Tuesday, April 23, 2013

Belajar (menjadi) Berani

Beberapa tahun silam aku pernah menghadapi seseorang yang cukup keras pada mahasiswa. Sebenarnya ia bukan orang yang menakutkan secara fisik, tetapi cara penyampaian, ego dan kecepatan reaksi dalam menanggapi masalah sering membuat orang frustasi saat mereka berbicara dengannya. Sayangnya, aku harus berurusan dengannya berkaitan dengan izin pemakaian suatu alat karena ia sangat berhak memberikan keputusan akhir.

Hari itu kami berdua tahu bahwa aku dan beliau harus membicarakan izin itu. Pasalnya aku sudah berkali-kali minta pada atasannya, tetapi sang atasan yang bijaksana mengatakan kalau aku juga harus meminta izin orang tersebut. Berhari-hari aku menunggu untuk mengumpulkan keberanian dan menata strategi. Izin harus didapatkan supaya tugas dapat dilaksanakan dengan lancar.

Suatu hari saat sore menjelang dan ruangan tempat kerja mulai sepi, tiba-tiba aku merasa gerah dengan suasana di sekelilingku. Sesuatu terasa menekan keras di dalam dadaku, menggumpal dan tak sabar ingin dikeluarkan. Aku dapat merasakan bahwa iapun mengalami hal tak nyaman yang sama. Beberapa kali kudengar beliau secara sengaja membanting beberapa alat atau berbicara dengan nada keras kepada orang lain seolah pikirannya terganggu oleh sesuatu. 

Aku pikir, itulah saat yang kutunggu untuk mulai bicara supaya kebekuan komunikasi kami bisa dipecahkan.

Detik-detik permintaan izin itupun tiba. 

Ia sudah beranjak dari kantor bersiap mengunci pintu untuk pulang. Pada saat bersamaan aku berdiri di depan pintu kantornya, menunggu diriku meminta izin.

Kami berdua berdiri kaku di depan pintu saling memandang. 

Lalu aku menyampaikan maksudku. 

Ia mendengar, lalu dengan cepat mengatakan sangat keberatan memberikan izin dengan berbagai alasan dan contoh-contoh kasus.
 
Aku menunggu ia selesai dengan perkataannya, lalu mencoba kembali memberi argumen yang masuk akal agar diberi izin. 

Ia kembali menolak. 

Tidak putus asa, aku menceritakan metode pemberian sebuah izin dari lembaga dengan lancar. Rasanya sudah hampir di puncak rasa frustasi karena kata ‘tidak’ dan ‘keberatan’ lebih sering terdengar ketimbang ‘dipikirkan’ dan ‘dicek kembali’ dari orang tersebut. Aku terus berbicara menerangkan rencana kerja sistem tersebut karena begitu sulit meyakinkan dirinya. Ia tersenyum sinis tapi tetap diam.

Aku diam juga, menunggu.

Tiba-tiba ia berpikir teknik yang dikerjakan oleh lembaga itu cukup bagus. Ia tertarik untuk mencoba metode tersebut untuk mengeluarkan izin.

So, it’s settling now. 

Wajah kami sangat lega.

Aku gembira karena telah berani menyampaikan maksudku dengan baik sehingga ia memahami dan mau memberikan izin. Sedangkan ia juga berani mengalahkan egonya, mau menahan diri supaya tidak kesal berlarut-larut, mendengar dahulu dan turut menimbang solusi terbaik.

Ini pelajaran menjadi berani terbaik untukku.

Pekanbaru,

2 comments:

Anonymous said...

nice experience buk mo...makes me better for facing seminar proposal..hhe

Monita Wibisono said...

thank's dear, mudah-mudahan seminar proposal dan TAnya berjalan lancar, ya. Btw, next time, jangan anonim lagi:) be proud of yourself:)