Friday, June 12, 2020

Reuni

Ini adalah opiniku soal reuni.

Beberapa tahun lalu, reuni buatku bukan prioritas. Setelah lama-lama jengah dengan ajakan 'kumpul yuk', 'reuni yuk', 'temu alumni yuk' ala teman-teman SMAku (sorry, guys!), yang diisi dengan kegiatan ketemuan di tempat makan, aku memutuskan 'reuni dengan teman-teman SD/SMP/SMA' is not my style of socializing'. Kecuali... eh, kecuali, reuni dengan teman-teman alumni dari universitas lain. Itu, baru namanya socializing!


Reuni ibarat benchmarking atau tempat mengukur keberhasilan diri?

Masa lalu, mbok dibiarkan berlalu. Apa serunya ulang-ulang cerita lama tentang guru matem, guru ipa, guru kesenian, malam kesenian, etc. Mungkin juga ada sedikit singgung-menyinggung kehidupan di kompleks, ngecengin kakak kelas/adik kelas, kisah cinta orang, band waktu SMP atau teman-teman yang ngetop di sekolah. 

Seperti memutar program radio berulang-ulang saja menceritakan indahnya kehidupan yang tak tersentuh realita di dunia tersebut.

Setelah dipikir-pikir sepertinya aku malas reuni mungkin karena dulu aku bukan seleb atau kurang top saat SMA? *mikir sambil giggling*. Atau barangkali terlalu banyak stori dengan teman-teman yang kurasa agak memalukan? Mungkin juga karena masa-masa tersebut kita tidak jaim sehingga dunia serasa milik anak-anak SMA membuatku merasa kuper setelah berinteraksi dengan dunia lain di Jogja, Manchester dan Perth sana. 

Cihuy, akhirnya paham juga kenapa aku hating 'reuni anak SMA'ku itu.

Tapi kalau temu alumni teman kuliah aku baru cepet datangnya. Berhubung masa-masa kuliah tidak ngetop juga, tapi jelas yang mo dibicarain scope-nya cukup luas, jadi aku tidak keberatan ketemu teman-teman baru yang satu alumni denganku. Minimal bisa tuker-tukeran pendapat tentang sistem universitas atau info tinggal di Jogja, dah!

Kalau ikut reuni dengan teman dari universitas lain, nih, yang sebenarnya lebih menarik hatiku. 

Kebetulan waktu aku selesai S1, aku bertemu sekelompok teman-teman dari institut terkenal di Denpasar, bahkan salah satu dari gerombolan itu malah jadi 'mi hubby'. Apa sih, maksudnya? Maksudnya, aku menemukan teman-teman dari uni paling top di Indonesia, yang kukira 'tinggi hati' dan 'ga mau teman dengan kami yang dari swasta', seperti anak-anak universitas negeri yang kutemui di Jogja. 

Mau ding, berteman, tapi yoo, karena dari swasta, kamu ga bisa jadi temanku, okeh? Gitu kira-kira 'gesture' mereka. 

Nah, teman-teman dari institut ini kok ya, ramah gitu, rendah hati, padahal pinter-pinter, merajai kelas bahasa waktu itu dengan writing tertinggi atau skor latihan tertinggi. Ga keliatan kalo mereka mengusung 'we are from somewhere above khayangan, lo' seperti yang kukira. Bahkan dengan baik hati mereka suka mendengarkan aku curhat, memberi saran-saran jenaka atau saran-saran jitu saat kami semua mulai bersahabat. 

Pendeknya, aku seperti menemukan teman-teman dari dunia yang sama! Jadi nyesel dulu ga berusaha kerja-keras masuk institut ini... (hihi, kayak keterima aja!). Serius, itu termasuk satu hal yang kusesali, bahwa aku tidak cukup informasi dan kemauan untuk belajar keras masuk ke salah tempat terbaik menuntut ilmu di negara ini.

Anyway, last time, temu alumni institut ini di Burswood Park membawaku dan hubby berkenalan dengan komunitas kampus mereka di Perth. 

Aku tidak bicara banyak-banyak dengan teman-teman wanita yang ternyata para istri, tetapi aku malah ngerumpi riset dengan Amalia, temanku di kampus. Barulah pada saat mereka memperkenalkan diri, dengan seksama aku mengamati orang-orang yang mengaku alumni itu. Pada dasarnya mereka pede (mungkin karena menjadi lulusan institut itu sangat bergengsi), mayoritas berkarir di Australia (bukan jadi student, loh), berani mengambil resiko (beberapa jadi enterpreneur atau berkarir di bidang lain, bukan majornya), tidak sombong, punya kepedulian sosial (waktu itu ada yang ngusulin iuran untuk memberi beasiswa mahasiswa S1 di kampus lama mereka yang susah) dan memang ramah-ramah.

Aku menangkap 'gesture' berbeda dengan perkumpulan teman-temanku dahulu. Kelompokku itu kadang kurang efisien dan efektif dalam kegiatan seperti ini. Seringnya bercanda, saling mengejek, berpanjang-panjang membicarakan harta/karir, membicarakan masa lalu, hal-hal yang membuat keningku jadi berkerut banyak karena bingung dan menganggap mereka buang-buang waktu. 

Whua, anyway, mungkin daripada ntar aku dikira songong, mending aku bilang kalau 'duniaku mungkin sudah berbeda' dengan dunia mereka.

Jadi temu alumni yang kuikuti beberapa minggu lalu, masih meninggalkan keingin-tahuan sebenarnya, 'seperti apa yang diajarkan di kampus my hubby, ya?' atau 'seperti apa rasanya jadi mahasiswa di sana'? Hiks!

Perth 2009
Pekanbaru 2020
Thank's hubby yang udah mau mengajakku ke sana dan memberikan perspektif lain.