Selama empat tahun tinggal di Perth (2007-2011), kami berdua
belum pernah jalan-jalan ke bagian Selatan Western Australia, seperti Albany,
Denmark, Augusta, Margaret River. Pada awal musim panas 2011 barulah kami
mendapat kesempatan untuk menaklukkan rute Perth-Albany-Denmark-Augusta-Busselton-Rockingham-Perth
(total 1139km) dalam dua hari dengan si Starlet ijo.
|
Tipikal jalanan aspal WA |
Cukup skeptis juga melihat pemandangan di tepi jalan yang
sangat standard dari Perth ke Albany sepanjang 419 km. Jalan lurus mulus tanpa
kerutan di aspal, langit biru luas terbentang, padang rumput menguning,
semak-semak dengan tanaman drought
tolerant (tahan kekeringan), sisa-sisa kebakaran hutan ekaliptus, yang pokoknya
berbanding sangat terbalik dengan pemandangan indah-indah di New Zealand. Biar
begitu, aku berusaha menikmati perjalanan dengan trik lamaku, yakni
memperhatikan bunga-bunga dan menghafal jenis-jenis pohon endemik. Semakin
mendekati Albany, vegetasi liar semakin berubah warna dan jenisnya. Kalau di
tempat terkering hanya ada pohon rumput (grass
tree), pohon ekaliptus dan semak-semak wangi, maka di tempat-tempat sejuk banyak
terlihat banksia dan tanaman domesticated
Eropa seperti mawar dan bunga-bunga musim semi lainnya.
Kota pelabuhan Albany didirikan pada tahun 1827 dan
merupakan salah satu hub penting menghubungkan Kerajaan Inggris dan Australia.
Industri utama adalah pertanian, kayu dan paus. Betul, bukan ikan tuna, tetapi
ikan paus! Industri penangkapan ikan paus dimulai sejak tahun 1950 dan ditutup
28 tahun berikutnya. Sisa-sisa industri tersebut dapat dilihat di Museum Whale
World yang kusesali tidak dapat kami kunjungi karena keterbatasan waktu. Di
pusat kota dapat dilihat beraneka bangunan bersejarah sebagai saksi peradaban
di kota pelabuhan pertama WA.
|
York Street, Albany |
Salah satu tempat keren di Albany adalah menyusuri Marine Drive dan
singgah di Viewing Area untuk melihat panorama King George Sound. King George
Sound yang dibatasi dua pulau dengan Samudera Antartika dikunjungi berbagai jenis
paus seperti Humpback Wales tiap bulan Juli-Oktober. Kita bisa ikut tur ‘Whale
Watching’ dan katanya dijamin bisa melihat paus berkeliaran di sekitar tempat
itu. Perairan tersebut juga menyimpan bangkai kapal perang, kapal pemburu paus
dan kapal pengangkut batu bara yang pernah tenggelam di sana. Perairan ini juga
dikenal sebagai salah satu tempat penyelaman (diving spot).
|
King George Sound ke arah Princess Royal Harbour |
Aku sangat
menyukai pemandangan di King George Sound karena perairan dalam berwarna biru
pekat dan hembusan udara sejuk dari benua es Antartika.
|
King George Sound ke arah Samudra Antartika |
Ada dua tempat yang ingin kami lihat sore itu, yakni Wind
Farm dan The Gap.
Berbekal peta besar dari Pusat Informasi Albany, kami
menyusuri Frenchman Bay Road hingga ke Selatan. Rumpun bunga merah jambu
menghiasi taman di pinggir jalan. Selain itu sepanjang jalan dapat dilihat
perairan dangkal biru muda dengan tumpukan kristal putih (bukan pasir) dekat
pantainya. Tumpukan kristal putih tersebut, pastilah garam! Sayangnya aku tidak
dapat mengecek langsung karena kami harus ngebut ke tempat lain.
|
Taman di tepi jalan Frenchman Bay |
|
Frenchman Bay |
Pelajaran ‘energi keberlanjutan’ (sustainable energy) dapat
diambil dari kunjungan ke Albany Wind Farm, Tanjung Torndirrup. Albany Wind
Farm dibuka pada tahun 2001 sebagai sumber listrik ‘hijau’ untuk kota Albany. Turbin
angin (wind turbines) dapat berputar meski kecepatan angin hanya 7 km/jam, dan
harus dimatikan saat angin berhembus dengan kecepatan 120 km/jam agar turbin
tidak rusak. Angin membantu memutar kedua belas turbin dengan tiga blades
(bilah pemutar) sepanjang 35 meter. Teknologi ini cocok digunakan di Albany,
karena hanya ada tujuh hari dalam setahun di mana kecepatan angin tidak dapat memutar blades. Wind Farm
direncanakan beroperasi selama 20 tahun dan menghasilkan 1.5 milyar unit
listrik atau setara dengan lampu 100W yang dipakai selama 1 juta tahun.
