Beberapa tahun silam aku pernah menghadapi seseorang yang
cukup keras pada mahasiswa. Sebenarnya ia bukan orang yang menakutkan secara
fisik, tetapi cara penyampaian, ego dan kecepatan reaksi dalam menanggapi masalah sering membuat orang frustasi saat mereka berbicara dengannya. Sayangnya,
aku harus berurusan dengannya berkaitan dengan izin pemakaian suatu alat karena
ia sangat berhak memberikan keputusan akhir.
Hari itu kami berdua tahu bahwa aku dan beliau harus
membicarakan izin itu. Pasalnya aku sudah berkali-kali minta pada atasannya,
tetapi sang atasan yang bijaksana mengatakan kalau aku juga harus meminta izin
orang tersebut. Berhari-hari aku menunggu untuk mengumpulkan keberanian dan menata strategi. Izin harus didapatkan supaya tugas dapat dilaksanakan dengan lancar.
Suatu hari saat sore menjelang dan ruangan tempat kerja mulai sepi, tiba-tiba aku merasa gerah dengan suasana di
sekelilingku. Sesuatu terasa menekan keras di dalam dadaku, menggumpal dan tak sabar ingin
dikeluarkan. Aku dapat merasakan bahwa iapun mengalami hal tak nyaman yang sama. Beberapa kali kudengar beliau secara sengaja membanting beberapa alat atau berbicara dengan nada keras kepada orang lain seolah pikirannya terganggu oleh sesuatu.
Aku pikir, itulah saat yang kutunggu untuk mulai bicara supaya kebekuan komunikasi
kami bisa dipecahkan.
Detik-detik permintaan izin itupun tiba.
Ia sudah beranjak dari kantor bersiap mengunci pintu untuk pulang. Pada saat bersamaan aku berdiri di depan pintu kantornya, menunggu diriku meminta izin.
Kami berdua berdiri kaku di depan pintu saling memandang.
Lalu aku menyampaikan maksudku.
Ia mendengar, lalu dengan cepat mengatakan sangat keberatan
memberikan izin dengan berbagai alasan dan contoh-contoh kasus.
Aku menunggu ia selesai dengan
perkataannya, lalu mencoba kembali memberi argumen yang masuk akal agar diberi izin.
Ia
kembali menolak.
Tidak putus asa, aku menceritakan metode pemberian sebuah izin
dari lembaga dengan lancar. Rasanya sudah hampir di
puncak rasa frustasi karena kata ‘tidak’ dan ‘keberatan’ lebih sering terdengar
ketimbang ‘dipikirkan’ dan ‘dicek kembali’ dari orang tersebut. Aku terus berbicara menerangkan rencana kerja sistem tersebut karena begitu sulit meyakinkan dirinya.
Ia tersenyum sinis tapi tetap diam.
Aku diam juga, menunggu.
Tiba-tiba ia berpikir teknik yang dikerjakan oleh lembaga
itu cukup bagus. Ia tertarik untuk mencoba metode tersebut untuk mengeluarkan
izin.
So, it’s settling now.
Wajah kami sangat lega.
Aku gembira karena telah berani menyampaikan maksudku dengan
baik sehingga ia memahami dan mau memberikan izin.
Sedangkan ia juga berani mengalahkan egonya, mau menahan diri
supaya tidak kesal berlarut-larut, mendengar dahulu dan turut menimbang solusi
terbaik.
Ini pelajaran menjadi berani terbaik untukku.
Pekanbaru,