Tuesday, March 31, 2015

Cultural Sensitivity





Hopping on and hopping off at quite many different cultures setting has taught me several important things:

a) We need to be open minded with new ideas, notions and practical ways of people at different continents.

b) Every person is unique, special, and must be treated equally, even they are subordinate or minority.

c) Allow people to introduce themselves as they are, and don't prejudge their action/habits as weird. They are just having different approach in thinking and communicating the ideas.

d) Try not to say any words that lead to discrimination, racists or culturally unacceptable behaviors.

e) Listen to other people until they finish their sentences, then respond appropriately. 

f) Use polite English to show that we're educated, and from an educated atmosphere.

g) Don't accept all of their statements, but don't show that you don't trust them. Trust is the most powerful thing in establishing a good and sustainable relationship.

h) Try not to express our dissatisfaction with any aspect of their country, climate, culture, nation, or lifestyle. Appreciate their background and better to swallow those complaints before saying them. Learn to be grateful in facing a new situation.

i) Don't force them to try something that they probably don't enjoy and don't want to do. Test the water by saying a nice introduction about it, then let them decide to do try or to do it.

j) Always show courtesy and hospitality, because Indonesian/Asian is known as a polite nation. 

k) Find something in common (common ground) with our new foreign friends/colleagues, by finding similar view about certain general issue.

l) It is better to start using 'May I ask a very personal question' for something related to religion, age, personality or politic preference before asking them directly about those issues. 

m) Ignore people who try to undermine, underestimate, and do not considering your presence. Keep showing a neutral facial expression.

n) Pretend that you're not the minority. Just keep talking, asking question, being cheerful and introducing yourself to other people. Who knows, among the hundreds attendees, there must be people who are interested to know you and your views.

o) Don't put a distance because we feel different, always try to build a conversation about something general first. If they are responding well, then continue to be specific, but not too intervene their private life.

p) Stop thinking that you're a special because you're different. You're not that special, and other people deserve to be treated special, too. 

Pekanbaru,

Friday, March 27, 2015

Memilih makanan saat di Jerman

Seperti biasa sebelum bepergian agak lama seperti ke Jerman tahun 2014 dan 2015, aku harus pikir-pikir dan cari-cari alternatif mau makan apa yang halal dan thoyib. Setelah diskusi dengan senior, mas SS, barulah aku tenang dan lega begitu mengetahui kalau beras, telur, ikan kaleng, sayuran, dan buah-buahan bisa didapatkan dengan mudah di supermarket dekat kampus. Berarti aku tetap bisa membawa travel cooker dan makanan kering lain secukupnya dan belajar makan makanan halal apa saja yang bisa ditemukan di sana. 

Hari pertama tiba di Oldenburg, kami disuguhi nasi dan makanan lain. 

Sayangnya beberapa item dalam menu tidak jelas campurannya, sehingga aku hanya memilih nasi, udang rebus dan salad. Beberapa hari kemudian, barulah aku selamat karena bertemu beras, ikan asap kaleng dan tomat cheri. Sesungguhnya, aku tidak keberatan makan roti, salad buah atau salmon mentah setiap saat, tetapi harus aku ingat bahwa makanan mempengaruhi cahaya wajah juga. Kadang kulit menjadi kusam kalau memilih menu yang tidak baik untuk tubuh seperti fast food. 


Menu sarapan favorit

Sehingga, demi kenyamanan perut, pencernaan maupun ukuran bodi, aku harus tetap memakan makananku sendiri, sedikit nasi dan lauk kering yang dibawa dari Indonesia. Lalu dilanjutkan dengan buah dan telur di restoran hotel.

Kemudian aku dikenalkan LO di kampus pada salah satu makanan khas Jerman, yakni matjes sandwich. Matjes atau soused herring adalah potongan ikan herring segar yang diawetkan dengan garam dan rempah-rempah.

Matjes herring sandwich dengan salad ketimun
Makanan ini sangat populer di Jerman Utara dan Belanda, karena ikan herring yang digunakan berasal dari Laut Utara. Pertama kali makan sandwich ini, aku teringat sushi di Sapporo, tetapi rasa matjes lebih asin dan tidak terlalu amis karena sudah diawetkan lama di dalam garam dan cuka. Untuk membuat rasa matjes lebih seimbang, sebenarnya perlu ditambahkan potongan bawang bombay segar dan mayonaise asam. Tetapi ini salah satu alternatif makanan laut selain fish and chips yang bisa dibeli di kedai fast food-seafood di Oldenburg. 