|
Albany Wind Farm |
|
Di bawah lindungan Wind Turbine |
Sedangkan menyangkut Teknik Sipil, maka hal terpenting dari
konstruksi turbin angin adalah pondasi. Untuk memikul menara setinggi 65 meter
dan diameter bawah 13.2 meter tersebut, diperlukan pondasi yang diangkurkan
pada kedalaman 16 meter di bawah permukaan tanah agar struktur tetap stabil di
tanah pasir. Pondasi dibuat dengan mengecor 420 ton beton. Dibandingkan dengan
pondasi onshore (di daratan), maka pondasi turbin offshore (di laut) jauh lebih
menantang. Untuk mendapatkan informasi lengkap mengenai pondasi turbin angin
dan bentuk-bentuk kegagalan strukturnya, dapat dilihat pada link berikut: http://www.windfarmbop.com/category/foundations/
Sunset di The Gap, Torndirrup National Park! Hubby memacu si
mungil ke Selatan. Tempat itu sebenarnya hanya taman batu-batu granit berukuran
besar-besar yang tampak berserakan karena belum sempat diatur. Meski demikian,
batu-batu tersebut telah terbentuk sekitar 1500 juta tahun lalu. Untuk menambah
faktor ‘wow’, kabarnya tempat ini merupakan bagian benua Australia yang
terhubung dengan benua Antartika saat di bumi masih terdapat satu bagian
daratan luas bernama Gondwana.
|
Torndirrup National Park |
|
The Gap |
Ada sebuah pelajaran moral dari wisata batu-batuan ala Western Australia
ini. Kalau dulu di Wave Rock dan Mulga Cave (klik di sini), kita belajar bahwa angin
dapat menggerus batuan secara vertikal, maka di Torndirrup Park dapat dilihat
bahwa air memiliki kekuatan lebih besar untuk membentuk permukaan batu-batu tersebut menjadi
The Gap dan Natural Bridge. The Gap merupakan hasil erosi
air dari Samudera Antartika pada permukaan batu granit sehingga terbentuk kanal dengan dinding tebing
setinggi 25 meter.
The Natural Bridge disebabkan oleh arus air terus-menerus
menerjang bagian bawah batu sehingga terbentuk lubang besar dan bagian atasnya
menjadi semacam jembatan. Di jembatan ini banyak kisah tragis terjadi, sehingga
tidak disarankan untuk uji nyali berfoto di atas jembatan. Beberapa orang
pernah disapu ombak yang muncul tiba-tiba saat berpose di jembatan. Hingga kini
tubuh mereka tidak pernah ditemukan. Innalillahi… tidak worthedlah menyabung
nyawa demi sebuah foto.
|
The Natural Bridge |
Senja mulai bergerak turun di Torndirrup National Park.
Indah sekali. Batu-batu yang tadi kekuningan berubah menjadi keemasan tertimpa
cahaya senja. Subhanallah… ditambah lagi hanya kami berdua di tempat itu.
|
Sunset di The Gap |
Saat mengamati cahaya keemasan berpendar di batas cakrawala
sambil komat-kamit berzikir, tiba-tiba…
brak, terdengar suara pintu mobil ditutup dengan kencang.
Kemudian seseorang tampak berlari-lari ke arah kami sambil
mengacungkan sebuah benda panjang. Suara ranselnya yang berguncang-guncang benar-benar
mengusik keheningan tempat kami menikmati keindahan sunset yang baru saja
menghilang.
“It’s too late, it’s too late…” teriaknya ke arah kami.
Kitapun bengong dan tidak beranjak dari posisi kita. Dia ini
mau ngapain sih?
Ia menyusun benda panjang dan sebuah alat besar di atasnya.
Oo, kamera dan tripod. Saat itulah kami baru sadar kalau tadi ia sedang
menyesali diri karena terlambat datang memotret sunset. Suara jepretan kencang terdengar
berkali-kali dari kamera full framenya, mencari-cari apa yang bisa diabadikan
lagi.
Kami hanya bisa tersenyum sangattt lebaar… dan mencoba
memaklumi perasaannya.
Susah juga ketinggalan sunset di Albany.
November 2011
Pekanbaru,
Kunjungan ini mesti diulangi…