Sahabatku, orang yang suka menolong, telah dicerca karena
sebuah maksud baiknya. Dengan sedih ia menuturkan bahwa ia dituduh lancang
telah mengumpulkan donasi tanpa seizin atasan dan persetujuan teman-teman.
Sedang diriku hanya bisa mengurut dada saat seseorang menuduhku bak ‘pahlawan
kesiangan’. Aku dan tim dianggap hanya ingin mendapat nama setelah kegiatan
yang kami bantu telah terlaksana.
Sebenarnya, apa yang dicari manusia saat ia melakukan sesuatu?
Ketenaran? Kekayaan? Kepuasan batin? Masalahnya, orang sering lupa bahwa apapun
yang dilakukan hendaklah semata-mata karena mengharap pahala Allah. Kalau
niatnya jadi yang lain-lain, itulah sebabnya jadi gampang sakit hati saat
kebaikan dibalas dengan ‘tamparan menyakitkan’.
Sahabatku yang dituduh mengorganisir sesuatu tanpa
persetujuan atasan dan kolega, sebenarnya ingin mempermudah pekerjaan semua
orang. Tentu saja ia meminta persetujuan teman-teman yang berkaitan dengan hal
tersebut, karena toh, beberapa orang dengan sukarela mengeluarkan biaya
urunannya. Hanya karena ulah dan perkataan segelintir orang yang tidak mau
mengeluarkan uang untuk keperluan makan-makan sajalah yang telah mengacaukan
semuanya. Kegiatan itupun dibatalkan, uang dikembalikan dan hati terluka harus
disembuhkan.
“Kadang maksud baik itu memang sulit diterima orang lain,”
kata senior kami. Apalagi hati sempit dan pikiran picik yang menyebabkannya.
Jadi tak heran, hal-hal kecil bisa jadi besar, dan memakan korban orang-orang
yang tulus dalam bekerja.
Soal ketulusan bekerja ini juga bisa menjadi bumerang
tersendiri bagi diriku baru-baru ini. Aku dan tim telah berusaha mengerjakan tugas
dari atasan yang melibatkan pihak lain tanpa pikiran imbalan, nama atau
reputasi. Tadinya tugas itu sama sekali tak kusukai, tetapi lambat-laun aku
bisa menerimanya demi Allah. Sayangnya, setelah energi dan sumber daya kami habis,
begitu kegiatan berakhir aku harus menelan pil pahit saat mulut busuk seseorang
menuduh kami sebagai ‘pahlawan-pahlawan kesiangan’~ yang ingin mendapat nama setelah semuanya berakhir! Kejam nian orang yang
berpikiran demikian. Bahkan, sungguh terlalu saat ia bisa mengucapkannya kepada
orang lain tanpa berpikir.
Belajar dari kedua kasus itu, sekarang aku harus belajar
(lagi-lagi) meluruskan niat dalam melakukan sesuatu. Masalahnya, saat masih
terbetik rasa ‘sakit hati’ meskipun sebesar atom, maka sulit bagi aku dan
sahabat untuk mendapatkan pahala dari Allah. Dalam hati, mungkin masih ada
‘rasa ingin dihargai’ oleh orang lain. Sehingga saat mereka tidak menerima atau
menuduh yang bukan-bukan, kok masih ada rasa kecewa dalam hati. Lagipula aku
harus belajar lagi, bahwa masalah-masalah sepele seperti ini jangan sampai
menggerogoti keteguhan dan kekuatan hati yang telah kubina sejak lama. Baca lebih lanjut dalam 'Nulung malah kepenthung'.
Maka dari itu, tarik nafas, dan berniatlah agar segala
sesuatu yang dilakukan hanya untuk mengharap pahala dari Allah, dan bukan untuk
penghargaan dari manusia.
“Selama Allah masih melihat dan mengetahui kebaikan yang
dilakukan, serta mengetahui keutamaan yang diulurkan, maka janganlah
mengharapkan pujian dari orang lain.”
(p.98, La Tahzan, Dr ‘Aidh al-Qarni).
Pekanbaru,
No comments:
Post a Comment