Wednesday, June 27, 2012

Oh, those street musicians!


Kastil oranye beratap hijau tua yang kontras dengan langit biru, Fairmont Chateau Frontenac, menjulang megah di hadapan Sungai Saint Lawrence, Quebec City, Canada. Pengunjung hanya bisa duduk ataupun berjalan-jalan di sekeliling kastil besar berlantai kayu tersebut. Siang hari di depan kastil itu terasa semakin indah dengan adanya musik live seorang musisi jalanan yang membawakan lagu-lagu pop romantis Kenny G.

Para musisi jalanan itu, saat mereka berada di saat dan tempat yang tepat memang dapat menjadi nilai tambah bagi landscape dan landmarks. Bak sebuah soundtrack dalam film, suasana di sekitarnya bisa beberapa kali lipat terasa lebih indah dari biasanya. Tetapi, aku kira keindahan semacam itu hanya dapat dinikmati secara subjektif. Jika seseorang memang berjiwa sensitif dan menyukai seni, maka ia dapat meresapi kombinasi musik dan lingkungan tersebut. Rasa tenang, nyaman, menyembuhkan yang dihasilkan secara terus-menerus memang berpengaruh besar pada jiwa. Sehingga rasa kesyukuran dan sikap positif bisa memancar dari diri kita.

Pengalamanku merasakan interaksi antara landscape dan landmarks dengan para musisi jalanan ada di dalam dan luar negeri. Suatu sore di Stasiun Tugu Yogyakarta, aku dan teman-teman sedang makan soto sulung, kami tidak menyadari kehadiran sekelompok musisi jalanan di depan warung. Tetapi, kala mereka memainkan lagu ‘Rindu Ini’ dari Warna dengan sentuhan jazz yang unik, membuat kami terdiam. Selain cocok dengan suasana klasik dengan stasiun Tugu, aku merasa lebih ceria setelah mendengarkan lagu tersebut.

Tidak hanya meningkatkan keceriaan, diriku pernah mellow karena para musisi jalanan. Saat melintasi taman umum di pusat bisnis Manchester, England, tiba-tiba lagu instrumental  ‘Here, There and Everywhere’ dari The Beatles, seorang pemain biola seperti melipat gandakan rasa sedihku.  Pasalnya aku sedang homesick dan baru membuat kesepakatan pelik soal perasaan. Ck ck ck, sampe segitunya ya.

Namun, walau suka mellow, tetapi perasaan nyaman sebenarnya lebih sering ada saat mendengarkan musik di pinggir jalan. Di sebuah lorong kota Manchester, aku kerap berhenti sejenak untuk menikmati ‘Air on the G String’ dari Bach, oleh siswa-siswa sekolah musik. Lagu-lagu semacam itu memang bisa menghangatkan hati saat cuaca sedang mendung, apalagi kalau ditambah segelas vanilla latte. Sip, tenan!

Kadang, para musisi jalanan berhasil menghadirkan suasana super kontras dengan lokasi tempatnya mengamen. Di pusat kota Perth CBD, seorang musisi jalanan bisa memeriahkan suasana dengan pianonya dan lagu-lagu Billy Joel. Orang-orang tak ragu memberikan donasi lebih pada permainan biola klasik dengan lagu-lagu Eropa di tengah kota Sydney. Bahkan, uniknya di balik bangunan klasik University of Canterbury dan kebun raya kota Christchurch, suara bagpipes lebih sering terdengar. Musisi dengan kostum rok tartan lengkap berbaris memainkan lagu-lagu semacam ‘Scotland the Brave’ atau ‘Funeral Song’. Sekarang ini sedang di New Zealand atau Skotlandia?

Ssst, ternyata jiwa romantis bisa juga muncul tanpa diundang, apalagi kalau sedang tidak bersama hubby. Sore itu saat melintasi taman Univ Tongji Shanghai, tiba-tiba indra pendengaran diserbu lagu-lagu melankolis akustik. Musik tersebut memenuhi kampus yang mulai gelap dan sejuk itu. Suasana jadi persis di film-film Korea lagi, karena saat itu sedang musim gugur. Jadi ingin cepat pulang dan memberi hubby sebuah pelukan.

Siang itu setelah mengeliling Chateau Frontenac, aku dan mama berdiri di depan seorang harpist berkulit gelap dan berambut putih yang memainkan harpanya. Ia menggangguk sedikit saat aku memasukkan sejumlah uang di kotak donasi. Sebagai courtesy, ia memainkan ‘Canon D’ (Johan Pachebel).  Wow, that really reminds me to my beloved hubby. Hi babe, who’s still in the Southern Ocean... I send you lots of love from this Northern land.

Pekanbaru,
Our impression on music is really personal.


No comments: