Tuesday, June 17, 2025

Quinquagenarian

Baru belajar istilah baru setelah ulang tahun ke-50 baru-baru ini. Quinquagenarian, adalah orang yang berumur di antara 50-59 tahun. Dan, aku, hubby dan teman-teman sebaya di kampus semuanya mulai menjadi seorang Quinquagenarian.

Honestly, aku bukan orang yang takut reveal umurku. Sebab, aku belajar realistis, bahwa umur itu milestone dan tidak bisa dibuat-buat. Seseorang harus bisa menerima umur kronologis (berdasarkan tanggal lahir), dan embrace semua konsekwensinya. Jika tidak menerima, berarti kita ingin berada di masa lalu dan tidak berani menerima bahwa diri kita telah bertambah umurnya. Tapi, aku tau ada yang namanya umur biologis (umur sesuai kondisi fisik dan kesehatan seseorang). Jadi, meski umur kronologis kita sudah tua, tapi bisa jadi umur biologis kita lebih muda! Hal ini yang harus menjadi goal dalam hidup, karena umur biologis lebih muda membantu kita menjalani hidup dengan lebih mudah dan nyaman. 

Sebagai seorang Quinquagenarian, kita dianggap seseorang paruh baya atau menjalani mid-life. Tidak jelas mengapa kita dikatakan paruh baya, tapi belum lansia. Hanya saja, saat umur ini, kita sudah seperti mulai siap-siap banyak hal dalam kehidupan kita sebagai quinquagenarian. Ada yang masih berpikir masih lama semuanya akan berakhir, sehingga menolak menjadi tua. Betul beberapa orang dari kita masih produktif, sehat, bahagia dan berada di puncak karir atau tahap nyaman berkarir, tapi semua juga ada limit dan warning. Harus tetap menerima bahwa tua itu kenyataan. Mengatakan paruh baya tidak membuat kita slightly lebih muda, tapi mengingatkan kita kalau harus bersiap menjadi suatu hari akan lebih tua lagi. 

Aku belajar dari lingkungan terdekat, bahwa kadang menolak menjadi tua ada positif dan negatifnya. Hal negatif menolak tidak tua adalah sering tidak dapat menerima keadaan bahwa umur sudah bertambah, kemampuan berkurang, dan kesehatan menurun. Sedangkan positifnya, menolak menjadi tua adalah suka tantangan, berpikir bahwa masih mampu, masih muda dan masih bisa melakukan banyak hal. Keduanya kadang bergantian datang, tapi kalau lebih banyak positif, ternyata kita benar-benar mampu melewati fase menolak tua dan memperlambat semua tanda penuaan. Sikap positif tadi sebenarnya selain semangat muda, tapi juga menjaga diri agar tidak mudah stress, sakit, makan makanan sehat, hidup teratur, lebih dekat kepada Allah SWT, banyak bersilaturrahmi, berolahraga, beraktivitas sendiri, dan sering-sering membantu orang lain. Memang orang-orang tersebut terlihat lebih aktif, cerdik dan ageing slowly. 

Well, sebagai Quinquagenarian saat ini, aku sedang bersiap menjalani durasi waktunya. Seperti yang pernah kutulis di sini sometime ago, umur 50-an biasanya sudah punya beberapa skill dan sering diundang menjadi narasumber untuk berbagi ilmu, maupun menjadi konsultan untuk berbagi expertise. Setuju banget, apalagi kalau sudah berletih-letih belajar sambil bekerja saat umur 30-40an, sudah saatnya sekarang kita menjadi sumber informasi, tips, dan ilmu buat adik-adik dan anak-anak yang umurnya lebih muda dari kita. Soalnya kita sudah dianggap berumur dan sudah mencapai berbagai hal, sehingga cara kerja yang praktis dan work life balance telah kita alami. 

Now, selain membantu yang muda-muda, banyak berbagi, sekalian belajar menjaga hati, tugas utama adalah mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi. Jadi, hari-hari kita sebaiknya ya disiapkan untuk rajin ibadah, tilawah, berdoa, belajar ilmu agama serta bertakwa kepada Allah SWT, supaya kita menjadi seorang Quinquagenarian yang bermakna. 

Pekanbaru,



Friday, February 14, 2025

Berpetualang di bumi USA

Belajar dari serunya menjadi seorang Visiting Scholar di University of Adelaide (2019) dan Drexel University (2023), aku mendaftar beasiswa Fulbright Visiting Scholar Program pada akhir tahun 2023. Pada tanggal 31 Agustus 2024, aku berangkat dari Pekanbaru menuju Jakarta untuk memulai perjalanan panjang menuju Philadelphia dengan transit di bandara Narita dan Denver, Colorado. 

