Hampir tiap saat aku dan mbak S, teman serumah di
Manchester, mencermati isi koran gratis di ruang duduk. Saat musim panas
menjelang, beraneka tour ke daratan Eropa banyak ditawarkan dengan harga
terjangkau kantong student (saat itu 50-80GBP). Setelah cukup lama pikir-pikir,
akhirnya mbak S mendapatkan tour 3 hari ke Paris, Perancis, yang paling cocok
dengan keadaan kami; ya kantong,
itinerary dan waktu!
Visa Perancis
Berhubung tidak ada konsulat Perancis di Manchester, kami
harus mengurus visa di Kedutaan Perancis, London. Saat itu untuk mendapatkan
Visitor Visa, kami harus antri pagi-pagi sekali di depan Kedutaan Perancis,
karena waktu pemberian visa dibatasi hingga pukul 10 pagi. Jarak
Manchester-London sekitar 5 jam dengan bus antar kota yang bertingkat. So, kami
berdua berencana berangkat ke London dengan bus pukul 00.05 malam. Berhubung
stasiun busnya hanya tetanggaan dengan UMIST, maka aku dan mbak S memilih
menginap beberapa jam di lab komputer Sackville St hingga saat keberangkatan
tiba.
Setelah menunggu beberapa jam sambil berjuang menahan
kantuk, akhirnya kami berdua bisa naik bus. Bus tidak terlalu sepi. Tetapi aku
tak ingat apa-apa lagi karena sudah tengah malam dan perjalanan sepertinya
berjalan sangat lancar. Aku hanya terbangun beberapa kali saat bus sempat
berhenti sebentar di Birmingham dan Milton Keynes. Begitu tiba di Bandara
Luton, kami baru sadar sepenuhnya. Matahari telah terbit, dan sebentar lagi bus
akan memasuki kota London.
Entah bagaimana caranya (mungkin karena ngantuk, jadi tak
ingat), tahu-tahu kami sudah sampai di belakang antrian panjang. Antrian itu
telah mengular sampai ke ujung jalan. Dari ratusan orang tersebut, hanya
seorang wanita Asia yang mau menyapa kami dengan ramah. Beliau berasal dari
Thailand dan menetap di Inggris. Kami sempat mengobrol dengannya sebentar, lalu
sibuk mempersiapkan berkas-berkas untuk aplikasi visa.
Saat gerbang dibuka, antrianpun bergerak masuk ke dalam
gedung. Semua orang bergegas, karena waktu sangat penting! Untunglah data-data
yang kumiliki sudah lengkap, sehingga tidak ada masalah dengan visa kunjungan
selama 12 hari tersebut. Biayanya pada tahun 2000 sekitar 16GBP. Sayangnya
belakangan baru kuketahui kalau mbak S tidak berhasil mendapatkan visa yang
sama. Apalagi masalahnya, kalau bukan paspor dinas (paspor biru) yang juga
menyulitkanku dalam bepergian di Australia!
Kamipun bergegas mengejar bus merah khas London menuju
Kedutaan Indonesia. Mbak S harus mendapatkan surat keterangan (semacam exit
permit?) untuk aplikasi visa. Kamipun menunggu dengan beberapa orang yang
membutuhkan keterangan sama dari Kedutaan. Sambil menunggu, kami mampir di
kantin Kedutaan untuk makan siang khas Indonesia. Wah, rasanya sudah lama sekali
tidak makan soto ayam dengan citarasa original!
Perlu naik bis yang lain lagi ke Kedutaan Perancis. Nah, di
situlah letak istimewanya paspor biru. Urusannya bukan lagi di tingkat
Konsuler, tapi sudah menyerempet ke tingkat Embassy! Begitu sampai, kami harus
menunggu di ruangan yang bergaya klasik, penuh patung-patung berwarna putih,
dengan dinding marmer coklat berkilau. Persis ruang tunggu yang kulihat
beberapa tahun kemudian di Sydney Art Gallery. Btw, good newsnya, visa untuk
mbak S bisa dikeluarkan. Sedangkan bad newsnya, paspor baru selesai minggu
depan! Setelah rembukan lagi, kami memutuskan untuk kembali lagi ke London
minggu depan untuk menjemput paspor mbak S.
(to be continued to Part 2)
No comments:
Post a Comment