunya hal
ini dirasakan oleh ratusan teman-temanku yang sudah berbulan-bulan belajar untuk
meningkatkan skor IELTS mereka.
Beberapa hari sebelum pelaksanaan ujian
IELTS sebenarnya ada kabar gembira untukku. Curtin University memberikan unconditional offer letter yang artinya
kemampuan bahasa Inggrisku bukan masalah bagi mereka. Tetapi ADS telah mempersiapkan
aku untuk tes IELTS sebagai prasyarat mendapatkan beasiswa. Maka aku harus
tetap menempuh tes tersebut. Beberapa hari kemudian hasil ujian IELTS diumumkan
dan hampir semua orang di kelasku berhasil mendapatkan skor IELTS memuaskan.
Alhamdulillah,
akhirnya undangan itu datang juga!
Perjalanan epik mendapatkan beasiswa
itupun berakhir di suatu sore bulan Desember 2006. Sebuah amplop besar dan
tebal berisi kontrak antara ADS dengan diriku dan universitas harus
ditandatangani oleh pak Rektor dan diriku.
Yes,
inilah momen terakhir dari perjalanan panjang mendapatkan beasiswa. Semua rasa lelah
telah lenyap berganti rasa bahagia dan syukur. Seakan tak percaya, begitu banyak
persiapan dan usaha yang dilakukan sejak tahun 2004, akhirnya membawaku datang
ke Australia untuk memulai hidup baru sebagai seorang mahasiswa PhD.
Cita-cita untuk mendapatkan biaya
sekolah di luar negeri gratis dan mencoba menggali pengalaman baru serta
mendapatkan keahlian baru, Masya Allah… dikabulkan oleh Allah. Terima kasih ya
Allah, atas karuniaMu yang telah mengundangku bersama keluarga untuk datang menuntut ilmu di
Australia.
Aku akan berusaha sebaik-baiknya agar semua ini tidak sia-sia.
(Selesai)
Terimakasih hubby, keluargaku dan bapak-ibu mertua sekeluarga, yang telah memberi dukungan tiada tara untuk semua usaha mendapatkan beasiswa ini.
Pekanbaru,