Benarlah kata banyak pengelana. Pengalaman terbaik datang dari keberanian untuk berada sendirian di sebuah tempat atau suasana baru. Aku tidak memiliki banyak pilihan apalagi tempat bertanya, sehingga seringkali harus bersabar dalam menelusuri informasi dan berkomunikasi dengan helpdesk. Tetapi semakin sering dilakukan, nalar dan kemampuanku semakin bertambah. Fase ini sangat kusukai, karena learning and doing by learning untuk menambah skill; is my favorite activity. Kemampuan untuk survive menjadi salah satu skill penting di abad ini untuk meningkatkan flexibility, resilience dan adaptability. Aku bercerita tentang dua hal, sistem check in pesawat ANA yang tidak dapat diakses, sedangkan aku harus duduk di baris paling depan supaya bisa lari ke pesawat yang membawa ke Denver tanpa harus berbaris di belakang penumpang lain. Kedua, tentang waktu transit yang hanya 45 menit di bandara Narita, means, saat pesawatku landing, pesawat berikutnya sudah boarding. Aku hanya bisa mengatur rasa cemas supaya tidak overthinking dan punya harapan untuk bisa berangkat sesuai jadwal penerbangan yang diberikan.

Sesampainya di USA, semua kecemasan dan ketakutan di suasana baru seolah larut karena keletihan setelah perjalanan panjang hampir 34 jam dari Indonesia. Awalnya aku ingin menunggu hingga matahari terbit untuk keluar bandara. Ternyata aku tiba lebih awal dari perkiraan, sehingga pukul 12 malam semua koper sudah lengkap di tangan. Aku memberanikan diri untuk memesan Uber, tetapi sebelumnya ingin mengetahui pick up point di terminal E, bandara Philadelphia. Setelah melihat tempat itu dipenuhi oleh penumpang, tanpa pikir panjang aku bergerak menuju taksi bandara berwarna kuning. Kusebutkan alamat yang kutuju kepada driver, kemudian dia menyebutkan fare USD33, untuk perjalanan cukup jauh tersebut. Sambil duduk dengan perasaan lega karena telah di dalam taksi, aku mulai berzikir untuk menghilangkan perasaan cemas lain. Untunglah supir tersebut seorang muslim Ethiopia. Aku mulai mengujinya dengan beberapa pertanyaan seperti masjid, tempat makan halal, daging halal, dan ibadah shalat Jumat di Philadelphia. Alhamdulillah, dia memang muslim tulen, karena jawabannya sesuai. Allah kirimkan orang ini untuk menjemput dan mengantarku ke akomodasi di Powelton Avenue. 

Semua tempat yang pernah kita kunjungi memberikan kesempatan untuk melihat hal-hal baru. Sedangkan suasana baru membantu menciptakan memori dan menambah ilmu tentang manusia, alam dan budaya. Pikiran serta hati kita menjadi lebih luas dari sebelumnya. Pemahaman kita terhadap hidup dan proses alamiahnya juga terus bertambah. Penerimaan kita tentang perbedaan budaya dan pandangan hidup berkembang melalui pertemuan-pertemuan dengan orang-orang lain. Begitu dalamnya makna 'keluar dari zona nyaman' kehidupan,  sehingga kita menjadi 'orang baru' dengan kemampuan dan sudut pandang berbeda. Hal itulah yang terjadi begitu tiba di Philadelphia. Meski aku pernah datang sebelumnya ke USA, tapi kali ini aku punya waktu mencerna semua yang ditawarkan Allah dalam hidup saat aku berpetualang di negara ini. Hal yang sama juga terjadi saat aku tinggal di Eropa, dan Australia. Tidak ada waktu tanpa belajar menerima dan memahami, terutama saat semua terasa berbeda bagi kita.

Post ini akan menjadi tulisan pertama dari petualangan panjang selama hampir 4 bulan di USA. Cerita-cerita petualanganku akan kembali diupdate di blog ini, untuk berbagi dan menginspirasi kita semua agar travel more, experience world more dan growing more dalam hidup. 

Pekanbaru, 



Tuesday, January 28, 2025

When You Have to Leave and Say Goodbye Properly

 This post is not about relationships with people you love but with yourself and the place and situation you've been visiting temporarily. It is about saying goodbye in one stage of your heroic journey. 

I recently became a visiting scholar in the US. Although it was only for a few months, I knew I would experience a culture shock and a reverse culture shock. And I want to speed up the process. 

I have some reasons to do that. From my previous experiences living in the UK and Australia, the most crucial factors are adaptability and flexibility. New environments, cultures, geographical locations, and people make us uncomfortable because we are not in our element. Things we know change into new knowledge almost every day. The only thing that could save us is my attitude and mindset. I am prepared to adapt if I am observant and have a common ground. 

So, to speed up the process, there is nothing more than to do your homework. Think about the situation and how you are going to handle it. If you come into a new environment, rather than worrying so much about the new situation, just jump and become a part of the situation. It helps to understand the limitations and the strengths, and then you know that the reality is not as awful as what you've been thinking. Suddenly, you forget about your anxiety and start to enjoy the process or the journey. 

In reverse, when you return home, just think of how comfortable you were in the position. But when I returned, I was still the same person, but with a new attitude and knowledge. Understand that you have to undergo the process of culture shock again, but it won't be scary this time because you return to your initial environment. It's just another process; you will pass the transition very quickly because, you know, this time, you don't have the anxiety. Another tip is to properly say goodbye to anyone, anything, and any place once served you. It helps to acknowledge that they are a part of your heroic journey because of the lessons and joy that you've been experiencing. Acknowledging it means you're ready to let them go and exciting for the next role in your life back home. 

It is time to leave and say goodbye, properly. 

Pekanbaru,