Selama di Jerman, kami juga sering makan di beberapa restoran. Aku harus selektif memilih makanan dari menu restoran meski teman-teman muslim lain sering mengingatkan supaya jangan terlalu fussy. Jika orang vegetarian saja sangat selektif memilih makanan, tentu saja kita sebagai orang muslim harus lebih hati-hati lagi, aku menjelaskan kepada kawan-kawan lain. Sering juga hal ini menjadi perdebatan sengit di antara kami, tetapi memang lain padang lain belalang, lain negara lain mahzab dan kalau yakin tetap saja dijalankan pendirian sesuai pengetahuan mengenai makanan sesuai dengan pemaparan dalam Al Qur'an. 

Selain aku sering memesan menu vegetarian (artinya tidak ada lemak maupun potongan bagian hewani), perlu sedikit keberanian untuk mencoba makanan dengan rasa kurang tasty (versiku: spicy) seperti pizza salmon, pizza vegetarian atau pasta tomat. Kalau seperti ini, tinggal tambah bon cabe saja, semua akan beres. 
 
Pasta tomat


Kadang-kadang saat makan, aku harus jeli memakan potongan sayuran atau buah saja, karena restoran menghidangkan semuanya dalam satu wadah besar seperti ini. Kalau boleh usul pada pengelola, may be next time lebih baik memilih restoran India saja. 


Lumpia keju, zucchini, tomat pesto, bakso dengan saus tartar. Tebak aku mengambil yang mana?

Berhubung kue-kue di Jerman memiliki level acidity cukup tinggi, maka lidahku perlu beradaptasi dengan kue-kue isian rhubbard maupun apple struddle. Kue rhubbard sangat otentik, tetapi bisa kebangetan kecutnya meski diselimuti oleh krim manis. Sedangkan apple struddle bisa mikin merem-melek karena rasa apel dan rempah-rempah bisa menyatu pas dengan lapisan atas berbalut gula.


Apple strudel, cheesecake, rhubarb pie with cream

Banyak makanan lain yang menantang lidah bisa dibeli di Mensa (kantin) bagian vegetarian. Harganya murah, porsinya banyak, tapi memang kurang bumbu. 

Jujur saja, aku tidak mau sering-sering ke sana karena memikirkan sudah jauh-jauh tetapi dapat makanan dengan rasa yang kurang balanced seperti pasta ditambah tumisan leek (anyway, daun bawang besar ditumis?) atau puding cherry yang kelewat manis itu. 

Teman-teman muslim negara lain lebih pintar, mereka cuma makan aneka jenis kentang saja. Kentang goreng dan kentang rebus atau mashed potato. Kentang lalu ditambah saus tomat, rasanya luar biasa, apalagi saat super lapar. Tetapi aku dan temanku TO, kami suka memakan makanan vegetarian seperti cous-cous atau kus-kus, dan bami goreng (serius, labelnya bami goreng, bukan ba'mi atau bakmi). Mie goreng vegetarian ini kelihatan super menggiurkan, tapi memang kurang bon cabe teri.


Bami goreng vegetarian

Petualangan kuliner di Jerman sepertinya tidak lengkap tanpa makan doner kebab, rollo (roll kebab) atau pizza di Turkish kitchen. Gerai makanan halal ini selalu ada di mana-mana karena di Jerman banyak orang Turki. Sepertinya soal makanan, mereka sudah satu selera.

Untuk menghilangkan rasa bosan makan makanan tanpa rasa (makanan Mensa) atau rasa itu-itu saja (makananku sendiri), maka sesekali aku perlu kebab berisi daging sapi atau kambing dengan extra sayuran. Makanan seperti ini lumayan harganya sekitar 3-5 euro, tetapi porsi dan rasanya sangat otentik. Bahkan kios kebab di Lappan, Oldenburg, menyediakan kebab vegetarian dengan daging yang dibuat khusus untuk vegetarian. Meski mengaku jadi vegetarian, tetapi kenikmatan makan daging tetap tidak bisa dilupakan, ya?

Doner kebab

Belakangan aku lebih siap saat ke Jerman untuk kedua kalinya. 

Kini aku membawa sambal ulek/sambal hijau botol (merk abc), dendeng kering, ayam krispi, rendang, kerupuk cabe merah dan kuning (lombok hijau), serta sambal kacang teri, sebagai pelengkap menu minimalis nasi, tomat ceri dan tuna kaleng yang harus kumakan hampir setiap hari. Uniknya lagi aku masih sempat mengundang teman-temanku dari Vietnam, Sudan dan Nikaragua untuk dinner bersama di kamarku dengan makanan-makanan dari Indonesia. Beberapa kali mereka juga menghabiskan bekal makan siangku di kampus yang terdiri dari nasi putih, sambal teri, salad sayuran dan telur rebus. 

Meski demikian, kegiatan mencari dan mencicipi makanan di Jerman telah menambah kekayaan pengalaman kuliner diriku, meski tidak selalu dapat mencicipinya sendiri secara langsung karena isu halal. Kadang hanya bisa iberdiskusi, mendeskripsikan jenis, asal, bahan yang digunakan, dan proses memasaknya saja kepada teman-teman di sekelilingku. Bersyukur juga sering menonton para chef berlaga di Master Chef Australia maupun Food Safari SBS, karenanya jadi punya banyak kosa kata dan bisa bercerita soal makanan aneka bangsa kepada teman-teman internasional...:)

Pekanbaru,

Monday, March 23, 2015

Tidak ada jalan instant

Beberapa bulan yang lalu aku menerima email dari beberapa mahasiswa dan alumni. 

Isi email mereka cukup beragam, dari kabar terkini sampai ingin mengetahui kans mereka mendapatkan beasiswa atau peluang bekerja di perusahaan internasional dengan kompetensi yang ada. Sebagian menilai diri mereka sudah memenuhi persyaratan, punya rencana matang dan mampu berkompetisi mendapatkan peluang tersebut. 

Tugasku sebagai penerima email hanya membantu memberikan masukan. It's good, beberapa orang punya semangat 'go international' dalam berbagai kegiatan dan pekerjaan, tetapi ada sesuatu yang kurang dari mereka. Mereka lupa bahwa tidak ada 'jalan instant' untuk sukses mendapatkan beasiswa atau pekerjaan di perusahaan asing. 

Sebagian malah mempertanyakan jalan instant tersebut. Bagaimana cara melakukannya agar tetap sukses?

Untuk menjawab pertanyaan mereka, aku cuma bilang, 'nothing like an instant way'.
Kamu harus bisa membuat rencana, menjalankannya secara bertahap dan berkompetisi dengan keahlian yang sudah didapatkan. Kamu perlu lebih gigih berusaha, meningkatkan keahlian, tekun, pantang menyerah dan mau berkompetisi secara etis. 

Pertanyaan lain yang muncul buat yang mau 'go international': 
Apakah sekarang sudah menguasai bahasa Inggris? 
Apakah sekarang sudah percaya diri bisa berkompetisi dengan teman-teman asing? Apakah sudah memiliki pemahaman tentang lintas budaya?

Well, ketika ditanya, mereka akan bilang, "Siap bu, saya akan tetap mencobanya."

Dan, jawabanku, "Yah, ayo dicoba, gunakan strategi yang kamu miliki sekarang, dan lihat hasilnya. Nanti dievaluasi lagi."

Mungkin suatu hari mereka akan kembali dan memperlihatkan kalau mereka sudah sukses mendapatkan hasilnya. Tetapi kelihatannya beberapa orang malah tidak menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya setelah diskusi denganku. Terbukti kalau mereka hanya ingin mencoba-coba saja, menilai peluang, dan sama sekali kurang tertarik untuk bekerja keras mengasah kompetensi diri maupun mengejar cita-cita tadi.

Beruntunglah mahasiswa yang mau berbalik memutar arah dan bekerja keras untuk meningkatkan kompetensi mereka dengan waktu yang ada. Tetapi, sayang sekali bagi mahasiswa yang malah kehilangan arah, malas berusaha, mungkin karena yakin selalu ada jalan instant untuk sukses dalam hidup.

Pekanbaru,

Thursday, March 19, 2015

Blogging as a productive way of procrastination

I guess my habit of writing a post in this blog has been replaced by another routine. I really miss my old routine of sharing things here to procrastinate writing process of a scientific paper. It is just a back and forth habit to ease my flow of thinking. Sometimes we need to be logic to put data in their own 'story', and on the other hand we allow our creative thinking on blogging. It works well with me on that way.

Instead of putting emotional effort such as guilty of not making any significant progress, we need to be more tactical from returning to the procrastination stage. I used my blog as a source of freedom in writing everything. It is true that I would be more productive on producing posts here when I'm working on my papers, because there is always a reason to procrastinate on the scientific writing process. Perhaps, it's just the way I accommodate my creative attempt or just want to give a reward after such a long and tiring writing process.

However, there are some benefits of doing this:

a) Helping me to organize my thoughts. As a creative person, I used to have many ideas. I make a list of them in my writing ideas book, just focus on some, and pour them in my blogs.

b) Developing my writing skills. This is the way I learn to write, by working on my ideas in a blog. It takes a while for me to learn to summarize thing and give my personal thought in a writing. With time, I could manage to summarize many papers into a nice set of literature review paragraphs, just by doing it as the way I do it in blogging.

c) Increasing my productivity. Since I've given some of my time to write in this blog, I did compensate some time to work on the paper. It is always a balance and not over-prioritized on blogging, which is easier to be finished. Once I finish one post, I feel very motivated to continue another paragraph in the scientific paper. 

Pekanbaru,
Inspired by this post: How to procrastinate efficiently (if you cannot stop)